Mohon tunggu...
Deliani P Siregar
Deliani P Siregar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I love to write

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Di Balik Made in China

4 Mei 2011   03:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:06 1718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_107082" align="aligncenter" width="680" caption="(source: Google)"][/caption]

Hari minggu lalu, seperti biasa saya dan kedua orang tua saya pergi mengunjungi nenek saya yang saya biasa panggil dengan sebutan Mbahuti. Kakak laki - laki dari ibu saya pun kebetulan sedang berada di sana, Desa Tegalrejo, Batur, Klaten. Ketika seorang yang membantu di rumah itu sedang membuatkan minum untuk kami semua, Pakdhe saya lalu menyampaikan keluh kesahnya. Ada sesuatu yang sangat menarik yang saya dapati dari pembicaraan ini. Batur, Ceper, Klaten adalah sebuah daerah yang terkenal dengan usaha pengecoran logamnya. Tidak hanya tenar di daerah dalam negeri, tapi juga di negara - negara lain di dunia ini. Prospek luar biasa yang merupakan satu kebanggaan negeri ini. Namun ancaman yang telah meneror beberapa tahun belakangan ini, membuat beberapa pengusaha pengecoran logam di Batur, Ceper, Klaten gulung tikar. Aksi gulung tikar dan ancaman kebangkrutan usaha turun temurun ini sudah mulai menjadi nyata sejak tahun 2009. Usaha turun temurun. Sebenarnya ancaman akan adanya gulung tikar atau kebangkrutan sudah menjadi ancaman sejak terjadinya alih generasi. Banyak usaha cor yang sudah gulung tikar ketika usaha ini diturunkan kepada anaknya sebagai penerusnya yang sayangnya tidak mampu mempertahankan eksistensi usaha ini. Usaha atau kekayaan memang mudah saja diturunkan, tapi tidak dengan kemampuan mengelolanya. Usaha pengecoran logam yang dijalankan Pakdhe saya juga usaha yang diturunkan oleh kakek saya kepada beliau (mengingat beliau adalah anak laki - laki di keluarga itu). Untung saja Pakdhe saya bukanlah orang yang sempat terlena dengan kekayaan saat usaha cor logam di Batur menjadi primadona. Maka hingga hari ini usaha ini masih berlangsung baik. Saya katakan saat masih menjadi primadona karena saat ini benar - benar terjadi penurunan yang luar biasa wah. Omzet yang bisa didapatkan sekitar 1 miliar rupiah per bulan kini menjadi 100 juta rupiah saja. Hal ini benar - benar memaksa usaha turun temurun ini gulung tikar. Dikabarkan pula bahwa sejak tahun 2009 lalu Pemkab Klaten tak mampu lagi mengatasi ancaman ini sehingga lepas tangan dan menyerahkannya kepada pemerintah pusat untuk turun tangan. Pada tahun 2010 lalu, Koperasi Industri Pengecoran Batur Jaya meperoleh sejumlah bantuan dari Pemprov Jawa Tengah yang diserahkan oleh Bapak Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah. Namun belum seberapa banyak dampaknya pada industri kecil pengecoran di daerah ini. Lalu Pakdhe saya beranjak pada kisah usaha para rekannya yang memiliki usaha pengecoran serupa untuk mempertahankan usaha yang diturunkan oleh orang tuanya ini. Nah inilah kisah yang cukup banyak menarik perhatian saya pada pembicaraan Pakdhe saya. Teror gulung tikar jelas mencekik. Tapi untuk melarikan diri dari cekikan ini, beberapa rekan Pakdhe saya mengubah gaya yang membuat Pakdhe saya cemas. Made in Indonesia diubah menjadi Made in China. Sejak kapan Batur, Ceper, Klaten bukan menjadi bagian dari Indonesia melainkan China. Kata seorang kerabat, hal ini dilakukan karena produk berlabel Made in China lebih bisa menglobal serta lebih mudah diterima pasaran. Harganya memang lebih murah dibanding ketika masih berlabel Made in Indonesia. Akan tetapi setidaknya pasar lebih mudah menerima, itulah alasan oleh seorang kerabat yang ikut dalam pembicaraan sore itu. Mesin gilingan kacang dan atau kelapa misal berangkat dari Batur dengan label Made in China didistribusikan ke Bandung, Jawa Barat dan lalu diekspor ke luar negeri dan atau dijual di pasaran dalam negeri. Alhasil melihat label Made in China, produk ini mudah diterima oleh masyarakat. Seorang kerabat memang berusaha mempengaruhi Pakdhe saya yang masih kukuh mempertahankan label Made in Indonesianya. Akan tetapi, Pakdhe saya masih saja kukuh. Hal ini juga masih merupakan pesan kakek saya pada beliau. "Meski kecil, tapi kan jujur produk Indonesia," ungkap Pakdhe saya. Memang tekanan paling besar dan menggoda selalu datang setelah perjanjian ACFTA disetujui oleh pemerintah. Produk dengan label Made in China bebas berkeliaran di Indonesia. Tapi sekali lagi Pakdhe saya tak tergoyahkan. Bagus. Segelintir kisah dibalik label Made in China. Deliani Poetriayu Siregar,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun