Bullying atau perundungan adalah bentuk penindasan atau kekerasan yang disengaja oleh seseorang atau kelompok tertentu.
Perundungan dapat terjadi di berbagai lingkungan, seperti di tempat bermain, lingkungan keluarga, dan juga di lingkungan belajar.
Korban bullying bisa menimpa siapa saja, tanpa memandang usia, jenis kelamin, atau ras. Salah satu alasan menjadi korban bullying adalah karena perbedaan dengan mayoritas di lingkungan korban bullying, seperti penampilan yang berbeda seperti berat badan yang berlebihan atau kurang, kemampuan komunikasi, jenis kelamin, status sosial, dan lain-lain.
Dampak dari bullying tidak boleh dianggap remeh, terutama jika terjadi di sekolah. Korban bisa mengalami gangguan kesehatan mental, merasa terisolasi secara sosial, tidak memiliki teman untuk berbagi perasaan, dan semua itu dapat mempengaruhi prestasi akademik.
Berdasarkan informasi dari .TRIBUNJABAR.ID, terjadi kasus bullying di sebuah sekolah di Jakarta. Sebelas siswa dari kelas X di SMAN 26 Jakarta diduga menjadi korban perundungan oleh siswa-siswa senior dari kelas XI dan XII. Kejadian tersebut terjadi di rumah salah satu pelaku di daerah Setiabudi, Jakarta Selatan, pada Jumat (1/12/2023) sekitar pukul 16.00 WIB. Salah satu korban dalam kasus ini adalah seorang siswa berusia 16 tahun dengan inisial AF. Ibu korban telah melaporkan kejadian perundungan yang dialami anaknya ke Polres Metro Jakarta Selatan.
Laporan tersebut telah didaftarkan dengan nomor LP/B/3647/XII/2023/SPKT/Polres Metro Jaksel/Polda Metro Jaya pada tanggal 2 Desember 2023. Menurut kuasa hukum korban, William Albert Zai, terdapat 15 orang yang diduga sebagai pelaku perundungan. Awalnya, korban dihubungi melalui aplikasi pesan singkat WhatsApp (WA) dan diminta untuk datang ke rumah salah satu pelaku. Kejadian ini tidak terjadi hanya sekali, tetapi berulang kali.
Ketika AF tiba di rumah pelaku, beberapa korban lainnya sudah lebih dulu mengalami kekerasan di satu ruangan. AF diminta untuk menunggu di ruangan lain. Setelah selesai, AF dipanggil dan kekerasan tersebut dilakukan secara bergiliran oleh beberapa orang.
Selain kasus bullying di SMAN 26 Jakarta, kasus bullying juga dilaporkan terjadi di tempat lain. Misalnya Kasus Bullying yang  terjadi di SMP Cilacap:kasus bullying juga terjadi dan menimbulkan keprihatinan di kalangan masyarakat. Dalam kasus ini, dua terduga pelaku masih berusia di bawah umur. Proses hukum telah dimulai sesuai sistem peradilan anak, dengan penekanan pada pentingnya proses yang cepat untuk tujuan pencegahan terhadap anak-anak lain yang mungkin terlibat dalam perundungan.
Kasus-kasus bullying dapat terjadi di berbagai lingkungan, termasuk di lingkungan sekolah. Dalam artikel ini, kita akan menganalisis kasus bullying yang terjadi di dua sekolah, yaitu SMAN 26 Jakarta dan SMP Cilacap. Kedua kasus tersebut memberikan gambaran yang berbeda namun relevan tentang permasalahan bullying di lingkungan pendidikan.
Dalam artikel ini, kita akan menganalisis kasus bullying yang terjadi di SMAN 26 Jakarta dan SMP di Cilacap melihat tinjauan dari perspektif agama, biologis, sosiologis, dan psikologis. Selain itu, kita juga akan memberikan langkah-langkah pencegahan dan dukungan bagi korban bullying.
Dari perspektif agama menunjukkan bahwa perundungan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kasih sayang yang diajarkan oleh agama. Agama mengajarkan pentingnya menghormati dan mengasihi sesama manusia tanpa memandang perbedaan. Oleh karena itu, para pemuka agama dapat memberikan pemahaman dan bimbingan kepada para pelajar tentang pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai agama dalam berinteraksi dengan sesama.
Dari perspektif biologis, faktor-faktor seperti tingkat hormon dan perkembangan otak dapat memengaruhi perilaku bullying. Namun, penting untuk diingat bahwa faktor biologis bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi perilaku ini. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman dan pendekatan yang holistik dalam mengatasi kasus bullying.
Dalam perspektif sosiologis, perundungan sering kali terjadi dalam konteks hierarki sosial di sekolah. Para pelaku, yang merupakan kakak kelas dari korban, mungkin merasa perlu untuk menunjukkan kekuasaan atau dominasi terhadap siswa yang lebih muda. Faktor-faktor seperti tekanan kelompok, norma sosial, dan keinginan untuk mendapatkan pengakuan atau popularitas juga dapat mempengaruhi terjadinya perundungan. Dalam hal ini, perlu adanya upaya untuk mengubah norma-norma yang mendukung perilaku bullying dan menciptakan lingkungan sekolah yang inklusif.
Dari perspektif psikologis, faktor-faktor seperti masalah emosional atau rendahnya harga diri dapat memengaruhi perilaku bullying. Pemahaman tentang faktor-faktor ini dapat membantu kita dalam mengidentifikasi dan mengatasi akar permasalahan yang mendasari perilaku bullying. Psikolog dan konselor dapat memberikan pendekatan terapi yang tepat kepada pelaku dan korban untuk membantu mereka mengatasi masalah psikologis dan membangun keterampilan sosial yang sehat.
Untuk mencegah kasus bullying di sekolah, langkah-langkah berikut dapat diambil:
1. Meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif perundungan melalui program pendidikan dan kampanye anti-bullying di sekolah. Program ini dapat melibatkan siswa, guru, orang tua, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan bebas dari perundungan.
2. Membangun lingkungan sekolah yang inklusif, di mana setiap siswa merasa aman dan dihormati. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong kerja sama dan toleransi antar siswa, mengadakan kegiatan yang memperkuat hubungan sosial, dan menghargai keberagaman.
3. Menerapkan kebijakan nol toleransi terhadap perundungan dan menegakkan sanksi yang tegas bagi pelaku. Hal ini akan memberikan sinyal yang jelas bahwa perundungan tidak dapat diterima dan akan ditindak dengan tegas.
4. Mengembangkan mekanisme pelaporan yang aman dan rahasia untuk korban melaporkan kasus perundungan. Siswa harus merasa nyaman dan percaya bahwa laporan mereka akan ditangani dengan serius dan kerahasiaan akan dijaga.
5. Memberikan dukungan psikologis dan emosional kepada korban bullying melalui bimbingan dan konseling. Guru dan konselor sekolah dapat memberikan pendampingan dan bantuan kepada korban untuk mengatasi dampak psikologis yang ditimbulkan oleh perundungan.
Selain itu, ada beberapa program anti-bullying yang telah terbukti berhasil diimplementasikan di sekolah-sekolah sebagai upaya untuk mengurangi kasus perundungan. Salah satu contohnya adalah program "Bullying-Free School" yang telah diterapkan di beberapa sekolah di Indonesia. Program ini telah membantu menciptakan lingkungan sekolah yang bebas dari perundungan dan berhasil mengurangi kasus-kasus bullying. Program ini melibatkan partisipasi aktif semua pihak, termasuk siswa, guru, orang tua, dan staf sekolah dalam membangun kesadaran, memberikan edukasi tentang pentingnya menghormati perbedaan, dan mengajarkan keterampilan sosial yang positif. Dengan adanya program-program seperti ini, diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi sekolah-sekolah lain dalam upaya mencegah dan mengatasi kasus bullying.
- Anggun Febby Handayani, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
- Rahmawati, S.Psi., M.A., Dosen Psikologi dan Bimbingan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Sumber: "Kasus Bullying di SMAN 26 Jakarta: 12 Siswa Diduga Jadi Korban Perundungan oleh Siswa Senior," Tribun Jabar, 2 Desember 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H