Mohon tunggu...
Deliani P Siregar
Deliani P Siregar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I love to write

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bank Bing Bung: Tragedi Perbankan Indonesia

14 Mei 2011   01:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:44 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="460" caption="Source: Google.com"][/caption]

“Bang bing bung yuk kita ke Bank! Bang bing yuk kita nabung! Bang bing bung hey jangan dihitung, tahu – tahu kita nanti dapat untung,” sepotong lagu yang pernah akrab dilantukan oleh Eyang Titik Puspa.

Belakangan, kepercayaan masyarakat akan lembaga keuangan yang familiar disebut Bank terkoyak – koyak kembali. Minimnya kesadaran masyarakat untuk hidup terencana serta memiliki tabungan, sudah pupus pula dengan gaya hidup konsumtif yang makin marak menjangkiti masyarakat Indonesia dan juga degradasi akan penagawasan penggunaan dana nasabah oleh Bank menyebabkan turunnya minat calon nasabah untuk mempercayakan uangnya di Bank.

Belum lagi permasalahan mengenai kepercayaan untuk menyimpan uang di bank dengan rate bunga kurang lebih sebesar 6% per tahun yang notabene sangat kecil, pergerakan Usaha Kecil Menengah yang beberapa waktu lalu berkembang pesat di Indoensia yang tak lepas dari peran pinjaman dari Bank, kini perlahan berjalan di tempat.

Calon nasabah takut melakukan pinjaman dikarenakan bunga yang bisa mencapai 13 - 14% per tahun, membuat nyali mereka ‘kecut’. Meski tak semua bernyali sama, tapi perlahan ‘penyakit’ ini bisa merebak kepada orang sekitar mereka. Seolah tragedi.

Meskipun pernah disampaikan oleh Darmin Nasution bahwa tren bunga kredit seolah berkebalikan dengan hukum permintaan dan penawaran. Apabila permintaan akan kredit turun, maka suku bunga kredit akan naik. Namun hal inilah yang kemudian mencekik usaha rakyat. Rakyat yang ingin memiliki usaha yang mampu mendorong rate perekonomian nasional, merasa sangsi kemudian.

Lalu apa sebenarnya peran bank? Salah satu peran bank adalah mensejahterakan masyarakat dan atau bersama pemerintah menggerakkan sektor riil untuk membangun perekonomian Indonesia yang berbasis pada ekonomi kerakyatan.

Sebuah lagu pernah tercipta untuk mengajak masyarakat beramai – ramai ke Bank untuk menabung. Satu baris kalimat yang cukup menarik perhatian adalah kalimat “tahu – tahu kita nanti dapat untung”. Seolah tragedi, pertanyaan yang berkembang pada publik adalah bagaimana bisa publik merasakan untung tersebut dengan bunga yang relatif kecil. Belum lagi berpikir tentang bunga, jutaan calon nasabah sudah mempertanyakan keamanan uang yang akan disimpan di bank tersebut.

Sementara tiap individu kini kian congkak untuk seenak mereka memilah dan memilih Bank untuk mempercayakan uang mereka. Namun, tak sepenuhnya dikarenakan kecongkakan, karena hal ini jua dipicu oleh banyaknya Bank yang tengah berlomba – lomba entah untuk mendapatkan kepercayaan atau sekedar profit semata.

Lalu mengapa bank – bank di Indonesia sekalipun yang berada dalam satu ‘rumah tangga’ pemerintah, berlomba – lomba untuk mendapat profit dan atau gelar bank nomor satu di Indonesia? Lalu apakah pemerintah sengaja mengabaikan kompetisi di tengah ‘rumah tangga’nya yang semakin tidak sehat?

Pemerintah sendiri yang notabene memiliki visi untuk menyejahterakan rakyat seharusnya bisa taking role dan memberi kontrol untuk lembaga keuangan tersebut untuk sekedar back on vission dibanding bergelut dengan ‘saudara’nya hanya karena profit semata. Memang Bank Indonesia sebagai bank sentral pernah mengeluarkan opsi untuk mengatur kompetisi ini. Persyaratan akan modal minimal Rp 100 miliar pada tahun 2010 lalu telah ditetapkan. Sehingga beberapa opsi ditawarkan bagi bank yang tak mampu memenuhi persyaratan modal minimum ini. Salah satu diantara opsi tersebut adalah mengundang investor lain untuk bersinergi sehingga modal dapat mencukupi batas minimum. Namun, ternyata opsi ini belum mampu menjadi solusi. Faktanya, banyak investor asing yang tertarik untuk memborong kepemilikan bank di Indonesia. Oleh karena itu, semakin banyak nama yang tumbuh subur di Nusantara yang sebanding pula dengan semakin bingung publik melakukan kegiatan perbankan. Salah pilih nama, jutaan, bahkan miliaran uang bisa dilarikan oleh oknum tak bertanggung jawab atau justru memakmurkan negara sebelah.

Lalu bagaimana usaha sektor riil yang digadang – gadang menumbuhkan semangat perekonomian kerakyatan? Usaha sektor riil mulai terancam mandeg. Hal ini dipicu oleh banyaknya beban yang ditanggung oleh pengusaha. Beban bunga pinjaman, beban pajak, beban distribusi dan lain sebagainya sehingga menyebabkan minimnya keuntungan yang diperoleh. Tentu saja geliat memprihatinkan ini ‘menggrogoti’ semangat untuk membangkitkan perekonomian rakyat kembali.

Bank sendiri memiliki opsi untuk mengolah uang nasabah yang masuk melalui produk perbankan deposit, tabungan biasa dan atau giro. Opsi pertama adalah menyalurkan dana tersebut kepada nasabah lain melalui pinjaman atau kredit. Namun, opsi ini tampaknya mulai menjadi ketakutan bagi bank Tanah Air. Opsi ini menawarkan keuntungan besar bagi bank, namun jua risiko yang besar pula. Risiko usaha nasabah collaps ataupun tidak mampu berkembang baik serta mengalami kebangkrutan, menjadi momok menakutkan. Akan tetapi, opsi ini mampu menggerakkan sektor riil di Indonesia.

Opsi kedua yang kemudian menarik bagi bank belakangan adalah dana yang tersedia tersebut lalu dibelikan obligasi atau hal lainnya ke Bank Indonesia sehingga bank tersebut memperoleh persentase. Memang lebih aman memilih opsi kedua, namun dengan memilih opsi ini maka saja membunuh perkembangan sektor riil di Indonesia.

Lalu apa yang diperlukan publik? Seperti yang pernah disampaikan oleh Darmin Nasution bahwa bank dapat mencari area lain untuk dapat ditingkatkan efisiensinya sehingga menekan suku bunga pinjaman agar menjadi lebih wajar bagi publik. Tak lepas dari fungsi bank sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang juga berpotensi untuk memakmurkan rakyat dan mampu menggerakkan sektor riil. Tak perlu banyak nama agar publik tak bingung memilih. Tak perlu banyak nama pula agar pemerintah tak bingung mengawasi sehingga mampu memperbaiki pelayanan dan pengawasan pada bank di Indonesia. Perlunya toleransi oleh bank yang berada di bawah satu naungan pemerintah agar tidak mengabaikan kepentingan rakyat hanya karena profit sehingga tidak muncul istilah negara makan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun