PENGHAPUSAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR
Mencapai Penghapusan dan Keharusan Moral dalam Politik Internasional
Senjata nuklir merupakan salah satu dari berbagai jenis senjata pemusnah massal, Senjata nuklir telah menjadi topik kontroversial dalam politik internasional selama beberapa dekade terakhir. Keberadaan senjata nuklir menciptakan ancaman besar terhadap perdamaian dan keamanan global, sementara penggunaannya dalam konteks perang masih menjadi pertanyaan etis yang mendalam. Salah Satu kasus penggunaan senjata nuklir berlangsung pada Perang Dunia ke II saat Amerika menjatuhkan bom atom ke negara Jepang, tepatnya pada kota Hiroshima dan Nagasaki. Kejadian yang berlangsung pada 6 dan 9 Agustus 1945 tersebut, menimbulkan banyak kerugian materil juga lebih dari 200.000 korban jiwa mengalami luka-luka hingga tewas.
Berdasarkan masalah tersebut, muncullah pertanyaan apakah senjata nuklir dapat dihapuskan dan apakah penggunaan senjata nuklir untuk memenangkan perang dapat dibenarkan secara moral? Dalam esai ini, kita akan mengeksplorasi apakah senjata nuklir dapat dihapus dan apakah penggunaannya untuk memenangkan perang dapat dibenarkan secara moral dalam kerangka pendekatan utama dalam politik internasional.
Penghapusan Senjata Nuklir
Secara sederhana, senjata nuklir merupakan senjata yang melibatkan reaksi nuklir untuk menghasilkan ledakan yang sangat besar dan dapat menjadi senjata penghancur dalam lingkup yang sangat luas. Semenjak kemunculan senjata nuklir sebagai senjata pemusnah masal, maka kebijakan internasional memuat tatanan bagaimana penggunaan dan pengendalian senjata tersebut. Setelah peristiwa bom atom yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki menimbulkan berbagai reaksi dari dunia internasional. Kehancuran besar tersebut menjadi salah satu faktor berakhirnya Perang Dunia II, yang memberikan kesadaran tentang betapa mengerikannya kekuatan senjata nuklir. Namun hal tersebut malah menjadi ajang adu kekuatan oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet. Setelah itu keberadaan senjata nuklir yang semakin menjadi ancaman, menyebabkan PBB membuat perjanjian pelarangan senjata nuklir yang dimuat dalam Treaty on the Prohibition Of Nuclear Weapons. Pasal 1 poin (a) pada perjanjian tersebut menyebutkan larangan mengembangkan, menguji, memproduksi, memiliki, ataupun menyimpan senjata nuklir atau perangkat peledak lainnya.
Pendekatan realis yang memiliki kecenderungan anarkis dalam sistem internasional dan kepentingan internasional. Negara akan bertindak rasional dan egois saat berfokus pada keamanan dan kekuatan relatif. Menurut perspektif realisme penghapusan senjata nuklir akan sulit untuk dilakukan, karena keamanan dan ketahanan nasional merupakan hal terpenting. Bagi negara-negara yang memiliki senjata nuklir, senjata tersebut merupakan aset besar dalam pertahanan dan keamanan negaranya. Potensi besar dalam senjata nuklir dapat menangkal berbagai ancaman serangan dan dapat menjadi balasan bagi negara lainnya. Beberapa negara dengan kepemilikan senjata nuklir dilaporkan telah meminimalisir pemakaian senjata nuklir sebagai amunisi perang. Akan tetapi, senjata nuklir tersebut dalam keadaan siaga tinggi yang berarti nuklir-nuklir tersebut siap diluncurkan sewaktu keadaan darurat. Walaupun jumlah pasti kepemilikan senjata nuklir dirahasiakan oleh negara, diperkirakan oleh Strategic Arms Reduction Treaty (START) Amerika Serikat, Prancis, Inggris, China, India, Korea Utara, Pakistan, dan Israel memiliki lebih dari 100 senjata nuklir pada masing-masing negara. Ini menjadi salah satu bukti perspektif realis dimana setiap negara berlomba-lomba untuk menjadi unggul agar dapat menjaga pertahan dan keamanan nasional atas ancaman internasional. Dilain sisi perkembangan senjata-senjata tersebut menjadi hal yang baik pada negara karena negara tersebut akan selalu meningkatkan kualitas pertahanan dan keamanan. Namun, apakah penggunaan senjata nuklir untuk memenangkan peperangan dapat dibenarkan secara moral?
Penggunaan senjata dalam peperangan telah diatur dalam hukum internasional misalnya saja Hukum Humaniter Internasional. Hukum humaniter memiliki cakupan yang cukup luas, diantaranya Hukum Jenewa, Hukum Den Haag, dan Hak Asasi Manusia. Dalam Humaniter Internasional terdapat aturan-aturan dalam konflik bersenjata seperti larangan penggunaan senjata tertentu, perlindungan penduduk sipil, dan perlindungan tawanan perang. Dapat diketahui bahwa HHI tidak hanya mementingkan keadaan saat peperangan berlangsung, namun juga mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang. Sejalan dengan hukum humaniter, senjata nuklir sebagai senjata pemusnah massal yang digunakan saat perang dapat menimbulkan kerusakan menimbulkan banyak kerusakan fisik, bahkan kematian massal, juga dalam jangka panjang dapat merusak kesehatan manusia dan lingkungan sekitarnya. Walaupun seseorang dapat selamat dari serangan senjata nuklir disaat peperangan, namun trauma yang ditimbulkan akibat peristiwa tersebut akan menjadi ingatan buruk baki korbannya.
Berbagai hukum dan perjanjian tersebut merupakan upaya dunia internasional untuk membatasi penggunaan senjata nuklir dalam peperangan. Walaupun senjata nuklir saat ini tidak lagi digunakan sebagai senjata dalam peperangan, namun senjata nuklir sebagai bentuk pertahanan dan keamanan sebuah negara. Untuk saat ini penggunaan senjata nuklir sulit untuk dihapuskan secara menyeluruh namun, dapat diminimalisir penggunaan dan pengembangannya dengan pengawasan dari PBB dan berbagai lembaga internasional lainnya.
Pertimbangan Moral Penggunaan Nuklir dalam Peperangan
Pendekatan realis berpendapat bahwa senjata nuklir tidak dapat sepenuhnya dihapus karena negara-negara memiliki kepentingan keamanan nasional yang melibatkan penggunaan senjata nuklir sebagai alat pemaksa atau ancaman terhadap musuh potensial. Pada kenyataannya, senjata nuklir dapat menjadi penghalang potensial bagi serangan atau perang melalui konsep pemusnahan saling terjamin (mutual assured destruction). Namun, pendekatan ini tidak mempertimbangkan konsekuensi kemanusiaan yang mengerikan dari penggunaan senjata nuklir dan risiko penggunaan yang tidak disengaja.