Pada pilpres tahun 2019 ini, bisa dikatakan sebagai pilpres paling chaos dan paling kotor sepanjang sejarah Indonesia. Bagaimana tidak, kampanye yang dilakukan oleh capres cawapres pada tahun ini bukan hanya dengan menebar janji yang belum tentu ditepati, tetapi juga menebar kebohongan secara terang-terangan tanpa tahu malu. Berita bohong yang biasa kita sebut hoax ini tersebar di berbagai platform, terutama di WhatsApp dan Facebook.
Hal ini sangat miris ketika melihat begitu banyak orang yang terpengaruh dengan kebohongan terang-terangan ini. Berita bohong ini disebarkan secara cepat lewat media, berkelanjutan dan berulang-ulang.
Hal inilah yang menjadikan masyarakat menjadi kesulitan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang kebohongan belaka. Apalagi, masyarakat di Indonesia memiliki minat literasi yang rendah sehingga dengan mudah pola pikir mereka dapat terpengaruh oleh berita yang mereka baca tanpa melakukan kajian ulang tentang kebenaran dari berita tersebut.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/06/09/halah-png-5cfc14e40d82304c44536122.png?t=o&v=770)
Bolsonaro adalah Donald Trump nya Brazil. Ia memenangkan Pilpres di Brazil dengan menggunakan teknik Firehose of falsehoods. Padahal sebelumnya Bolsonaro tidak lebih hanya lelucon di politik Brazil. Uniknya di Brazil, hoax disebarkan melalui whatsapp group. Rakyat Brazil ditakuti mengenai invasi pekerja China.
Teknik ini mungkin terdengar sepele, namun terbukti teknik ini termasuk teknik yang bisa saja berhasil jika rakyat sudah terlanjur percaya dan mempertahankan keyakinannya. Teknik ini menyerang otak bagian amygdala yang menimbulkan rasa takut pada masyarakat sehingga jika diberikan secara berulang maka akan tumbuh rasa percaya dan meyakini berita tersebut.
Mereka akan berusaha untuk mengurangi rasa takut dengan berusaha melakukan perlawanan terhadap objek yang dijadikan kambing hitam dalam berita tersebut. Salah satunya seperti mereka yang pendukung lawan terus menyalahkan pemerintah karena dianggap membawa tenaga kerja asing dari China hingga 'pribumi' tidak lagi memiliki lahan pekerjaan, atau isu agama yang sangat sensitive di negara ini.
Namun, bukan berarti kita tidak bisa melawan teknik ini. Prancis contohnya, mampu melawan teknik ini yang digunakan oleh Le Pen karena memiliki budaya literasi yang tinggi dan jurnalistik yang kuat. Selain itu, penerapan hukum yang tegas di sana membuat berita bohong tidak mampu mempengaruhi masyarakatnya, karena mereka pasti lebih percaya pada media resmi yang jelas, karena jika media tersebut menyebar berita yang salah maka mereka bisa terancam gulung tikar tanpa terkecuali.
Lalu, sebenarnya bagaimana cara kita untuk menghadapi teknik ini apabila mungkin terjadi lagi di masa depan? berikut dapat dikatakan adalah beber beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menghadapi Firehose of Falsehood ini.
![RAND](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/06/09/img-20181031-054924-5bdec286677ffb227b47c2c2-5cfc15263d68d57250752f18.jpg?t=o&v=770)
![rcmediafreedom.eu](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/06/09/perancis-png-5cfc16223ba7f75ff971dd99.png?t=o&v=770)
Ketiga, melakukan debunking pada semua hoax yang sudah tersebar. Menurut Tim Harford, hoax tidak akan ampuh dilawan dengan fact checking karena data merupakan hal yang membosankan dan rumit untuk orang awam, maka dari itu hoax lebih menempel karena lebih menarik dan simple. Ketika seseorang sudah termakan hoax maka ia akan mencari pembenaran atas hal yang ia yakini. Semakin tinggi pendidikannya, semakin kuat pula perlawanannya ketika didebunking.
Tim Harford menyarankan untuk menggunakan rasa ingin tahu manusia dalam melakukan debunking. Kekuatan Firehose of Falsehood ada pada cerita dan narasi. Maka cara melawannya dengan membangun rasa ingin tahu dalam masyarakat seperti mempertanyakan kebenarannya, latar dari berita, dan banyak lagi. Oleh karena itu, masyarakat akan diarahkan untuk mencari dan melihat fakta yang sebenarnya.
Hal lain yang tidak kalah penting dari semua cara di atas, Kemenlu Prancis menyarankan untuk melawan Firehose of Falsehood dengan sense of humor. Selain melawannya dengan serius seperti memberi data, hoax itu juga bisa dibuat sebagai bahan candaan di media sosial, sehingga hoax itu dapat terlihat konyol dan orang menjadi berpikir ulang untuk mempercayainya. Mentertawakan hoax juga dapat meredakan rasa ketakutan dan menjadikan mereka yang terkena dampaknya menjadi lebih tenang.
Indonesia sendiri patut berbangga diri karena mampu melawan Firehose of Falsehood ini secara sadar. Mereka semua yang mengetahui tentang teknik FoF saling bahu-membahu menyebarkan awareness tentang teknik berbahaya ini sehingga Indonesia dapat memenangkan pertempuran ini. Tapi, dampak dari pilpres tahun ini cukup mengerikan, kubu lawan yang terlanjur termakan hoax menjadi marah karena mereka merasa diri mereka kalah melawan kejahatan dan merasa terancam.
Hal inilah yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan selanjutnya. Tidak perlu membuat mereka menjadi satu suara, namun diperlukannya penanganan untuk masalah psikologis mereka agar dapat dijalankannya pilpres yang lebih sehat dan lebih bersih dari tahun ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI