Mohon tunggu...
Gie Anggia
Gie Anggia Mohon Tunggu... -

menulis dari hati, apa adanya untuk menjadi ada apanya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Inilah Hidup, Syukuri Aja

12 Januari 2012   09:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:59 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hoooammmm…

Belakangan ini kebiasaan baruku adalah “menguap” panjang. Entahlah, mungkinkah karena pengaruh hujan yang berkepanjangan ini?

Hujan, banyak cerita menarik yang dibawanya. Lapar, inginnya makan terus. Dingin, ingin terus-terusan berada di balik selimut alias tidur. Becek, bikin malas kemana-mana. Basah, bikin malas ganti baju karena takut gak ada pake ganti kalau semua baju basah dicuci (hahaha, ini sih jorok namanya). Mendung, semakin membuat hati kian redup saja.

Tapi, aku juga suka hujan. Bisa membuatku betah berlama-lama di depan laptop mungilku. Menikmati lantunan suara merdu Letto, Justin Bieber, dan Maher Zein. Stok lagu yang sering kuputar sebagai penyemangat. Sambil sesekali menulis atau hanya sekedar mengedit. Kemudian membaca kumpulan cerpennya Putu Wijaya danGus Mus, atau sesekali artikelnya Emha. Nikmatnya hidup ini ya Rabb…(maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?).

©©©

Aku sebenarnya paling benci ketika berada pada bagian ini, salah satu bagian dari sebuah siklus hidup yang sedang kujalani. Tapi, apa gunanya aku benci? Membenci hingga mencapai limit stok benci yang kumiliki pun rasanya hanya akan sia-sia saja. Lalu, satu-satunya yang bisa kulakukan adalah bersabar. Bersabar sambil menunggu sampai aku beranjak dari bagian ini menuju ke bagian lain dari siklus ini. Yang barangkali saja lebih manis. Ya, barangkali.

Tak banyak yang kuharapkan, tak begitu muluk juga menurutku. Cukup kedamaian, berhubungan dengan siapa saja secara normal. Saya tak ingin terlibat masalah dengan siapa pun apalagi sampai ikut terseret dalam masalah orang lain. Saya cukup kenyang dengan masalah saya sendiri, jadi tidak perlu ditambah-tambah lagi dengan pernak-pernik masalah orang lain. Lagipula, hidup ini bukan arena perlombaan untuk mengumpulkan musuh sebanyak-banyaknya, bukan?

Ini sebenarnya konyol. Mungkin, bisa dikatakan sangat bodoh. Membuat hidup sendiri berada dalam bayangan orang lain. “Gak enak” mungkin hanya sebagai alasan pembenaran atas sikap “menzholimi” diri saya sendiri. Tapi, sebenarnya bukan an sich rasa gak enak, hanya tidak ingin bermasalah, dengan siapapun. Tidak lebih. Tak bisakah kita saling menghargai?

Tapi, Aku bersyukur. Ini mungkin cara Dia mengajarku. Melalui kalian aku mendapatkan kasih sayang persahabatan (?). Belajar untuk bisa menjadi orang sabar. Lebih kuat dan mungkin saja jadi orang munafik karena menghargai kalian membuatku tidak tega menyakiti hati kalian dengan mengungkap kebenaran. Intinya, kalian sudah melengkapi warna hidupku. Aku menyayangi kalian.

Untukmu, aku pernah bilang dulu, kalau Soe Hok Gie punya Catatan Seorang Demonstarn, maka aku punya Catatan Hati Seorang Sahabat. Salah satu bagian terindah karena memiliki sahabat sepertimu. Sifatku yang berbalik 180o denganmu. Aku yang gak enakan, kamu yang masa bodoh. Gak segan-segan mengatakan aku salah kalau memang aku salah. Mengajarkan aku bahwa hidup bukan hanya serentetan kesibukan mengklarifikasi setiap hal agar orang lain tetap beranggapan baik terhadap diri kita. Jalani sesuai hati nurani, dan biarkan orang lain dengan penilaiannya.“…Apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening… Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya…”[1] Tapi, sayangnya aku belum bisa berlaku “masa bodoh” sepertimu. Maaf karena tidak bisa menjadi sahabat yang baik untukmu. “

Kekhawatiran yang dulu sempat muncul akhirnya sekarang terjadi. Ada kecemasan ketika dengan tidak sengaja aku membaca sepenggal karya Kahlil Gibran. Kalau tidak salah bunyinya:

Kalau engkau bersukacita, lihatlah ke dalam hatimu maka akan engkau temukan bahwa yang telah memberimu dukalah yang sekarang memberimu sukacita

Kalau engkau berdukacita, lihatlah kembali ke dalam hatimu maka akan engkau temukan bahwa sesungguhnya engkau menangisi apa yang tadinya menjadi kegembiraanmu

Aku sadar ini adalah proses hidupku. Penggalan karya Kahlil Gibran dalam Sang Nabi tersebut cukup menarikku dari alam kelenaan. Bahwa memang seperti itulah hidup. Aku tak harus berlarut-larut dalam kesedihan ketika hal menyakitkan menimpaku. Sebaliknya, tak perlu bergembira sedemikian rupa manakala ada hal yang mampu membuatku tersenyum bahagia. Semuanya hanya menaati perintah Tuhan, menjalani gilirannya masing-masing.

Sepenggal kisahku bersama kalian semua, jika itu pahit aku harap nantinya bisa menjadi benih yang menumbuhkan bibit-bibit yang manis. Kalau sekarang masanya sedang tidak enak, sangat pahit malah, bersedih adalah suatu kewajaran kukira. Tetapi, adalah suatu ketidakwajaran ketika aku harus meratapi, apalagi sampai berlarut-larut. Mungkin saja hal ini justru yang akan membuatku mengulum senyum kelak ketika aku mengingatnya kembali…

“Membenci dan mencintai sesuatu itu, yang wajar-wajar saja”

J

My sweet room, 11 Januari 2012

Senja yang basah…

***

[1] Potongan kalimat dalam Cerpen Gus Jakfar, karya Gus Mus

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun