Dejan adalah seorang mantan siswa di salah satu sekolah yang 'biasa-biasa' saja di daerah bilangan Pangkalanbun, Kalimantan Tengah. Dulu Dejan dan teman-teman seringkali berkeinginan untuk segera lulus sekolah agar bisa bekerja. Tapi nyatanya entah ada angin darimana Dejan malah mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Kuliah.
Terlahir dari keluarga perantau membuat Dejan terpacu untuk kuliah di luar Pangkalanbun, Kalimantan Tengah.  Tanah Jawa. Dirinya sangat ingin pergi ke Jawa. Menatap hingar bingar modernitas Jawa lewat layar kaca dan  berbagai macam media informasi membuat Dejan terpukau. Terlebih dirinya selalu takjub melihat betapa cekatannya orang-orang Jawa  yang merantau ke Pangkalanbun ketika sedang bekerja. Sudah bukan lagi hal, banyak orang yang menganggap bahwa orang-orang Jawa adalah orang rajin.
Disinilah Dejan bukan memilih Jakarta, Yogyakarta atau Surabaya. Dejan lebih memilih ada di lingkup bentuk masyarakat transisi. Tekadnya jatuh di Kota Tangerang. Kota yang mengakui dirinya sebagai Kota Akhlaqul Karimah. Â Dasar pilihan Dejan mendaratkan Tangerang sebagai tempatnya kuliah karena ia telah gagal di berbagai seleksi beasiswa masuk perguruan tinggi negeri dan swasta. Dejan akhirnya memutuskan untuk kuliah sambil bekerja. Syukurnya nasib baik menggerayangi Dejan. Dirinya bisa sekaligus mendapat pundi-pundi rupiah dan bulir-bulir ilmu di kota ini.
Memilih Kota Tangerang sebagai tempatnya menimba ilmu, membuatnya memiliki beberapa penilaian tersendiri. Pastinya, Dejan memberikan perbedaan antara Pangkalanbun dan Tangerang. Â Pangkalanbun begitu hening, langit dan awannya 'kawin' menjadi pasangan yang sangat 'goals couple' dan yang paling berbeda juga adalah tentunya tidak ada kebun sawit di Tangerang.
Di Pangkalanbun  belum ada mall dan semegah mall di Tangerang, jadilah Dejan menyukai hal ini sebab Dejan bisa menemukan apapun di mall. Termasuk kegemarannya dalam menonton film, yang dahulu hanya ia bisa nikmati dengan menonton film secara download ilegal. Disini hampir semua mall menyediakan bioskop.
Ya bukan hanya Tangerang yang memiliki mall, jika memang dikerucutkan apa khas dari Tangerang yang tidak bisa ditemui di daerah lain hal itu agak sulit Dejan temukan jawabannya. Teman-temannya yang asli 'anak Tangerang' saja bingung jika menjelaskan apa yang istimewa dari Tangerang.
Laksa? Toge Oncom? Kecap SH? Ya semua daerah juga memiliki khas kuliner tersendiri. Soal tempat wisata pasti juga tiap daerah memiliki khas wisata masing-masing. Keberadaan Etnis Cina Benteng? Ya ini cukup menarik, Dejan bisa melihat orang-orang yang terlihat seperti etnis cina tapi dengan warna kulit sawo matang.
Atau anggapan kota yang memiliki banyak ruang terbuka hijau. Bagi Dejan hal ini memang sedang 'tren' dilakukan oleh banyak daerah. Apalagi presiden kita kali ini sedang gencar-gencarnya membangun infrastruktur.
Lalu apa yang patut disenangi dari kota tempat Dejan menimba ilmu saat ini?
Dejan mengakui di Kota ini tidak terlalu banyak konflik yang berarti. Dapatlah dikatakan bahwa Kota Tangerang tidak rawan konflik. Disini juga tempat yang toleransinya cukup kuat. Terkhusus pertalian antara etnis cina benteng dan warga asli tangerang. Patutlah kota ini dianugrahi kota layak huni.
Kota ini bisa dikatakan ramah perantau. Terbukti dari banyaknya kontrakan atau indekos yang menjamur di tiap-tiap daerah di Tangerang. Warga asli Tangerang dan warga pendatang mampu saling menghormati satu sama lain.
Soal kemacetan, Dejan akui jika menuju ke tol Karang Tengah memanglah tingkat kemacetannya begitu parah. Tapi jika di jalanan raya di sekitaran kota Tangerang, kemacetan masih bisa dihadapi tanpa bunyi klakson yang begitu bising di kuping. Orang-orang Tangerang cukup tertib menerima kemacetan karena memang kemacetan disini tidak terlalu sesak seperti di Jakarta.
Di kota ini Dejan mendapatkan banyak pengalaman yang dirinya tidak bisa dapatkan di Pangkalanbun. Sebagai perantau, Dejan merasa cukup atas situasi dan kondisinya saat ini di Kota Tangerang. Disini ia mampu diterima sebagai mahasiswa yang bisa menyambi bekerja di tempat yang mampu memberikan gaji yang cukup banyak. Bahkan dirinya bisa mengirimkan sebagian gajinya untuk keluarganya di Pangkalanbun. Tangerang telah memberikannya ilmu dan juga uang.
Tangerang juga telah membuatnya memahami arti toleransi. Disinilah identitas keakuan Kota Akhlaqul Karimah rasanya bisa disandingkan. Selain toleransi yang kuat, kegiatan religius masih banyak dilakukan di kota ini. Disini Dejan masih bisa  menemukan pengajian-pengajian anak selepas setelah maghrib. Tidak hanya itu, akhir-akhir ini pun ada program yang sedang dicanangkan oleh pemerintah Kota Tangerang yaitu program sholat berjamaah di Masjid. Program ini patut diapresiasi dan totalitas diimani, agar sebutan Kota Akhlaqul Karimah bukan hanya sebatas slogan.
Dejan masih ingin mencari dan memecahkan pertanyaannya. Waktu kuliahnya di kota ini tinggal sisa setahun, itu pun jika Dejan bisa lulus tepat waktu. Dejan harus lulus tepat waktu, dirinya akan mengusahakan hal itu. Bukan karena Dejan sudah tidak betah di Tangerang. Dejan memiliki visi menjadi seperti Bapaknya yang melanglang buana untuk merantau dimana-mana. Dirinya ingin mempunyai kenangan di banyak daerah di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar ia mampu membaginya ke siapapun lewat kegiatan yang ia sukai, yaitu menulis. Dejan akan selalu menulis kenang. Bukan karena Dejan belum bisa 'move on' lalu selalu terjebak dalam kenangan. Dejan menyimpan kenang untuk cambuk sadar akan hikmah. Dejan sadar Tuhan Maha Asik seperti yang dikatakan oleh Sujiwo Tejo, Â salah satu tokoh kesukaanya. Dejan dan Tangerang adalah suatu kenang untuk menuju hal yang diharapkan baik untuk dirinya. (sumber gambar : media.viva.id)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H