Sumber gambar : www.fkubprovinsikalteng.wordpress.com
Iklan tentang Djoko, Achong dan Sitorus sangat hits di tahun 90-an. Bahkan rata-rata mata penduduk Indonesia pernah melihat atau mendengar iklan tersebut. Untuk menyegarkan kembali ingatan para pembaca mengenai iklan ini, berikut tayangan-nya:
Sewaktu masih duduk di bangku SD, guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pernah mengajak kami untuk menonton dan menceritakan kembali isi dari iklan tersebut. Keriuhan suara terdengar di dalam kelas yang berukuran 6 m x 7m.
Berbagai komentar kepolosan dituangkan, alhasil makna iklan ini menjadi kaya dan penuh warna. Garis merah makna dari iklan tersebut yang disampaikan guru adalah Bhineka Tunggal Ika, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
[RUKUN SEJAK DULU KALA]
Dilihat dari sejarah bahwa bangsa Indonesia memiliki aspek-aspek kerukunan antarumat beragama dimulai sejak kerajaan Majapahit pada abad ke -12, di mana dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu para ahli yang memahami agama Hindu dan Budha. Para ahli agama mengatur bagaimana terwujud kerukunan di antara 2 (dua) agama besar pada masa itu.
Setelah masa kerajaan bergulir ke masa kemerdekaan Republik Indonesia di mana menempatkan Pancasila sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Dasar 1945 yang mendukung kerukunan antar umat beragama.
Pancasila tidak mengenal negara agama atau agama negara, akan tetapi Pancasila melindungi dan mengayomi semua agama dan memberikan tempat pada kebebasan beragama. Di samping itu, Pancasila memberi ruang bagi pembangunan rumah-rumah Ibadah dan kegiatan peribadatan.
Dalam Pasal 29 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas dinyatakan:
- Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
Rumusan di atas memberikan penegasan bahwa Negara menjamin seluruh penduduk bebas memeluk agama yang diakui sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Oleh karena itu, secara Dasar Negara, Indonesia sudah sangat mendukung toleransi dan kerukunan umat beragama.
Semua agama yang hadir di Indonesia juga mendukung kerukunan antar umat beragama:
1. Islam
Perbedaan di antara umat manusia dalam pandangan Islam bukanlah karena suku, agama, ras dan antar golongan. Tetapi hanya tergantung pada tingkat ketakwaan masing-masing. Inilah yang menjadi dasar perspektif Islam tentang “kesatuan umat manusia” yang akhirnya mendukung solidaritas antar manusia (ukhuwwah insaniyyah atau ukhuwwah basyariyyah)
2. Kristen
Umat manusia adalah keluarga besar Allah. Perbedaan bukan dijadikan bahan benturan atau konflik. Pandangan Kristen setiap manusia haruslah saling mengasihi, saling memberi dan saling melengkapi.
3. Hindu
Dalam Hindu Dharma akan meningkatkan pengalaman ajaran Tatwam Asi, Ahimsa, Tri Karya Parishada dalam arti mengaktualisasikan ajaran agama yang lebih menunjang pada keharmonisan hidup.
4. Budha
Dalam agama Budha dikenal Walubi (Wali Umat Budha Indonesia) di mana sampai sekarang telah banyak dilakukan usaha yang berkaitan dengan peningkatan kerukunan antar umat beragama.
[STOP RACUNI ANAK DENGAN KEBENCIAN]
Belajar dari iklan di atas bahwa saat terlahir ke dunia, tidak ada satupun di antara kita yang dapat memilih siapa orang tua/keluarganya. Terlahir di suku apa, agama apa, pekerjaan orang tua kita apa bahkan saat kita lahir di Indonesia dengan keragamannya, itu semua hak penuh dari Sang Pencipta.
Semua yang dikaruniakan Sang Pencipta kepada umat manusia adalah baik adanya. Namun, terkadang mulut dan pemikiran manusia merusak hal indah tersebut. Seharusnya, keragaman yang diciptakan menjadi pemersatu yang indah.
Sedari kecil, seorang anak terlahir dengan kesucian dan kepolosan. Berjalannya pertumbuhan dan perkembangan, anak mulai dibentuk oleh lingkungan. Keluarga adalah lingkungan pertama bagi si anak untuk mengetahui banyak hal tentang yang baik dan buruk.
Celakanya, terdapat keluarga yang mencekoki anak dengan kebencian terhadap agama, suku, ras, dan golongan tertentu. Pelajaran kebencian ini mulai terlihat dari cara keluarga menilai suatu agama dari keburukannya dan membanding-bandingkan dengan agama yang dianut. Waktu terus berjalan, alhasil sang anak benar-benar terbentuk karakter untuk tidak menyukai agama, suku, ras dan golongan tertentu. Belum lagi lingkungan luar yang membenarkan hal ini sebagai pupuk yang subur di pikiran sang anak.
Coba kembali ke iklan Djoko, Achong dan Sitorus. Djoko mewakili Suku Jawa, Achong mewakili etnis Tionghoa dan Sitorus mewakili Suku Batak. Potret kehidupan anak-anak yang digambarkan dari latar belakang yang berbeda ini sungguh sangat indah.
Djoko, Achong, dan Sitorus saling memberi dukungan, masa kecil yang penuh kebahagiaan tanpa diracuni dengan pemikiran bahwa perbedaan adalah petaka. Terlihat, orang tua mereka saling mengasihi, para Ibu duduk dan berkumpul bersama tanpa melihat betapa kontrasnya warna kulit dan jenis rambut mereka.
[WASPADA PROVOKATOR SOSMED]
Di tahun 90-an, iklan layanan masyarakat ini menjadi sangat populer bahkan mengajarkan banyak hal kepada anak-anak bangsa untuk saling bersatu di tengah keragaman. Namun, sekarang mungkin iklan seperti ini tidak lagi menjadi konsumsi yang menarik perhatian masyarakat Indonesia.
Di era digital dan online saat ini, rata-rata jari manusia di Indonesia sibuk meng-up date status, download, membaca berita sampai kepada hal-hal yang dianggap tabu untuk diperbincangkan. Maka tak heran, nenek, kakek sampai anak bayi yang baru lahir pun sudah punya akun facebook sendiri.
Pentingnya di mana, ketika anak bayi yang alphabet saja belum dikenalkan oleh orang tuanya, tapi sudah memiliki akun facebook sendiri. Ekstrimnya, ketika saya bertanya kenapa seorang kakek ingin membuat akun facebook di warnet sebelah, maka alasannya adalah biar ketemu teman lama di sosial media. Hmmmmm…
Seperti itulah, bagian kecil efek dari hadirnya sosial media di Indonesia. Jumlah pengguna internet di Indonesia sekitar 88,1 Juta dari sekitar 252 Juta Penduduk Indonesia. Mungkin tahun depan terus meningkat terlebih hadirnya 4G di Indonesia.
Di Asia saja, Indonesia menduduki peringkat ke-4 penggunaan internet.
Di tengah pesatnya kemajuan teknologi, informasi, internet, lifestyle, saat ini membuat manusia Indonesia semakin individualis atau ‘sa bodo teing’ namun ekstrimnya, apabila sudah menyangkut SARA maka manusia tersebut berbalik arah dan berbondong-bondong menjadi provokator seakan-akan membela TUHAN yang sebenarnya tidak perlu dibela.
Seperti dilangsir dalam berita www.bbc.com 3/08/16 “Penyebar kebencian atau provokator di media sosial terkait kerusuhan di Tanjung Balai ditangkap di Jakarta. Tragedi ini berujung satu rumah ibadah harus terbakar. Kabid Humas Polda Metro Jaya mengatakan pria berinisial AT, 41 Tahun menuliskan pesan bernada provokatif yang mengaitkan kerusuhan Tanjung Balai dengan kerusuhan 1998.”
Pria berinisial AT, 41 Tahun, secara umur dikatakan bahwa pria ini sudah cukup matang untuk menilai kebaikan dan keburukan. Seyogiayanya, dia sudah tahu ketika tulisan yang dilontarkan di media sosial akan berujung bui.
Kebencian yang disampaikan ke media sosial menjadi sarana penghasut jutaan mata dalam sekejab. Dapat dikatakan kedewasaan umur tidak sebanding dengan kedewasaan jari jemari. Kembali kepada apakah kebencian yang dimilikinya berasal dari lingkungan keluarga atau lingkungan eksternal? Apakah kebencian ini sudah terpupuk semenjak balita?
Di dunia maya, AT yang lain akan muncul ketika rantai kebencian terhadap keragaman tidak di putus. Di media sosial kita boleh menjadi KOMENTATOR, TAPI JANGAN SAMPAI JADI PROVOKATOR!
[HINDARI GENERASI SMS, WUJUDKAN BBM & LINE DI INSTAGRAM]
Sebagai manusia yang terbentuk dari Sang Pencipta yang penuh kasih, sudah sepantasnya kita melihat semua manusia sama. Keanekaragaman suku, agama, ras, golongan, jabatan dan lainnya bukan satu penghalang untuk kita bisa bergandeng tangan di dunia yang serba rumit saat ini.
Janganlah menjadi generasi SMS “Senang Melihat orang Susah dan Susah Melihat orang Senang” Gejala ini sudah banyak bermunculan, alhasil tenggang rasa, gotong royong, berbelas kasih menjadi barang langka saat ini.
Marilah mewujudkan generasi BBM “Benar-Benar Menyatu” sesuai dengan semboyan Indonesia Bhineka Tunggal Ika, Frasa Jawa Kuno ini berarti beraneka ragam tetapi satu juga. Semboyan ini menggambarkan Indonesia merupakan Bangsa dan Negara yang kaya akan keragaman budaya, bahasa, suku bangsa, agama dan kepercayaan dan berkumpul di dalam 1 (satu) Negara yang berdaulat yaitu Indonesia.
Hal yang cukup menarik ketika Uskup Agung Medan mengampuni/memaafkan Pelaku Bom St.Yosep bahkan orang tuanya dipeluk kasih. Berita ini sebagai angin segar untuk Indonesia dalam pemulihan tenggang rasa antar umat beragama.
Kembangkanlah rasa LINE “LIngkaran NasionalismE” di INSTAGRAM “INdoneSia Tampil dengan keraGaman”. Semua bertujuan untuk kehidupan bumi pertiwi yang lebih baik.
[10 M UNTUK KERUKUNAN BERAGAMA]
Manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki akal (sehat) dan budi pekerti. Mari menggunakan alat tubuh pemberian Sang Pencipta sebijak mungkin. Dalam 1 Kepala, 10 Jari dapat tercipta teknologi yang mumpuni bahkan dapat menghantarkan manusia ke bulan. Namun, 1 Kepala, 10 Jari juga dapat menghadirkan perang dunia lanjutan. Sedari itu, arif-lah menggunakan anggota tubuh di media sosial agar kerukunan antar umat beragama di Indonesia dapat terwujud.
Berikut 10 M untuk merawat kerukunan beragama di era media sosial:
1. Mari terus belajar untuk menjunjung toleransi antar umat beragama, baik sesama pemeluk agama maupun agama lain serta hindari fanatisme beragama.
2. Menilai kesalahan yang dilakukan seseorang pada subjeknya bukan pada agama yang melekat.
3. Memaksimalkan peran pemerintah (Kementrian Agama) dan pemuka-pemuka agama untuk menjadikan kerukunan antar umat beragama sebagai gaya hidup masa kini dapat melalui iklan layanan masyarakat. Memaksimalkan peran Kementrian Komunikasi dan Informatika dalam mem-filter segala sesuatu di media sosial terkait isu agama yang berujung pada perpecahan.
4. Memaksimalkan peran keluarga dalam mengajarkan indahnya perdamaian di tengah bangsa yang majemuk.
5. Menyiarkan berita, tulisan, komentar yang positif dan arif di media sosial khususnya terkait isu SARA.
6. Menjadi pembaca atau penikmat berita yang memilah-milah sumber bacaan, penulis dan melihat kebenaran berita yang disajikan.
7. Mengembangkan komunikasi, saling menghormati, saling percaya, saling menghargai, serta saling memanusiakan antara kelompok berbeda.
8. Menghindari diskriminasi atau menyudutkan suku, agama, ras dan golongan tertentu di dalam media sosial.
9. Melihat keragaman merupakan anugerah di bumi Indonesia, jauhkan kebencian, putuskan niat menjadi provokator di media sosial.
10. Memanfaatkan waktu untuk berdialog secara positif terkait dengan nilai-nilai keagamaan di forum-forum media sosial.
Agama memiliki defenisi tidak kacau atau adanya keteraturan untuk mencapai tujuan tertentu. Namun, sangat disayangkan apabila sang pemeluk agama tidak dapat merawat suatu keteraturan dan kerukunan antar umat beragama.
Terlebih di tengah era media sosial yang begitu pesat, perkembangannya tidak dapat dibatasi. Untuk itu, marilah menjadi arif untuk hidup dalam toleransi antar agama, hidup rukun dan bergandeng tangan demi Indonesia yang lebih baik.
Akhir kata mengutip iklan Djoko, Achong dan Sitorus:
Di bumi pertiwi kita tumbuh menangis dan tertawa bersama.
Meski berbeda-beda tapi sesungguhnya kita adalah satu.
Persahabatan dan saling menghargai adalah kunci persaudaraan.
Dulu, sekarang dan selamanya kita bersatu untuk negeri tercinta.
Bagimu negeri, jiwa, raga kami...
Selamat BBM dan LINE di tengah INSTAGRAM
Salam,
Penjunjung Kerukunan
Facebook : https://www.facebook.com/ (Anggraini Arda Sitepu)
Twitter : https://twitter.com/ (@Arda_Sitepu)
Tulisan ini diikutsertakan dalam Blog Competition "Merawat Kerukunan Beragama Pada Era Media Sosial"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H