ASEAN yang merupakan perhimpunan bangsa-bangsa di Asia Tenggara tentunya memiliki mekanisme tersendiri dalam menyelesaikan konflik anggota-anggotanya. Salah satu mekanismenya ialah ASEAN Way, dimana penyelesaian sengketa ditempuh melalui jalur damai seperti konsultasi dan konsensus, dialog, negosiasi, namun tetap dengan prinsip non intervensi.Â
Terdapat pula TAC atau Treaty of Amity and Cooperation yang merupakan prinsip dasar dari mekanisme penyelesaian sengketa ASEAN dengan cara informal (dialog, konsultasi, negosiasi, jasa baik, konsiliasi, mediasi). Namun, jalur mekanisme ini masih dianggap tidak terlalu mengikat dan memiliki landasan hukum yang kuat.Â
selain itu ada, Dispute Settlement Mechanism (DSM) yang menyediakan prosedur yang lebih formal dan legalistik untuk menyelesaikan sengketa, termasuk langkah-langkah seperti konsultasi awal, pembentukan panel penyelesaian sengketa, dan keputusan yang lebih mengikat. Banyak konflik yang melibatkan negara anggota ASEAN, baik dengan sesama anggotanya maupun diluar anggota ASEAN. Beberapa contoh konflik yang terjadi dan mekanisme penyelesaiannya nya sebagai berikut: Â
Sengketa Malaysia dan Singapura mengenai reklamasi pantai di dan di  sekitar selat Johor. Malaysia merasa reklamasi pantai tersebut telah menyebabkan kerusakan yang serius yang tidak dapat diperbaiki. Malaysia memilih ITLOS dan Mahkamah Arbitrase dalam menyelesaikan permasalahannya. Dan pada 26 April 2005 kedua negara menandatangani Settlement Agreement.Â
Sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia. Pada persengketaan ini kedua negara memilih untuk menyelesaikan konfliknya melalui International Court of Justice (ICJ). Pada 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan berada di bawah Malaysia. Keputusan tersebut didasarkan pada bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak serta pertimbangan aspek historis dan hukum.Â
Sengketa di sekitar wilayah Kuil Preah Vihear antara Kamboja dan Thailand. Konflik yang kembali memanas setelah ditetapkannya Kuil Preah Vihear sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO membuat kedua negara mempermasalahkan wilayah tersebut. ASEAN menawarkan bantuan untuk penyelesaian dengan jalur damai. Dan sempat  terjadi beberapa pertemuan namun tidak membuahkan hasil. Pada akhirnya, Thailand memutuskan membawa konflik ini ke ICJ.
Mekanisme penyelesaian sengketa ASEAN yang didasarkan pada prinsip non-intervensi dan konsensus dianggap kurang efektif dalam menangani konflik-konflik ini. Intervensi ASEAN lebih banyak bersifat fasilitasi, seperti yang terlihat dalam peran mediasi Indonesia pada 2011 dalam sengketa Kuil Preah Vihear.Â
Namun, ASEAN tidak mampu mencegah atau menyelesaikan konflik secara tuntas tanpa keterlibatan institusi lain, seperti Dewan Keamanan PBB atau Mahkamah Internasional, yang kemudian memberikan keputusan interpretasi tambahan terkait sengketa tersebut.
 Dapat dilihat dari beberapa contoh kasus diatas dimana negara anggota ASEAN lebih memilih untuk menyelesaikan konflik dan sengketanya diluar mekanisme ASEAN. Baik secara informal maupun formal. Kebanyakan anggota ASEAN merasa bahwa mekanisme peradilan Internasional seperti badan Mahkamah Internasional, dan ITLOS lebih maksimal.Â
Hal tersebut menunjukan lemahnya mekanisme penyelesaian ASEAN dimana tidak begitu mengikat secara hukum (hanya mengikat secara moral saja), sehingga seringkali diabaikan keputusan dalam penyelesaian sengketa. Bahkan mekanisme High Council yang terdapat dalam TAC masih belum pernah digunakan secara secara optimal untuk menyelesaikan suatu konflik hingga tuntas.Â
Semakin kompleksnya konflik yang dihadapi oleh anggota ASEAN membuat ASEAN harus mencari upaya lain dalam menyelesaikan konflik para anggotanya. Seperti halnya organisasi intra-regional lainnya yaitu European Union yang telah memiliki European Court of Justice atau pengadilan Eropa, dan tidak menutup kemungkinan ASEAN membentuk hal yang serupa. Â