Dewasa ini, moderasi beragama berperan penting di kehidupan sehari-hari; masyarakat, sekolah, maupun perguruan tinggi. Perguruan tinggi menjadi wadah pengembangan sumber daya manusia dalam hal pemikiran, tindakan, kepribadian, dan pencapaian karya yang berguna untuk masyarakat. Hal tersebut menjadikan mahasiswa berperan penting dalam menjaga persatuan bangsa.
Sehingga, dibutuhkannya moderasi beragama dalam konteks keindonesiaan. Maka, mahasiswa dianjurkan memahami paham moderasi beragama secara kontekstual bukan secara tekstual, bahwasanya moderasi dalam beragama di Indonesia bukan Indonesia yang dimoderatkan. Namun, cara pemahaman dalam beragama yang harus moderat. Karena Indonesia sebagai negara yang majemuk, multikultural, banyak suku, agama, dan kepercayaan. Sejak manusia dilahirkan, perbedaan itu sudah ada.
Oleh karena itu, tawassuth atau tawazzun moderat diperlukan untuk memupuk serta mengembangkan sikap toleransi antar umat beragama di dalam kehidupan. Toleransi dalam konteks moderasi beragama tentu bukan sebatas istilah “yang penting aku tidak mengganggumu dan kamu tidak menggangguku.” Namun, lebih dari itu. Toleransi yang telah terpaku dalam diri, sesuai dengan keyakinan agama masing-masing, harus mampu mewujudkan upaya yang kuat untuk bersatu menggapai kedamaian kehidupan bernegara, sehingga tidak mudah di provokasi oleh pihak luar.
Melihat kondisi lapangan, moderasi beragama menghadapi tantangan yang berupa sikap intoleran, yaitu sikap yang tidak menghargai pendapat orang lain dan tidak mengakui keberagaman dalam masyarakat serta mengabaikan nilai-nilai dalam toleransi. Padahal dalam moderasi beragama, menghormati dan menghargai pendapat orang lain dalam rangka menjaga keharmonisan orang Islam dengan agama lain, itu harus dikembangkan. Tujuannya agar menghilangkan doktrin, bahwasanya Islam dicap sebagai agama yang ekstrim, agama yang membolehkan membunuh orang lain dan agama teroris.
Pendeta Novembri mengatakan dalam acara Seminar Dialog Lintas Agama yang diselenggarakan di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta tahun 2021 lalu, bahwasanya seseorang dilahirkan untuk tidak membenci, orang menjadi pembenci, karena diajarkan. Rasis maupun intoleransi adalah sesuatu yang dipelajari, maka dapat dicegah dengan pendidikan yang baik dan benar, serta menerapkan sikap moderasi beragama. Cara kita menempatkan diri agar memiliki sikap moderasi beragama, yaitu dengan menyadari bahwa manusia berada di tengah, antara Tuhan, kitab suci atau warisan doktrinal, dan ilmu pengetahuan atau dunia.
Radikalisme atau fanatisme yaitu paham yang memahami realitas sosial, ekonomi, budaya, politik, dan aspek kehidupan lainnya secara sempit, yang dibangun dari interpretasi teks-teks suci secara sempit, formalistis, legislatis. Moderasi beragama dapat terhalang dengan adanya sikap yang cenderung menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Pendeta Novembri menyatakan bahwa radikalisme bermakna pemaksaan pihak lain pada penyeragaman yang dianggap paling benar oleh kelompoknya. "Suatu kelompok agama tertentu yang memisahkan diri dari masyarakat untuk membentuk wilayah yang didominasi kelompok agamanya sendiri, kemudian lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya daripada orang lain serta kelompok yang tidak sama." Farid Fajar Shidiq (2022).
Opini tersebut bisa dijadikan contoh yang mana hal tersebut juga akan menghalangi moderasi beragama yang akan digapai. Radikalisme kanan maupun kiri terjadi karena moderasi beragama tidak mampu menjadi kekuatan yang inspiratif, kreatif, dan imaginatif. Maka, moderasi beragama di era sekarang ini perlu terus dikembangkan sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan antar latar belakang masyarakat tanpa memandang suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya.
Sebagai mahasiswa, khususnya warga NKRI diharapkan untuk dapat mengimplementasikan konsep moderasi beragama dalam konteks multikultural, yaitu dengan cara menyadari bahwasanya kita hidup di Indonesia, yang mana negara Indonesia ini negara majemuk dan multikultural. Untuk memupuk toleransi, kita tidak mungkin jika berdiri sendiri, kita membutuhkan bantuan orang lain, orang yang berbeda keyakinan dengan kita, sehingga ketika tertanam dalam hati kita perasaan bahwa kita membutuhkan orang lain dan orang lain membutuhkan kita maka akan tercipta moderasi beragama yang baik. Kemudian, menerapkan simbol Bhineka Tunggal Ika, kita akan mampu mencapai kemajuan, kejayaan jika seluruh elemen anak bangsa yang beda suku, agama, budaya itu bersatu. Maka, ketika ada persatuan dapat tercipta kemajuan peradaban NKRI.
Dalam realitas kehidupan kampus, mahasiswa tidak dapat menghindari perkara yang simpang siur, sehingga dalam konsep ini, moderasi beragama menjadi jalan tengah yang diperlukan untuk mengatasi sebuah perbedaan dalam keberagaman latar belakang masyarakat seperti Indonesia. Jadi, bagian dasar yang mendasari sesuatu dalam kampus diharapkan dapat menjadi pelopor kerukunan bangsa dengan menanamkan nilai toleransi dalam kehidupan kampus maupun masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Moderasi beragama mampu memberikan kontribusi positif terhadap mahasiswa khususnya dalam berpikir kritis dan toleransi. Kedua aspek tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Di era sekarang ini telah berkembang pesat. Permasalahan yang dihadapi oleh manusia saat ini cukup kompleks, sehingga satu peristiwa sering kali bersangkutan dengan peristiwa lainnya.