Mohon tunggu...
Anggraini Fadillah
Anggraini Fadillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - student at riau islamic university | content writer | host podcast

hi, i'm anggraini fadillah. thank you for agreeing to read the article here 💌🎀

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Perempuan dan Beban Budaya: Antara Perasaan Laki-Laki dan Logika Sendiri

14 Desember 2024   22:10 Diperbarui: 14 Desember 2024   23:30 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memanglah, standar sosial yang ada di masyarakat kita saat ini, cenderung mengutamakan ego dan validasi serta perasaan laki-laki sehingga memunculkan budaya patriarki dari zaman ke zaman sebagai warisan yang sangat mengakar dengan begitu kuat. Dalam sistem seperti ini, tentulah perempuan seringkali diposisikan sebagai seorang 'pelayan rumah tangga' yang tugas utamanya adalah memenuhi kebutuhan laki-laki bukan untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.

Yang mana, norma-norma ini semakin diperkuat oleh adanya peran gender tradisional, yang menganggap perempuan ideal itu adalah seseorang yang mampu memasak, berberes dan melayani, sementara laki-laki dilihat hanya sebatas sebagai pemimpin dan tidak dibolehkan untuk mengurus dan membantu seorang perempuan mengurus ini dan itu, dalam urusan domestik rumah tangga dikarenakan itu adalah katanya tugas seorang perempuan.

Sehingga, akibat adanya standar tersebut, menjadikan sebuah keterampilan seperti memasak dan mengurus urusan beberes rumah seringkali diajarkan kepada perempuan dengan tujuan agar mereka dapat memampukan diri dan belajar untuk memenuhi ekspektasi pasangan di masa depan, seolah nilai diri seorang perempuan itu tergantung pada pengakuan laki-laki bukan karena sebagai bentuk kemandirian perempuan untuk bisa mengusahakan dirinya sendiri. 

Sebenarnya, pola asuh seperti ini memanglah timbul bahkan semakin menguat diajarkan dan dididik terhadap anak-anak perempuan yang tidak tahu bahwa hal seperti ini sebenarnya mengorbankan logika perempuan demi menyenangkan perasaan atau validasi laki-laki, yang mana alih-alih sebagai pemahaman bahwa sebenarnya keterampilan tersebut adalah untuk kemandirian pribadi bukan semata-mata untuk memvalidasi ego dan perasaan laki-laki.

Sebenarnya ini adalah sesuatu yang banyak diperdebatkan dan yang waktu itu saya lihat ada beberapa komentar di salah satu platform yang saya baca isi kontennya, yang mana ada beberapa pernyataan laki-laki yang cukup buat saya merasa bahwa faktanya ada banyak bahkan laki-laki berkomentar dan berpikir tentang bahwa laki-laki sengaja untuk membiarkan perempuan mengurus urusan semua dalam rumah tangga, entah itu urusan memasak, menyapu, mengepel, mencuci dan segala hal dari a sampai z dalam urusan rumah tangga bahkan urusan mulai dari a sampai z untuk urusan anak, itu pun dalam pola pikir beberapa dan banyaknya laki-laki bahkan yang menganut budaya patriarki menganggap bahwa itu adalah tugas perempuan.

Sehingga, untuk dilabeli perempuan yang ideal dari ajaran-ajaran pola asuh orang tua si perempuan, juga mendidik dan mengajarkan anaknya bahwa itu adalah hal yang biasa dan tentu untuk menjadi perempuan yang ideal, semua beban dan tuntutan dalam rumah tangga yang seperti saya sebutkan di atas itu adalah tugas perempuan untuk memvalidasi ego dan perasaan laki-laki agar sebagai pasangan, perempuan harus mengerjakan hal itu tiap hari, 24 jam seorang diri tanpa dibantu karena katanya itu adalah tugas perempuan dan laki-laki dilarang untuk membantu perempuan agar tetap mengerjakan semuanya sendirian.

Agar perempuan, memang seharusnya dan sepatutnya mengerjakan hal itu, mampu tidak mampu, lelah tidak lelah, agar katanya pasangannya tidak kabur, tidak mencari pelarian lain (perempuan lain) dan alasan apapun yang sangat tidak masuk akal dan itu sangat mendarah daging di masyarakat kita, yang semata-mata perempuan dinilai hanya sebatas hal itu. Jadi, tidak heran kalau banyak perempuan merasa ajaran dan didikan tersebut adalah lebih memerankan dirinya sebagai seorang 'pembantu rumah tangga' dibanding sebagai seorang isteri yang dimuliakan selayaknya dan sepantasnya seorang pasangan. Membayangkannya saja rasanya sudah lelah, apalagi menghadapi dan memerankan hal itu setiap hari 24 jam seorang diri.

Nah, waktu itu, dari konten yang saya baca ada juga laki-laki yang berkomentar bahwa "ya, terus kalau kami laki-laki sudah bekerja, dan sampai rumah kami juga harus membantu urusan rumah tangga, itu jadinya membuat perempuan jadi pemalas, ya lebih baik, tidak perlu isteri kalau kami juga harus ikut membantu, karena kan kami sudah bekerja, dan itu sudah cukup hanya dengan menafkahi" Itulah, salah satu komentar yang membuat saya miris dan merinding, entah laki-laki tersebut sudah memiliki pasangan atau tidak dan saya rasa sudah, hingga dia berani komentar seperti itu, yang saat itu sangat membuat saya shock dan merasa bahwa sangat menyedihkan sekali sebagai pasangan laki-laki yang seperti itu.

Itulah kenapa saat ini, banyak anak-anak, baik laki-laki ataupun perempuan, terutama perempuan ya, yang kehilangan figur dan peran seorang ayah karena ayahnya tidak dekat dengan anak-anaknya sehingga yang terlihat memang hanya peran ibu, yang mana di masa anak-anak tumbuh dan berkembang semakin dewasa, menjadikan mereka kehilangan jati diri dan tidak bisa berperan dan melihat peran bahkan contoh yang baik dari seorang laki-laki ketika bagaimana laki-laki berperan sebagai laki-laki dan ketika bagaimana laki-laki memperlakukan perempuan dengan baik. Sehingga, hal itu menjadi siklus yang memperlihatkan bahwa akhirnya lingkaran seperti ini akan terus turun temurun terjadi apabila memang tidak diputuskan rantai siklusnya.

Dampak dari pemikiran dan ajaran seperti ini adalah justru menjadikan anak-anak tidak melihat bahwa ayahnya berperan dan memiliki fungsi sebagai kepala rumah tangga, yang mana justru yang setiap hari mereka lihat adalah selalu ibunya sehingga yang terasa dekat dan sangat berperan sesuai fungsi dan tanggung jawabnya adalah seorang ibu. Itulah kenapa, ayah atau laki-laki harus ikut berperan mengasuh dan mendidik anak-anaknya karena agar anak-anaknya bisa melihat bagaimana peran seorang laki-laki untuk anak laki-laki memposisikan diri sebagai seorang laki-laki dan untuk anak perempuan agar anak perempuan tersebut bisa melihat bagaimana seorang laki-laki berperan dalam memperlakukan perempuan dengan baik.

Sehingga, saya melihat saat ini, banyak hal itu terjadi karena terakumulasi memang dari pola asuh orang tua yang kemudian diserap oleh anak-anaknya sehingga di hari ini, ketika saya melihat ada banyak sekali orang-orang yang seumuran saya atau yang lebih tua atau muda dari saya, ketika ada perbedaan yang menurut saya adalah kesalahan dalam memposisikan diri sebagai seorang laki-laki atau memposisikan diri sebagai seorang perempuan itu adalah kebanyakan dari bagaimana pola asuh orang tuanya karena ketika ada kesalahan berpikir dalam memposisikan diri dan diperlakukan serta memperlakukan sebagai seorang laki-laki ataupun perempuan adalah tercipta dari apa yang kita lihat setiap hari di dalam keluarga.

Jadi, yang ditakutkan adalah ketika laki-laki hanya memandang bahkan berpikir bahwa peran dalam urusan rumah tangga bahkan dalam urusan mendidik dan mengasuh anak itu adalah semuanya peran seorang perempuan maka ini akan menimbulkan kesalahan-kesalahan yang akhirnya menjadi siklus turun temurun, yang mana memperlihatkan bahwa anak-anak perempuan atau anak-anak laki-laki hanya melihat bagaimana seorang ibu berperan tapi tidak melihat bagaimana laki-laki berperan, yang bukan hanya soal menafkahi maka para laki-laki sudah selesai perannya, tidak sama sekali, yang mana perannya juga harus menunjukkan bahwa "beginilah menjadi seorang suami yang baik dan beginilah menjadi seorang ayah yang baik."

Sebenarnya, kita tidak bisa menyalahkan kenapa banyak laki-laki, yang akhirnya memandang dan berpikir seperti ini karena itu tadi, mereka juga bentuk dari pola asuh dan didikan orang tua yang memang melihat peran perempuan, ya seperti itu. Begitu, juga dengan banyaknya perempuan yang bisa dikatakan sanggup tidak sanggup memerankan itu semua, tanpa andil dari seorang pasangan karena mereka didikte harus ideal sebagai perempuan, ya karena pola asuh dan didikan orang tuanya juga, yang tentu itu sebenarnya adalah tugas bersama bukan tugas salah satunya. 

Jadi, menurut saya, untuk di era saat ini sebenarnya pola asuh dan pola didikan yang seperti itu adalah sebuah budaya patriarki yang memberatkan perempuan bahkan yang dikatakan jadinya membuat perempuan pemalas itu adalah hal yang sangat menyedihkan sehingga itu dimaksudkan bukan untuk membuat perempuan menjadi pemalas namun, bila kita dalami lagi apa sebenarnya peran isteri sesuai kodratnya pun akhirnya makin banyak laki-laki yang berkomentar bahwa itu terasa tidak adil dan akan membuat perempuan selalu dipandang hanya sebatas 'pelayan rumah tangga'.

Oleh karena itu, kesimpulan yang mau saya sampaikan adalah untuk laki-laki yang masih berpikir dan menganut budaya patriarki dengan menganggap bahwa memuliakan perempuan dengan tidak melimpahkan semua urusan rumah tangga dan urusan anak hanya diperankan oleh perempuan disebut tidak adil atau membentuk perempuan jadi pribadi yang pemalas, saya tegaskan kepada laki-laki seperti ini, sebaiknya kamu harus banyak belajar kenapa akhirnya di sekeliling kita banyak perempuan selektif memilih pasangan yakni adalah agar tidak membersamai laki-laki yang berpikir seperti kamu.

Dan, jika pandangan kamu sebagai laki-laki memandang perempuan adalah memang sebagai 'pelayan rumah tangga' maka tidak heran bahwa banyak perempuan akhirnya memilih sendiri dengan karier yang cemerlang, pekerjaan yang mapan dan kehidupan yang membahagiakan adalah jika masih banyak laki-laki yang berpikir seperti kamu. Jika tolak ukur banding membandingkan siapa yang lebih lelah dan siapa yang lebih berat perannya, ya tentu tidak akan selesai dengan perdebatan seperti itu sehingga kalau cara berpikir kita masih dengan hal-hal yang lama.

Yang sudah tidak relevan dengan kehidupan zaman ini, tentu akhirnya membuat banyak hal tidak didasari atas kerjasama dan saling bahu membahu dalam rumah tangga untuk menciptakan kehidupan yang tenang dan nyaman serta menciptakan keluarga yang harmonis. Sehingga, tulisan ini membuat kita semua belajar bahwa banyak pola asuh dan pola didikan orang tua kita yang perlu diputus, yang mana agar membentuk generasi ke depan memandang perempuan dan memperlakukan perempuan tidak hanya sebatas 'pelayanan rumah tangga' untuk bisa mengusahakan dan memampukan diri menjadi perempuan ideal sebagai bentuk pengakuan untuk menyenangkan ego dan validasi serta perasaan laki-laki, namun sebagai bentuk perempuan tersebut mencintai dan menghormati diri sendiri untuk  belajar mandiri, dalam mengusahakan dan mengurus diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun