Mohon tunggu...
Anggreyan Agustin Sinaga
Anggreyan Agustin Sinaga Mohon Tunggu... Administrasi - Stay hungry; stay foolish

http://anggreyansinaga.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Selamat Hari Guru (My Mom)

25 November 2015   17:49 Diperbarui: 25 November 2015   17:51 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini adalah hari guru. Jika ada pertanyaan, siapa guru favorit kamu ? saya akan jawab Ibu saya.

Ibu saya adalah guru favorit saya walaupun saya tidak pernah menjadi siswa ibu saya. Kenapa ? terlalu banyak alasan mengapa saya mengidolakan ibu saya sebagai guru. Ia melakukan banyak hal pada siswanya, dan ini membuatsaya semakin jatuh cinta pada ibu saya dengan profesinya sebgai guru.

Ibu saya adalah seorang pengajar SD sejak tahun 2003. Awal ibu saya bekerja sejak tahun 2003. Belum tergolong begitu lama. Dulunya sebelum jadi guru, ibu saya bekerja sebagai petani bersama ayah saya. Setiap pagi, saat kami anak-anaknya berangkat sekolah maka ibu dan ayah saya juga berangkat ke ladang. Sepulang sekolah biasanya kami langsung ke ladang tanpa mampir ke rumah. karena baju ganti dan makan siang sudah di bawa oleh ibu saya. Begitu bertahun-tahun sejak kami kecil.

Pada tahun 2003 ada lowongan pekerjaan sebagai guru bantu. Kami benar-benar tidak tahu informasi itu. nenek saya kebetulan mendengar berita tersebut lewat radio dan menyarankan ibu saya untuk mencoba mendaftarkan diri. Tapi ibu saya sama sekali tidak tertarik. Tidak lama kemudian, seorang kerabat jauh yang adalah seorang kepala sekolah SD di seberang desa saya menghampiri ibu saya dan menceritakan mengenai penerimaan guru baru. Beliau menyarankan ibu saya untuk mencoba mendaftarkan diri. Ibu saya tamatan PGA (Pendidikan Guru Agama) dan menurut beliau, mungkin peluang akan lebih besar dibanding jurusan yang lain. Sebenarnya ibu saya juga tidak terlalu tertarik, hanya saja ibu saya mencoba mendaftarkan diri.

Di ujian pertama, ibu saya tidak lolos. Lalu pada ujian berikutnya ibu saya mencoba lagi dan akhirnya lulus diterima sebagai guru bantu dan ditempatkan di SD yang berada di seberang desa saya (di sekolah dimana kerabat jauh yang menyarankan untuk mendaftarkan diri sebagai kepala sekolah). Jarak SD tempat ibu saya mengajar cukup jauh. Saya rasa kurang lebih sekitar 3 KM jika lewat jalan pintas. Jika melalui jalan raya, akan berkali-kali lipat jauhnya. Ibu saya memilih untuk melewati jalur pintas setiap harinya.

Lewat jalur pintas tidaklah gampang. Ibu saya harus lewat dari sawah-sawah petani, jalan-jalan setapak, sungai-sungai kecil, dan juga tebing-tebing yang disebelahnya adalah jurang yang sangat dalam. Lebih dari 30 menit waktu yang dihabiskan berjalan kaki dari rumah ke sekolah. Di pagi hari, biasanya rumput-rumput masih basah karena embun dan petani belum berangkat ke sawah, ibu saya melintasi jalanan yang tidak gampang itu sendirian. Saat musim kemarau, tidak akan mempersulit ibu saya di jalanan.

Hanya saja, jika musim hujan, jalanan kadang becek dan licin. Ini akan sangat susah bagi ibu saya. Bahkan tidak hanya sekali, ibu saya pernah dikagetkan oleh ular yang melintas dari depannya. Tidak hanya itu, gaji guru bantu saat itu sangat-sangat kecil. Sangkin kecilnya gaji guru bantu, 2 tahun ibu saya menjadi guru bantu tidak sekalipun beliau mengambil gajinya. Hanya ditumpuk saja di bank. Sepulang sekolah, ibu saya juga akan langsung ke ladang dan kembali menjadi petani hingga sore hari.

Beberapa kali ibu saya mengeluh pada ayah saya agar pekerjaan sebagai guru dihentikan saja. ibu saya memilih kembali menjadi petani saja. Tetapi ayah saya selalu support ibu saya agar tetap menjadi guru saja. Saat ibu saya benar-benar ingin berhenti, kadang ayah saya menghantar ibu saya ke sekolah. Ayah saya menemani ibu saya ke sekolah. Mereka sama-sama berjalan kaki. Ayah sajya juga selalu berkata, ia akan menggantikan posisi ibu sebagai guru jika itu memungkinkan. Tapi kenyataannya, tidak.

Semakin hari, ibu saya semakin jatuh cinta pada profesinya sebagai guru. Ibu saya banyak menceritakan pengalaman yang ia lalui di sekolah tempat ia mengajar. Mungkin karena tempat ibu saya mengajar masih agak sedikit tertinggal, disana hanya ada kelas 1-3 SD. Jika ada siswa yang akan melanjut, biasanya harus ke SD desa sebelah. Siswa-siswa yang di ajar oleh ibu saya juga banyak yang kurang diperhatikan oleh orang tua mereka. Banyak anak-anak yang berangkat sekolah dengan keadaan kurang bersih, kurang rapi dll.

Saya rasa, tidak banyak guru-guru diluar sana yang pernah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan ibu saya pada siswanya. Ibu saya tidak hanya sebagai guru yang mengajarkan siswa kelas 1 SD untuk sekedar mengenal huruf, mengenal angka, lalu mulai belajar menghitung, membaca dan menulis. Bahkan ibu saya, tetap menjadi sosok ibu bagi anak-anak desa itu.

Ibu saya pernah memandikan siswanya yang sangat kotor. Mungkin si anak tidak mandi dari rumah lalu meminta agar besok, ibu si anak datang ke sekolah. Ibu saya lalu mengobrol dengan ibu si anak agar lebih memperhatikan lagi anaknya. Walaupun orangtua sibuk bekerja mencari biaya, tapi tetap saja anak-anak harus lebih di perhatikan.

Ibu saya juga sering mengecek kuku-kuku para siswa. Banyak kuku siswa yang kotor dan mungkin juga ini salah dari orangtua di rumah. Jika orang tua tidak punya waktu untuk memotong kuku si anak, maka ajarkanlah anak untuk potong kuku sendiri. Karena ini berhubungan dengan kesehatan si anak. Ada siswa yang kukunya dipotong langsung oleh ibu saja, ada siswa yang memotong kuku mereka sendiri dengan memakai potongan kuku yang dipinjamkan oleh ibu saya.

Ibu saya pernah memotong rambut siswa yang sudah mulai terlihat tidak rapi. Bahkan ibu saya juga sengaja membawa jarum dan benang ke sekolah untuk menjahitkan kancing baju siswa yang sudah rusak.

Walaupun begitu, Ibu saya terkenal galak di sekolahnya. Tetapi bukan galak yang untuk ditakuti. Tetapi disegani dan dihormati sebagai guru. Ia hanya berusaha sebaik mungkin, dari disiplin, kebersihan, dan memberi peringatan/member punishment bagi siswa yang seharusnya menerimanya. Pada saat penerimaan raport, ibu saya biasanya menyediakan hadiah bagi siswa-siswa yang menjadi juara kelas dan rekan-rekan kerja ibu saya, jarang yang memberi apresiasi pada siswa mereka yang pintar.

Kini ibu saya sudah menjadi PNS dan sudah pindah sekolah ke tempat yang lebih baik. Saya berharap ibu saya akan terus mendalami perannya sebagai guru, sebagai pendidik, sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Saya ucapkan “selamat hari guru” buat ibu saya tercinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun