Mohon tunggu...
Anggry Solihin
Anggry Solihin Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar dan Penulis

Seseorang yang tertarik dalam bidang Pertanian dan Sains

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Resistensi Nyamuk Aedes aegypti, Ancaman Serius Penanggulangan Demam Berdarah Dengue di Indonesia

29 Juli 2024   22:52 Diperbarui: 29 Juli 2024   23:20 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bencana banjir yang melanda provinsi Gorontalo pada beberapa pekan lalu, selain menimbulkan kerugian ekonomi dan kerusakan infrastruktur, juga meninggalkan permasalahan kesehatan yang cukup serius. Pasca musibah tersebut, banyak masyarakat yang terdampak mengalami gangguan kesehatan terutama penyakit kulit maupun penyakit demam berdarah. Hal ini diikuti dengan laporan yang menyebutkan terjadi peningkatan pasien demam berdarah di beberapa rumah sakit di provinsi Gorontalo pasca kejadian banjir. Fenomena banjir dan peningkatan kasus demam berdarah telah menjadi perhatian oleh para peneliti. Caelson dkk. (2023) menyatakan terdapat hubungan positif antara kejadian banjir dan tingginya curah hujan dengan peningkatan kasus demam berdarah di berbagai wilayah di dunia. Dengan semakin tingginya frekuensi cuaca ekstrem yang terjadi belakangan ini di Indonesia, mengisyaratkan kepada kita untuk mewaspadai penyakit demam berdarah karena hubungannya yang erat dengan kondisi lingkungan.   

                   Hingga saat ini, pengendalian penyakit demam berdarah dengue yang paling efektif adalah dengan menghambat penyebaran vektornya (nyamuk Aedes aegypti). Ironisnya, pengendalian kedua nyamuk tersebut di berbagai negara dunia masih mengandalkan penggunaan insektisida kimia terutama dari golongan piretroid sintetik. Walaupun teknologi pengendalian menggunakan nyamuk Wolbachia dilaporkan efektif untuk menekan infeksi dan penyebaran virus demam berdarah dengue (DBD), cara ini belum banyak diadopsi secara luas oleh negara-negara di dunia dan masih terdapat kekhawatiran dari masyarakat terkait efek rekayasa genetika akibat penggunaan teknologi ini. Hal ini menyebabkan insektisida kimia masih menjadi satu-satunya teknik pengendalian vektor penyakit DBD dan meningkatkan risiko terjadinya resistensi/kekebalan nyamuk A. Aegypti.

                Fenomena resistensi nyamuk A. aegypti terhadap insektisida kimia bisa terjadi karena adanya tekanan seleksi yang sangat kuat dan terjadi terus menerus. Hal ini sebagian besar dipicu oleh penggunaan obat/anti nyamuk secara terus menerus dalam mengendalikan nyamuk tanpa ada alternatif teknik pengendalian lain yang digunakan. Akibatnya, terjadi tekanan seleksi yang begitu kuat terhadap nyamuk A. aegypti memaksa keturunan nyamuk ini untuk beradaptasi dengan meningkatkan toleransi/detoksifikasi terhadap suatu jenis bahan aktif obat nyamuk. Selanjutnya, individu nyamuk yang mampu beradaptasi ini akan semakin banyak dan berkembang sehingga mengakibatkan bahan aktif tersebut tidak efektif lagi untuk mengendalikan populasi nyamuk A. aegypti.

                Kejadian resistensi A. aegypti terhadap obat nyamuk merupakan suatu peristiwa yang sangat merugikan dalam konteks pencegahan penularan penyakit DBD. Di tengah keterbatasan negara dalam menyediakan vaksin dan terapi yang memadai, penggunaan obat nyamuk merupakan tumpuan pengendalian A. aegypti hingga saat ini. Mirisnya, hasil penelitian Ahmad dkk., (2022) menemukan bahwa nyamuk A. aegypti dari 32 wilayah di Indonesia mengalami resistensi sebesar 4 hingga 127 kali terhadap insektisida golongan piretroid (permetrin dan deltametrin). Hasil penelitian Ahmad dkk., (2022) ini terkonfirmasi dengan hasil penelitian Kasai dkk., (2022) yang menemukan insektisida piretroid tidak lagi efektif dalam mengendalikan nyamuk A. aegypti di Simo Sidomulyo (Surabaya) walaupun menggunakan dosis 10 kali lipat dari dosis rekomendasi.

                Dengan banyaknya temuan kasus resistensi A. aegypti di Indonesia ini mengirimkan sinyal kepada kita semua untuk tidak lagi mengandalkan insektisida kimia dalam pengendalian vektor DBD. Penggunaan teknik pengendalian A. aegypti lain seperti 3M plus, penanaman tanaman yang dapat mengusir nyamuk (repellent) hingga penggunaan nyamuk Wolbachia perlu untuk dilakukan. Disamping itu, mitigasi terhadap perubahan iklim global perlu digalakkan mengingat dampak perubahan iklim dapat mempengaruhi perilaku dan biologi nyamuk A. aegypti.

               

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun