Mohon tunggu...
Anggunve
Anggunve Mohon Tunggu... Mahasiswa - anggun dwi pratiwi

Love yourself as always

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pengakuan, Hujatan, dan Depresi Gen Z

24 April 2021   11:30 Diperbarui: 12 Januari 2022   14:09 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Disayangkan, media sosial selaku simbol komunikasi global jadi kemunduran kepribadian yang menyedihkan untuk pemuda calon penerus bangsa. Kepribadian dalam metode berpikir, mental, ketergantungan, serta empati hadapi kemunduran, paling utama apabila menyempatkan diri untuk memandang buruknya metode beretika di dunia maya oleh “generasi Z

Media sosial, salah satu keajaiban teknologi komunikasi, ialah salah satu media paling banyak pengguna. Tetapi, hal tersebut bisa jadi perusak kepribadian terbanyak dalam waktu yang sama untuk para pemuda Indonesia. 

Hanya butuh hitungan detik, gampang sekali menuliskan hujatan, ejekan, apalagi ancaman pembunuhan pada kolom komentar tiap hari.

Likes, comments, dan views adalah poin utamanya

Karena munculnya alat pencarian pengakuan yang salah, terjadi frustrasi generasi Z. Pembuktian atau perlu diakui oleh orang-orang merupakan syarat dasar bagi semua manusia untuk mempertahankan kehidupannya. 

Namun, berbeda dengan masa lalu, masyarakat mencari konfirmasi dengan memperjuangkan prestasi, aspirasi ambisius, atau berpartisipasi aktif dalam kegiatan kemanusiaan. Sekarang, selesaikan pencarian verifikasi dengan menemukan jumlah suka, komentar, dan tampilan.

Narsisme adalah cara utama untuk mengatasi kebutuhan pengakuan media sosial. Berbicara tentang diri Anda melalui media sosial dapat mengaktifkan kesenangan otak yang terkait dengan makanan, uang, dan seks.

Jenis kesenangan ini sangat membuat ketagihan dan merusak. Karena, seperti barang adiktif lainnya (seperti rokok dan minuman beralkohol), perasaan senang di media sosial akan membenarkan segala cara untuk "disetujui" oleh orang lain. Yang penting adalah like, comment dan views, bukan makna konten yang sebenarny.

Pedasnya hujatan melebihi sambal

Media sosial sudah jadi fasilitas sebagian generasi Z untuk melontarkan kata-kata hinaan kepada orang lain yang memiliki perbedaan pendapat. 

Facebook, Instagram, serta Twitter yang jadi fasilitas penghubung kehidupan sosial orang- orang yang berbeda sudah berganti jadi pemuas narsisme yang tidak mengindahkan keberadaan orang lain selaku sesama manusia.

Lihat saja, apabila terdapat orang yang menghina orang lain yang tidak dikenalnya dikehidupan nyata, akan terjadi kericuhan nyata yang bisa berujung pada urusan dengan pihak keamanan setempat. Tetapi, apabila terdapat orang yang menghina orang lain yang tidak dikenalnya di media sosial, bisa saja melibatkan oihak berwajib namun harus melalui prosedur yang lumayan rumit, proses pelaporan dan lain-lain. Lewat media sosial, komentar yang bermakna hinaan sangat gampang dilontarkan kepada orang lain.

Siapapun itu, kalangan artis maupun tidak, hinaan dan hujatan Generasi Z akan selalu menyertai ketika adanya suatu isu yang viral. Contohnya Betrand Peto, anak angkat Ruben Onsu. 

Ruben Onsu dituding netizen telah mengeksploitasi anak angkatnya dan memanfaatkannya untuk mencari pundi-pundi uang. Hal itu disebabkan ketenaran Betrand yang sedang naik daun belakangan ini. 

Hinaan dan komentar-komentar tidak pantas telah banyak dilontarkan oleh para pengguna media sosial yang tidak berhati nurani. Akibatnya, Ruben Onsu dan juga Betrand pun harus melakukan klarifikasi di akun media sosialnya guna meredam ricuhnya hujatan netizen.

Depresi yang diperoleh

Banyak orang- orang hadapi tekanan mental sehabis menjelajahi dunia Facebook, twitter serta media sosial yang lain dalam waktu lama. Indikasi Tekanan mental ini diakibatkan kemudahan untuk menyamakan kehidupan diri sendiri dengan orang lain. 

Orang- orang memandang kumpulan gambar serta video yang diedit untuk memperlihatkan branding image terbaik buat dibanding dengan proses kehidupan nyata semacam kegagalan, penolakan, serta titik terendah dalam hidup.

Perbandingan ini sangat beresiko sebab bisa mengganggu mental serta nilai diri generasi Z sebagai pengguna sosial media paling banyak. terlebih lagi, hal tersebut dapat menghilangkan motivasi diri untuk menjadi lebih baik lago, sehingga murung dan tidak percaya diri akan berkembang dalam diri generasi Z

Solusi 

Media sosial berada di bawah ancaman, orang-orang sangat ingin mendapatkan pengakuan, gejala kecanduan, pembenaran untuk kata-kata kotor, dan penyakit mental. Jadi, apa yang harus kita lakukan sebagai Gen Z? Dan, apakah Anda melihat fakta bahwa media sosial tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari?

Kesadaran diri dan disiplin menjadi solusi yang bertahap tapi tidak seketika. Pertama, kesadaran diri terhadap media sosial mengancam kedisiplinan. 

Kedua, disiplin dengan mengontrol penggunaan media sosial, misalnya membatasi frekuensi penggunaan media sosial maksimal lima kali seminggu, memisahkan smartphone dari ranjang saat mengisi daya baterai, atau melepas media sosial yang lebih berpengaruh.

Akan tetapi, yang menjadi solusi terbaik ialah fokus pada peningkatan diri daripada memperhatikan orang lain. Karena pada akhirnya hidup kita ada di tangan kita masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun