[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="Source : Google"][/caption]
Seperti yang kita ketahui belakangan ini, permasalahan yang berkenaan dengan tingkat pengangguran di Indonesia, tidak pernah bergeser dari headline berita. Meskipun tidak secara gamblang menyebutkan kata pengangguran, namun ternyata hal ini merentet sejumlah permasalahan lainnya seperti tingginya tingkat kemiskinan. Hal ini lagi – lagi dilatarbelakangi oleh ketidaksiapan angkatan kerja yang kita miliki selain dari terbatasnya kesempatan kerja yang tidak sebanding dengan angkatan kerja tersebut.
Pada Februari 2010 tercatat Indonesia memiliki 116 juta angkatan kerja (Badan Pusat Statistik, Mei 2010) sedang banyak di antaranya yang tidak memiliki kesempatan bekerja hingga saat ini. Banyak yang menyatakan bahwa kesempatan kerja yang tak sebanding lah yang menjadi pokok permasalahan lalu mengabaikan masalah kesiapan lulusan kita untuk survive di dunia kerja.
Pemerintah pun sempat melakukan langkah yang cukup inovatif beberapa waktu lalu untuk mempersiapkan ”amunisi” bagi pelajar agar menjadi angkatan kerja yang siap kerja yaitu dengan program SMK : SMA = 70 : 30.
Dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 15 yakni, “Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu”.
Secara konstitusi, menunjukkan bahwa penyelenggaraan SMK mempunyai peranan strategis dalam menentukan keberhasilan pembangunan nasional. Hal itu, sejalan dengan kebutuhan sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi sesuai dengan bidang keahlian yang berkembang di masyarakat. Sehingga hal tersebut dianggap suatu alasan serta ketegasan pemerintah dalam penyelenggaraan proporsi siswa SMK : SMA = 70 : 30 untuk mempersiapkan angkatan kerja.
Kebijakan ini diambil sebagai pembekalan dini sehingga tidak hanya lulusan Perguruan Tinggi saja yang akan bersaing dalam kesempatan kerja namun juga pelajar lulusan SMK. Adapun dengan berjalannya hal tersebut akan lebih memfokuskan peserta didik SMA dengan standar yang lebih tinggi (karena pembatasan jumlah siswa). Hal ini pun dianggap sebagai alternatif pemerataan serta peningkatan mutu dan kualitas serta jumlah angkatan siap kerja dengan ketrampilan yang dibutuhkan.
Dengan demikian, siswa SMA dianggap sebagai siswa yang memiliki latar yang berbeda dengan siswa SMK. Siswa SMA dengan basic kesanggupan ekonomi (berkaitan dengan kemampuan administrasi baik untuk SMA atau pula untuk meneruskan ke perguruan tinggi) dan kesanggupan untuk meneruskan ke Perguruan Tinggi (tidak langsung bekerja) dan juga kesanggupan intelektual akademis yang baik. Sedang siswa SMK adalah siswa yang mampu mengemban ketrampilan, memiliki pekerjaan setelah kerja dan kesanggupan mental untuk bekerja.
Pada kenyataannya, saat ini dikondisikan bahwa tidak adanya deal atau kesepakatan antara pengusaha (penyedia lapangan kerja) dengan lulusan sehingga banyak kasus memberikan gambaran bahwa pekerja dengan title lulusan SMK akan dibayar jauh lebih rendah daripada pekerja dengan title sarjana. Jauh lebih buruknya, pengusaha menggambarkan lulusan SMK ini sebagai buruh dan memberi gaji standar UMR. Namun bukan jua sepenuhnya pengusaha (penyedia lapangan kerja) melakukan ini tanpa alasan. Seringkali, lulusan SMK memang berbekal sangat cukup mengenai ketrampilan kerja sesuai bidangnya, akan tetapi tidak disertai dengan wawasan yang lebih global, intelektual yang pas dan kecakapan bersosialisasi. Itulah mengapa kendala minat masyarakat masih besar tertuju pada SMA yang mungkin melanjutkan ke Perguruan Tinggi sehingga meraih gelar Sarjana sehingga bekerja dengan upah lebih tinggi dan begitu pula lah mengapa penyedia lapangan kerja menganggap remeh lulusan SMK.
Maka amunisi ini pun dinilai sebagai sebuah produk yang lahir premature yang mengesampingkan kesiapan angkatan kerja tersebut dan juga menimbulkan permasalahan baru yaitu munculnya angkatan kerja yang sangat besar tiap tahunnya karena bersamaan dengan tercetaknya angkatan kerja dengan gelar sarjana yang juga belum seratus persen siap untuk mendapatkan kesempatan bekerja.
Didukung kemudian bahwa program tersebut tidak berjalan sesuai dengan harapan. Minat 'bala muda' lebih tertuju kepada jenjang pendidikan SMA daripada SMK. Maka, apabila telah sanggup disadari bersama bahwa implementasi ini perlu waktu dan kesiapan serta keselarasan elemen pendukung lainnya yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lingkungan dan masyarakat, maka langkah ini akan menjadi amunisi yang baik bagi angkatan kerja Indonesia.
Selain dengan peningkatan implementasi dari program tersebut, maka adil rasanya apabila membicarakan amunisi bagi para bala muda yang memilih meneruskan Sekolah Menengah Atas menuju Perguruan Tinggi dan menjadi angkatan kerja yang berangkat dari sebuah gelar sarjana.
Para cendekiawan muda Indonesia masih banyak yang menjadi pengangguran dikarenakan banyak diantara mereka yang menjadi pintar namun tidak "cerdas". Pintar yang dimaksud adalah memiliki kecakapan dalam teori yang ia pelajari namun tidak "cerdas" dalam arti "gagap" dalam kreatifitas atau komunikasi atau sosialisasi atau juga kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja di saat kondisi jumlah lapangan kerja yang tidak sebanding seperti yang banyak orang bicarakan dewasa ini.
Maka tanpa didukung oleh kurikulum pun, sebaiknya lulusan - lulusan ini jauh - jauh hari telah mempersiapkan amunisinya sendiri. Memperluas networking adalah salah satu cara yang harusnya bisa mereka bangun sejak dini atau juga dengan mengembangkan keahlian ketrampilan lain sesuai dengan minat yang dikuasai benar sehingga menjadi amunisi andalan pada saat kesempatan kerja tidak terbuka lebar dan semakin menjadi tidak "sehat".
Tidak hanya text book, karena kehidupan ini bukanlah kisah fairy tale seperti yang pernah kita dengar. Mau berinovasi serta menjajaki dunia baru, mau mengenal hal baru di sekitar serta out of box bisa menjadi amunisi bagi para bala muda untuk mematangkan kesiapannya dalam menghadapi tantangan dunia global secara umum dan mendapatkan pekerjaan secara khususnya.