Mohon tunggu...
Anggun Dwi Pramesti
Anggun Dwi Pramesti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkawinan yang Bahagia dalam Perspektif Hukum Perdata Islam di Indonesia

21 Maret 2023   23:27 Diperbarui: 21 Maret 2023   23:39 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pencatatan pernikahan merupakan hal yang sangat penting karena memberikan kepastian hukum bagi pasangan yang menikah. Dengan adanya pencatatan pernikahan, maka pasangan yang menikah akan mendapatkan hak-hak dan kewajiban yang diakui oleh negara, seperti hak waris, hak asuransi, hak kepemilikan aset bersama, serta kewajiban membayar pajak.

Selain itu, pencatatan pernikahan juga sangat penting dalam mengatasi masalah administrasi kependudukan. Dalam pencatatan kependudukan, pasangan yang menikah akan tercatat sebagai suami-istri dan dapat mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga. Hal ini akan memudahkan dalam pengurusan dokumen dan pelayanan publik lainnya.

Namun, dampak yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan secara luas sangat berpotensi merugikan pasangan yang menikah. Tanpa adanya pencatatan, maka hak-hak dan kewajiban pasangan tidak diakui oleh negara dan berpotensi tidak diakui oleh masyarakat. Selain itu, pasangan juga tidak dapat menikmati manfaat asuransi, hak waris, dan hak-hak lainnya.

Dampak yang terjadi:

* Secara sosiologis, pencatatan pernikahan mencerminkan adanya kesepakatan sosial dalam sebuah masyarakat. Pencatatan pernikahan juga menunjukkan bahwa pasangan tersebut tidak hanya menunjukkan cinta dan kasih sayang satu sama lain, tetapi juga menunjukkan tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini, pencatatan pernikahan menjadi salah satu bentuk penerapan nilai-nilai sosial dalam sebuah masyarakat.

* Dari segi religius, pencatatan pernikahan adalah sebuah ritual yang dipercayai akan menjamin keberkahan dan keberlangsungan hubungan tersebut di hadapan Tuhan. Pencatatan pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang dijalani oleh pasangan yang mengikuti ajaran agama masing-masing.

* Sedangkan dari segi yuridis, pencatatan pernikahan mempunyai makna yang sangat penting karena terkait dengan keabsahan status hukum dari pasangan tersebut. Dalam hal ini, pencatatan pernikahan diperlukan untuk menjamin hak dan kewajiban pasangan serta perlindungan hukum terhadap hubungan tersebut.

4. PENDAPAT ULAMA DAN KHI TENTANG PERKAWINAN WANITA HAMIL!

* Menurut KHI
Pasal 53 KHI tidak memberikan sanksi atau hukuman bagi pezina, tetapi menawarkan penyelesaian perkawinan yang dikandung zina dengan segera. Sedangkan hukuman zina telah dijelaskan dalam fiqh, antara lain:
jika pezina menikah (zina muhsan), hukumannya adalah cambuk seratus dan kemudian rajam. Bagi pezina yang belum menikah (Zina Ghairu Muhsan) hukumannya adalah cambuk 100 kali dan kemudian diasingkan ke tempat lain selama satu tahun.
Namun ketentuan Pasal53 KHI tersebut secara logis dapat dibenarkan dan dapat dijadikan landasan hukum. diterapkan dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. kemampuan Perkawinan dengan wanita hamil menurut ketentuan Pasal 53 KHI secara tegas dibatasi untuk pernikahan dengan laki-laki yang menghamilinya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam An-Nur ayat 3 yang artinya: "Laki-laki yang berzina tidak menikah kecuali wanita yang berzina atau wanita yang musyrik. berzina adalah pezina atau laki-laki musyrik dan itu diharamkan bagi manusia.

*Menurut Para Ulama
a. Imam Hanafi dan Imam Syafii
Seorang wanita yang hamil karena perzinahan dapat menikahi wanita tersebut atau pria lain. Menurut pendapat Imam Hanafi sebagai berikut: "Wanita yang hamil karena zina tidak iddah, bahkan dia boleh menikah dengannya, tetapi dia tidak boleh bersetubuh sebelum dia melahirkan."
Seperti yang dikatakan Imam Syafi'i:
"Seks akibat zina tidak sah, wanita yang hamil akibat zina boleh menikah bahkan berhubungan seks dalam keadaan hamil".
Oleh karena itu, perempuan zina tidak tunduk pada ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Karena iddah memutuskan bahwa dalam pernikahan yang sah hanya sperma dalam rahim wanita yang dihargai. Air mani dari seks di luar nikah tidak didefinisikan secara hukum.
Mereka menyimpulkan dengan Al-Quran dalam Surah An-Nur, ayat 3: "Seorang laki-laki yang berzina hanya menikah dengan seorang pezina atau musyrik; dan seorang wanita yang berzina hanya menikah dengan seorang pezina atau musyrik".
Menurut Imam Hanafi, sementara wanita hamil boleh menikah dengan pria, dia tidak boleh melakukan hubungan seksual sampai bayinya lahir di dalam kandungan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya:
Jangan berhubungan seks dengan wanita hamil sampai Anda melahirkan.
Menurut Imam Syafi' perkawinan wanita hamil dapat terjadi, dia juga dapat melakukan hubungan seksual dengannya, hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya "Karena dia adalah pengantinnya karena kamu memintanya halal. status. untuk mendapatkannya ketika anak itu adalah hambamu "...
Menurut pengamatan Imam Syafii, jika seorang wanita hamil melalui hubungan seks di luar nikah, jika ia menikah dengan laki-laki, maka kehamilan tersebut tidak akan mempengaruhi pernikahannya.
Jika memperhatikan pendapat Imam Hanafi, meskipun wanita hamil boleh menikah dengan laki-laki, namun ia dilarang melakukan hubungan seksual. Melarang wanita hamil melakukan hubungan seksual dengan pria beristri berarti kehamilannya mengganggu kelangsungan kehidupan rumah tangganya, sebagaimana layaknya pria beristri.

b. Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal
Seorang wanita yang hamil karena perzinahan laki-laki lain tidak dapat dinikahi sampai dia melahirkan seorang anak.
Menurut Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal, keadaan yang sama berlaku bagi mereka yang menikah dalam bentuk zina atau pernikahan yang diragukan, dalam hal ini mereka harus bersuci bersamaan dengan iddah. Untuk mendukung pendapat mereka, mereka mengutip alasan dari kata-kata Nabi. muhammad SAW artinya :
"Tidak halal laki-laki yang beriman kepada Tuhan dan akhirat memercikkan air (spermanya) pada orang lain, yaitu tawanan yang hamil di penangkaran, tidak halal laki-laki yang beriman kepada Tuhan dan akhirat mengumpulkan perempuan. tawanan perang sampai dia merayakan Istibra' - adalah (iddah) periode. Mereka juga membenarkan sabda Nabi Muhammad SAW lainnya:
"Jangan bersetubuh dengan wanita hamil sampai dia melahirkan, dan dengan wanita yang tidak hamil sampai dia datang bulan."
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal menarik kesimpulan dari keduanya. Hadits mengatakan bahwa wanita hamil tidak boleh menikah karena dia membutuhkan iddah. Mereka berlaku secara universal, termasuk wanita hamil dari perkawinan yang sah serta wanita hamil akibat perzinahan.
Penetapan pelarangan nikah bagi wanita hamil didasarkan pada pendapat mereka, dengan kata lain wanita yang hamil karena zina tetap memiliki iddah, sehingga wanita hamil tidak dapat menikah sebelum melahirkan anak. Isi. Oleh karena itu, wanita hamil tidak diperbolehkan untuk menikah.
Padahal, menurut Imam Ahmad bin Hambal, seorang wanita yang hamil karena zina harus bertaubat sebelum dia dapat menikah dengan pria yang menikahinya. Pendapat kedua imam tersebut dapat dipahami untuk menghindari kerancuan anak, yaitu anak yang memiliki anak dan anak yang dinikahi ibunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun