Belakangan heboh pembicaraan tentang sikap pemerintah yang beginilah atau yang begitulah. Jika saja ada yang melakukan pembukuan atas ‘dosa – dosa’ tersebut, mungkin lebih dari sepuluh buku penuh tulisan di dalamnya. Namun ternyata tak banyak yang memahami peran yang seharusnya dilakukan diluar menuai kritik saja.
Saya bukanlah orang yang pro pemerintah tapi saya juga tidak mau terlalu anti pemerintah. Karena jujur saya akui, tanpa pemerintah saya tak tahu apa yang akan terjadi pada tanah kelahiran saya ini (yah meski belakangan jadi carut marut). Tapi, saya berpikir bahwa sangatlah mudah melontarkan kritik tanpa harus merasakan menjadi seseorang diposisi ‘rawan’ tersebut atau memberi kritik tanpa memberi solusi yang justru memancing masalah lain muncul, kedengkian dan kebencian.
Kasus – kasus macam ini sudah mulai saya pelajari sejak saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama saat saya mendapatkan pelatihan dasar kepemimpinan untuk kali pertama dalam hidup saya. Saya sering disebut ‘anak kritis’. Memang sejak saat itu saya suka melontarkan kritik pada pimpinan saya (ketua kelas). Tapi ketika saya menggantikan dia untuk menjadi ketua kelas, ternyata banyak hal yang saya duga akan mudah saya atasi dengan kalimat – kalimat kritikan saya yang pernah saya lontarkan sebelumnya. Namun, ternyata tidak mudah.
Omdo. Mulanya saya pikir siapa pun yang menjadi pemerintah hanya aktor yang omdo (omong doang). Meski mayoritas seperti itu benar adanya, tapi tak seluruhnya begitu.
Bukan berarti situasi kacau balau di negeri ini terjadi tanpa andil kita sebagai masyarakat biasa. Saya anda dan atau kita semua turut peran dalam kesalahan – kesalahan yang terjadi di bumi pertiwi. Misal saja sekarang banyak yang bercuap – cuap salah pilih. Itu salah satu contoh kecil kesalahan kita atas segala hal yang terjadi belakangan, Bung ! Tak melulu pemerintah. Lalu apa yang harus kita lakukan ?
Bukan berarti saya dan anda harus segera menggusur pemerintah sekarang dan buru – buru mencalonkan diri menjadi jajaran pemerintah yang baru. Ingat, perebutan kursi kekuasan sudah penuh Bung ! Jangan nodai diri anda menjadi calon pemimpin yang buta arah rela main lumpur mengotori tangan anda hanya demi sebuah ’kursi’. Saya dan anda adalah seorang pemimpin, minimal bagi diri kita sendiri, keluarga, dan atau rekan kita. Namun bukan berarti anda harus menciptakan dunia kepemimpinan anda sendiri sebagai pemerintahan tandingan dan atau bahkan jajaran pemerintahan yang lengkap dengan jabatan untuk melakukan kudeta terhadap apa yang eksis sekarang. Lalu apa ?
Mulai dari diri sendiri. Sebuah kalimat yang mudah untuk diucapkan namun sulit untuk diubah menjadi nyata. Tapi saya yakinkan pada anda, hal tersebut akan mudah terjadi jika anda memulainya dari hal – hal kecil.
Menulis, menyebarkan semangat nasionalisme anda melalui tulisan anda. Berbicara, bertukar pendapat melalui ujar – ujar anda. Nge-blog menyebarluaskan ide anda melalui tulisan di blog anda. Serta banyak hal lain yang bisa anda lakukan mulai dari hal kecil yang kita sebut dengan positive thinking lalu menularkannya pada orang di sekitar kita.
Tak cukup dengan hal itu Bung ! Ada hal lain yang bisa kita lakukan selain itu. Jika kita meneriakkan isu kemiskinan tapi hanya sekedar meneriakkannya saja, maka itu tak akan merubah apapun jika kita hanya mengandalkan segala protes kita pada pemerintah akan didengar baik lalu diselesaikannya dengan baik pula. Sementara kita berteriak, wakil kita malah ’jalan – jalan’ dengan label study banding. Bagaimana akan didengar baik ?
Maka, tak melulu pemerintah pula Indonesia akan menjadi baik. Menciptakan program mandiri untuk membantu sesama atas kesadaran diri sendiri itu jauh lebih baik untuk membantu Indonesia. Tak melulu mengandalkan pada pajak untuk membenahi negeri yang lalu menjadi lahan korupsi. Wajib bagi kita membayar pajak. Wajib pula uang pajak tersebut oleh pemerintah digunakan untuk membangun negeri. Tapi ingat Indonesia bukan milik pemerintah saja.
Beberapa waktu lalu, saya melewati jalan desa yang luar biasa parah rusaknya. Belakangan, saya tahu jalan itu sudah lebih baik. Ketika saya bertanya pada warga sekitar, ternyata bukan ’antek’ pemerintah yang membenahi tapi warga sendiri dengan uang iuran kesadaran warga sendiri, mengingat jalan tersebut ramai dilalui orang – orang.
Hal kecil yang menurut saya sudah menunjukkan kesadaran tingkat tinggi. Maka jika tak melulu pemerintah yang salah menciptakan keadaan seperti ini, maka tak melulu pemerintah pula yang harus membangun negeri.
Saya kaya bukan karena pemerintah saya. Tapi karena saya Indonesia. Saya menulis artikel ini bukan karena saya membaik – baikkan pemerintah, tapi saya hanya tidak mau sikap nasionalis saya dibabat habis oleh rasa pesimis saya pada pemerintah saya.
Deliani Poetriayu Siregar,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H