K.H. Abdul Wahid Hasyim, lahir pada 1 Juni 1914 di Jombang, Jawa Timur, adalah seorang ulama terkemuka, pemimpin nasional, dan pahlawan Indonesia yang sangat berjasa dalam perjuangan kemerdekaan serta pembangunan kehidupan beragama di Indonesia. Ia adalah putra dari K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, dan Nyai Nafiqah.Â
Dari lingkungan keluarganya yang kental dengan tradisi keilmuan Islam, Wahid Hasyim tumbuh dengan kecintaan mendalam terhadap ilmu dan agama.
Pendidikan dan Kecerdasan Sejak Dini
Sejak kecil, Wahid Hasyim sudah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Pada usia tujuh tahun, ia sudah mampu mengkhatamkan Al-Qur'an, sebuah prestasi yang jarang diraih anak seusianya.Â
Selain mendalami agama, Wahid juga mempelajari beberapa bahasa asing, seperti Arab, Inggris, dan Belanda. Wahid Hasyim tidak menempuh pendidikan formal di sekolah-sekolah kolonial, melainkan memilih belajar di madrasah salafiyah dan pesantren, yang fokus pada pengajaran agama Islam.
Pada usia 18 tahun, Wahid Hasyim berangkat ke Makkah pada tahun 1932 untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama. Perjalanan ini memberikan banyak manfaat bagi dirinya, memperkaya pengetahuan agamanya, serta memperluas pemikirannya mengenai berbagai persoalan umat. Sepulangnya dari Makkah, Wahid mulai aktif mengajar di Pesantren Tebuireng, yang dikelola ayahnya.Â
Pada tahun 1934, ia mendirikan Madrasah Nizhamiyah, sebuah institusi pendidikan yang menggabungkan ilmu agama dengan ilmu umum. Ini adalah langkah revolusioner dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, karena Wahid menyadari pentingnya integrasi antara pendidikan agama dengan ilmu pengetahuan modern.
Kiprah dalam Perjuangan Kemerdekaan
Semakin tumbuh kesadaran nasionalisme di Indonesia pada dekade 1930-an dan 1940-an, Wahid Hasyim pun ikut terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Ia dikenal sebagai tokoh yang mampu menggabungkan nilai-nilai Islam dan nasionalisme secara harmonis.Â
Pada masa pendudukan Jepang, Wahid Hasyim memimpin Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), organisasi politik Islam yang berpengaruh pada masa itu. Dalam perannya sebagai ketua, Wahid membantu menyatukan tokoh-tokoh Islam dalam satu wadah untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Selain itu, Wahid juga ikut terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), badan yang dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.Â
Ia adalah salah satu anggota Panitia Sembilan, yang bertugas merumuskan dasar negara Indonesia. Dalam panitia ini, Wahid menjadi salah satu penggagas sila pertama Pancasila, yang menekankan pentingnya Ketuhanan. Pandangannya mencerminkan keyakinan bahwa dasar negara Indonesia harus mengakomodasi nilai-nilai agama, tanpa mengabaikan keragaman yang ada di masyarakat Indonesia.
Kiprah sebagai Menteri Agama
Setelah Indonesia merdeka, Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Menteri Agama dalam beberapa kabinet, termasuk di Kabinet Republik Indonesia Serikat dan Kabinet Sukiman. Sebagai Menteri Agama, Wahid melakukan berbagai terobosan penting dalam bidang pendidikan agama.Â
Salah satu kebijakan terbesarnya adalah mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) pada tahun 1950, yang kini berkembang menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Universitas Islam Negeri (UIN) di berbagai daerah di Indonesia. Institusi ini sangat berperan dalam mencetak intelektual Muslim yang berwawasan luas dan mampu berkontribusi pada pembangunan bangsa.
Wahid Hasyim juga berjasa dalam memperkenalkan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum, sehingga semakin banyak siswa yang dapat mempelajari agama Islam dengan kurikulum yang terstruktur.Â
Berkat kebijakan-kebijakannya, pendidikan agama di Indonesia tidak lagi terbatas pada pesantren, tetapi juga tersedia di sekolah-sekolah umum, sehingga dapat diakses oleh masyarakat yang lebih luas. Kebijakan-kebijakan inilah yang membuktikan bahwa Wahid Hasyim adalah seorang pemimpin yang visioner, dengan perhatian besar terhadap modernisasi pendidikan.
Keluarga dan Pengaruhnya
K.H. Abdul Wahid Hasyim menikah dengan Nyai Hj. Solichah, putri dari K.H. Bisri Syansuri, seorang ulama terkenal di Jawa Timur. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai enam anak, salah satunya adalah Abdurrahman Wahid, yang kemudian menjadi Presiden keempat Republik Indonesia. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai keagamaan dan kepemimpinan yang ditanamkan Wahid Hasyim dalam keluarganya sangat kuat, sehingga berpengaruh besar dalam perjalanan hidup anak-anaknya.
Wafat dan Warisan
Sayangnya, K.H. Abdul Wahid Hasyim meninggal pada usia yang masih muda, yaitu 39 tahun, akibat kecelakaan mobil di Cimahi, Jawa Barat, pada 19 April 1953. Jenazahnya dimakamkan di Tebuireng, Jombang, tempat yang menjadi pusat keilmuan Islam. Atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan dan membangun bangsa, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.
Wahid Hasyim dikenang sebagai tokoh yang memiliki peran penting dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam dasar negara Indonesia serta dalam memajukan pendidikan agama di Indonesia.Â
Sosoknya menjadi inspirasi bagi generasi muda, sebagai contoh seorang ulama yang berwawasan luas, berpikir modern, dan mampu menyeimbangkan antara nilai-nilai agama dan pembangunan bangsa. Warisannya tetap hidup melalui kebijakan-kebijakan yang ia rintis, serta melalui keluarganya yang terus berkontribusi bagi negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H