Mohon tunggu...
Deliani P Siregar
Deliani P Siregar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I love to write

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kerinduan Ayah

1 Mei 2011   13:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:11 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumat malam lalu, ayah saya dan saya asyik bercengkrama sejak pukul 20.00 WIB, sampai dengan pukul 02.00 WIB. Pembicaraan ini bermula ketika beliau menegur adik saya.

“Hasian ! Sudah kelas satu SMA masih aja lihat kartun.”

Lah bagus kok Pa !”

”Belajar sana !”

Sesaat setelah adik saya masuk ke dalam kamar, ayah saya melanjutkan kalimatnya.

”Dulu itu ya, nggak ada kartun hewan – hewan seperti itu. Semuanya sangat Indonesia.”

Saat ini entah baiknya disebut seperti apa. Banyak sekali kartun yang menghiasi layar kaca. Mulai dari pagi buta hingga malam hari. Mulai dari tokoh – tokoh super hero, tokoh – tokoh hewan cerdas, tokoh – tokoh orang polos, ataupun tokoh – tokoh konyol yang makin marak dibuat.

Sayang seribu sayang, ayah saya memandang bahwa anak kecil saat ini tidak memiliki sebuah figur yang sangat Indonesia yang mampu menularkan semangat kebaikan mereka kepada anak – anak tersebut. Ayah saya menilai, nilai – nilai nasionalis tak dapat tertanam baik jika kita terlambat melakukan penetrasi ke dalam otak- otak segar ini. Beliau sangat takut jika suatu saat nanti lunturlah semangat mereka untuk membela negara dan bergantilah dengan mengagung – agungkan semangat impor mereka.

Saya berpikir mulanya ayah saya hanya akan melontarkan keluhnya saja terhadap apa yang terjadi, tapi ternyata tidak. Tersisip sedikit kisah romantis dalam teduhnya malam itu.

Ayah saya, akrab disapa Coky oleh saudaranya. Beliau orang Indonesia yang saya rasa selalu bisa memandang Indonesia sebagai Indonesia. Beliau lahir pada 21 Juni 1962. Cukup tua untuk putri pertamanya yang masih berusia 18 tahun. Beliau adalah orang yang mengajarkan pada saya apa yang disebut demokrasi. Beliau adalah orang yang sangat cukup untuk berbicara tentang politik. Namun, tak pernah terucap beliau ingin menjadi seorang politikus.

Terhantar begitu saja kisah romantis malam itu. Bukan kisah cinta beliau pada ibu saya. Namun sebuah kisah cinta yang mungkin dirasakan pula oleh orang – orang yang seangkatan dengan beliau. Sesosok yang setia menemani beliau sejak usia belia.

Gundala. Tiada hari beliau lewatkan tanpa memipikan sosok ini saat usia belia. Barang mahal yang tak mudah didapatkan tapi beharga dan bermakna.

Beliau menuturkan bahwa Gundala Putra Petir adalah seorang yang luar biasa. Memang gaya karikatur Gundala (setelah saya melihat dari google) sedikit terpengaruh pada gaya Amerika. Namun, ceritanya sederhana dengan setting kota Yogyakarta dan beliau berkata bahwa banyak nilai moral yang disampaikan secara langsung sehingga mudah dipahami anak – anak. Panutan yang Indonesia.

Beliau melihat sosok ini sangat Indonesia karena memang asli Indonesia. Nasionalisnya, bisa dicontoh. Begitulah kata beliau menggebu – gebu. Memang saya tak banyak tahu tentang karakter yang satu ini.

Selain Gundala, saat itu memang banyak tokoh yang mudah saja dikagumi dan asli Indonesia misal saja Godam dan atau Pangeran Mlaar. Sesaat ayah saya menyampaikan kekuatan mereka. Misal saja Pangeran Mlaar yang tubuhnya lentur luar biasa. Kerinduan ayah saya pada Pangeran Mlaar sudah mulai timbul sejak melihat seorang komedian Indonesia yang bernama Aming. Beliau katakan paras Aming mirip dengan Pangeran Mlaar. Ya, lagi – lagi saya tidak terlalu tahu. Tapi saya mampu mengimajinasikannya.

Kisah demi kisah beliau rangkai malam itu. Kenangan – kenangan itu lalu sampai pada gerbang kisah baru. Kekecewaan. Saat sebuah bank yang mengaku sangat Indonesia kemudian menghadirkan sebuah inovasi program dengan target remaja dan anak – anak. Sayang, ikon yang dihadirkan dalam program ini adalah tokoh animasi yang sengaja diimpor. Dengan nominal luar biasa yang dikeluarkan oleh bank tersebut untuk sekedar mendapat ’restu’ untuk menerbitkan tokoh tersebut dalam produknya, serta keterbatasan waktu yang dimiliki membuat ayah saya kemudian bertambah kecewa.

Ayah saya melihat ada 2 opsi yang kemudian dilupakan oleh mereka. Jika alasan klasik yang dilontarkan kemudian adalah karena lebih dikenal, ayah saya makin miris.

Opsi pertama yang tidak disentuh adalah mencoba ’menghidupkan’ kembali tokoh – tokoh asli Indonesia yang tertidur pulas. Jika masih dianggap ketinggalan zaman, maka opsi kedua adalah menciptakan tokoh baru yang Indonesia sesuai dengan brand mereka yang mengaku sangat Indonesia. Ketenaran dapat diciptakan tanpa melulu bertahan pada sesuatu yang salah.

Ayah saya memandang bahwa saat ini Gundala, Godam, Pangeran Mlaar dan kawan – kawan sedang tertidur pulas. Tak ada yang mengusik mereka dari peraduaannya. Sempat mereka menyapa lewat karya penggemarnya. Pada tahun 2005 misal, Gundala sempat muncul. Sesaat lalu hilang.

Kerinduan beliau agar anak – anak mulai diajarkan cinta produk Indonesia kian pekat di detik bertambah pekatnya malam. Beliau ingin tokoh itu kemudian muncul dengan dibungkus kekinian.

”Misal, saat banyak petir kemarin saat mau meletusnya Gunung Merapi. Lalu Raja Petir akhirnya mengutus kembali Gundala untuk hidup di Yogyakarta mucul di tengah – tengah masyarakat Yogya kembali. Putusan untuk mengutus kembali Gundala karena ternyata dirasa perlu untuk Gundala membantu pemerintah untuk menumpas kejahatan. Bukan hanya kelompok narkoba tapi korupsi misal yang belakangan banyak terjadi,”ujar ayah saya bersemangat.

Dengan menggebu – gebu ayah saya masih melontarkan kalimat – kalimat yang sangat mengharapkan bangkitnya tokoh – tokoh yang setia ini. Meski saat ini beberapa pencipta tokoh ini yang masih hidup sehat terkucil di sebuah daerah di Bantul , Yogyakarta. Pada hari – hari tertentu musik kerocong mengalun menghibur mereka bersama di tengah waktu kongkow – kongkow mereka. Itulah yang beliau dengar.

”Kalau mau dihargai orang lain, ya hargai dulu apa yang ada pada kamu.”

Pesan yang tersirat di dalamnya menyampaikan bahwa tak ada guna kita berharap negara lain memandang kita sebagai Indonesia jika kita tak bisa melihat dan menghargai apa yang ada di Indonesia.

Malu ? Tidak. Saya rasa saya bangga memiliki seorang ayah yang kerinduannya luar biasa pada masa kecilnya. Terutama pada kerinduan beliau tentang animasi Indonesia yang berjaya di tanah kelahirannya.

Pada akhir pembicaraan, beliau bertutur.

”Ya kalau tidak ada yang bisa menghidupkan kembali, ya minimal ada tokoh baru lah yang bisa menggambarkan Indonesia.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun