"Mak, Pak... kenapa aku terus mempunyai adik?"
"Anak itu rezeki. Banyak anak pasti menambah rezeki untuk keluarga kita."
"Aku sudah lelah bekerja siang dan malam demi menghidupi kita semua."
"Kau kerjanya mengeluh saja. Itu sudah menjadi tanggung jawabmu karena telah kubesarkan."
***
"Kenapa kalian begitu zalim terhadapku, Mak, Pak?"
"Lancang sekali bicaramu, dasar anak durhaka! Punya uang sedikit, lagaknya sudah tinggi sekali mengatai orang tuamu zalim."
"Aku tidak meminta dibesarkan di keluarga seperti ini."
***
PLAKK
"Itu tamparan yang tepat untukmu, anak yang tidak tahu adab!"
"Kalian miskin, sadarlah. Kalian menawarkan neraka untukku dan adik-adik. Bukan aku yang seharusnya bekerja, tapi kau, Bapak, yang seharusnya bekerja menghidupi kami."
"Bila masih senang dengan hidup malas dan menganggur itu, berhentilah punya banyak anak! Kau membebani aku dan adik-adik, kau tahu? Kami adalah anak-anak yang selalu takut untuk bermimpi."
***
"Aku sudah putus sekolah dan sebentar lagi adik-adikku akan putus sekolah juga."
"Itu gara-gara kalian, yang tidak siap menjadi orang tua. Aku setiap hari bekerja sebagai bentuk baktiku kepada keluarga ini."
"Tapi, apa? Kalian terus menambah anak dan menelantarkan kami."
***
"Aku setiap hari seperti terbunuh tapi tak mati."
"Aku bekerja setiap hari demi mengingat setiap perut yang harus kenyang. Aku anak tertua, tapi peranku seperti orang tua."
"Panggil aku, Tuhan... aku tidak kuat lagi."
***
Puisi ini menyampaikan bahwa lelah dan beratnya menjadi anak, yang selalu harus mengerti orang tua tapi mereka orang tua, tidak berperan dan bertanggung jawab menjadi orang tua. Ini adalah beberapa contoh yang seringkali saya lihat di sekitaran saya bahwa faktanya justru mereka yang miskin itu selalu berasumsi bahwa banyak anak itu, akan banyak menambah rezeki akan tetapi tidak dibarengi dengan tanggung jawab mereka sebagai orang tua yang harus mempersiapkan banyak hal untuk nantinya menjadi orang tua yang berperan dan bertanggung jawab.
Mereka dengan lancang mengatakan anaknya durhaka padahal anak-anaknya yang menghidupi mereka sedangkan ketika mereka masih kecil hingga sudah besar, mereka takut untuk punya mimpi menjadi orang yang berhasil dan sukses. Mereka rela putus sekolah padahal ingin sekali mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, seperti anak-anak orang lain yang senantiasa didukung untuk bisa melanjutkan pendidikan di sekolah-sekolah impian mereka.
Setiap hari memendam setiap luka dan kesedihan untuk diri sendiri dan besok pagi hingga malam harus kembali bekerja, entah sampai kapan. Tidak pernah berani untuk menjadi seseorang yang lebih dan lebih karena sudah terlanjur hidup dengan seperti itu bahkan untuk memikirkan kesenangan diri sendiri rasanya itu tidak akan pernah terjadi. Oleh karena itu, pesan yang mau sama saya sampaikan dari puisi yang saya buat ini adalah tolong, berhenti punya banyak anak bila masih malas dan pengangguran.
Tidak semua orang miskin adalah orang yang tidak bertanggung jawab tapi pastikan ketika berani mempunyai banyak anak, pastikan kamu sebagai orang tua sanggup memberikan kehidupan yang baik untuk anak-anakmu karena mereka tidak akan pernah mau dilahirkan dari keluarga yang akhirnya membuat mereka menyesal hidup di dunia. Tolong pikirkan lagi, anak-anakmu bukan alat untuk kamu pekerjakan untuk melanjutkan tanggung jawabmu dan peranmu sebagai orang tua. Mereka punya kehidupan sendiri, jadilah orang tua yang bijak, bila tidak siap dengan tuntutan, tolong berhenti punya banyak anak, fokus perbaiki ekonomi dan mental. Jangan gampang mengatai anak-anakmu sebagia anak durhaka tapi kalian tidak melihat pada diri sendiri bahwa kalian adalah orang tua yang zalim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H