Mohon tunggu...
ANGGUN PRATIWI
ANGGUN PRATIWI Mohon Tunggu... -

mahasiswa universitas indonesia fakultas kesehatan masyarakat. lulusan D3 poltekkes KEMENKES jakarta III

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Buah Simalakama BPJS"

31 Oktober 2014   17:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:03 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BUAH SIMALAKAMA UNTUK BPJS

Ada beberapa point yang ingin saya tanggapi terkait Peraturan Menteri kesehatan terbaru no: 28 tahun 2014 tentang panduan penatalaksanaan program jaminan kesehatan nasional, diataranya adalah :

-Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama, kecuali pada keadaan gawat darurat, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, pertimbangan geografis, dan pertimbangan ketersediaan fasilitas.

-Fasilitas kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan untuk peserta JKN terdiri atas fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan(FKRTL). FKTP dimaksud adalah:

1. Puskesmas atau yang setara,

2. Praktik Dokter,

3. Praktik dokter gigi,

4. Klinik Pratama atau yang setara,

5. Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara.

Rujukan itu merepotkan

Kita sudah cukup tau akan Kebiasaan masyarakat Indonesia dalam memilih jalur cepat, bahkan mungkin kita sendiri juga melakukannya, dengan alasan “ ah ribet”, “saya tidak punya waktu”, dan lain sebagainya. Bisa kita bayangkan masyarakat yang terbiasa menikmati pelayanan kesehatan di rumah sakit terlebih lagi langsung dengan dokter spesialis, harus bersabar untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dimulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti yang diuraikan diatas. Untuk masyarakat dengan ekonomi rendah (miskin) hal ini tidak masalah, namun untuk sebagian masyarakat seperti masyarakat ekonomi sedang sampai tinggi, hal ini tentu saja dianggap merepotkan.

Selama ini dokter umum dengan mudahnya memberikan rujukan ke dokter spesialis, sehingga membuat paradigma masyarakat lebih “affdol” bila ke dokter spesialis, dan juga merasa lebih sembuh jika sudah ke dokter spesialis. Bukan hanya itu, anggapan masayaraat akan fasilitas kesehatan tingkat pertama masih dianggap belum memuaskan, antrian panjang, petugas kurang ramah, dll. Membuat masyarakat jadi beropini, BPJS hanya memaksakan keadaan, karena banyak hal-hal penting yang belum dipersiapkan. Jadi sudah siapkah fasilitas kesehatan tingkat pertama (FTKP) menampung pasien dari berbagai jenis latar belakang. Hal ini sangat penting, karena jangan sampai program BPJS hanya diikuti oleh PBI (peserta bantuan iuran), katena tujuan BPJS ialah menjamin kesehatan seluruh masyarakat Indonesia. Bagaimana jika system rujukan ini dihapus saja ?, sudah tentu rumah sakit tidak akan pernah sepi, mungkin overkuota setiap waktu, dan FTKP semakin tertinggal. Ini seperti buah simalakama untuk BPJS. Jika tidak tepat mengambil langkah maka akan berdampak bagi keberlangsungan BPJS kedepan. Belum lagi mengingat kondisi geografis Negara kita, masih banyaknya lokasi yang sulit terjangkau oleh pelayanan kesehatan.

Jika banyak masyarakat yang ragu menjadi peserta BPJS, dan menjadi peserta jika kepepet, ini akan merugikan BPJS. Bagaimana pun juga seharusnya BPJS sudah memperhitungkan kemungkinan jumlah peserta yang mudah terjaring menjadi peserta BPJS, dan langkah lanjutan untuk menjaring masyarakat lain agar mau menjadi peserta BPJS. Masih kecilnya perbandinagn antara pesertaBPJS non PBI dan peserta BPJS PBI akan menjadi pekerjaan rumah tambahan bagi BPJS.

Tolok ukur standar mutu pelayanan kesehatan

system pembayaran secara kapitasi dan INA CBGS memang memugkinkan membuat fasilitas pelayanan kesehatan memberikan sumber daya seminim mungkin agar pihak pelayanan kesehatan mendapatkan keuntungan yang diinginkan. Hal ini harus sangat dipahami oleh BPJS agar masyarakat tidak merasa dirugikan dengan mendapatkan pelyanan setengah hati. Terlebih dengan system pembayaran seperti itu, masyarakat terkesan tidak membayar pelayanan kesehatan, padahal mereka sudah membayarnya dengan adanya tagihan setiap bulan, dan peserta PBI membayar dengan bantuan pemerintah dan sebagian dari iuran peserta yang pekerja.

Tolok Ukur Standar mutu pelayanan kesehatan di Indonesia juga belum ada di Indonesia. Sehingga masyarakat akan sangat susah untuk mengetahui standar pelayaanan seperti apa yang bisa ia dapatkan, apakah sudah sesuai atau belum. Pada saat sisten fee for service, dimana setelah mendapatkan pelayanan pasien akan membayar berapapun jumlah tagihan dari pihak rumah sakit, tentu rumah sakit tidak akan terlalu peduli dengan mahal tidaknya harga tersebut untuk pasien. Dengan mudahnya pasien dirujuk ke dokter spesialis, dengan beraneka macam tes diagnostic, kemudian diberikan obat beraneka rupa. Bila dengan system kapitasi dan INA CBGS maka pihak rumah sakit akan memperhitungkan dengan rinci pelayanan apa saja yang akan diberikan oleh pasien agar mereka pun bias mendapatkan untung yang diinginkan.

Program BPJS sebenarnya akan menjadi pengontrol yang mudah dalam menjadikan sistem ekonomi kesehatan di Indonesia agar menjadi lebih stabil. Sehingga terbentuk grafik equiliburm yang sesuai dengan kemampuan masyarakat, jangan sampai slogan “bila sakit menjadi miskin” masih dirasakan di Indonesia. Karena kesehataan adalah asset utama suatu bangsa. Peran serta masyarakat dalam aktif mengawasi setiap pelayanan kesehtan yang diberikan juga menjadi point penting, agar program jaminan sosial nasional ini dapat berjalan menyeluruh, rata, adil, dan berkesinambungan.

kontrol yang sangat ketat menjadi acuan utama pihak BPJS agar para peserta tidak merasa kecewa, ditambah pula dengan sisitem rujukan yang sudah merepotkan. Jangan sampai pelayaan yang didapatpun terasa dipandang sebelah mata. Tolok ukur standar mutu pelayanan kesehatan di semua tempat fasilitas kesehatan juga seharusnya dibuat. Dengan hal ini tentu masyarakat merasa nyaman. Jangan sampai dengan menggunakan BPJS masyarakat diperlakukan seadanya, dan seminimalis mungkin dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Jumlah dana kapitasi yang dibayarkan pada fasilitas pelayanan kesehatan juga harus sesuai, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun