Negm yang sekaligus seorang aktivis hak asasi manusia mengeluarkan pendapatnya mengenai partisipasi wanita di dalam Arab Spring yang sedang memperjuangkan status dan haknya sebagai manusia dan warga negara, menurutnya hak-hak perempuan harus dikontekstualisasikan kedalam kerangka hak asasi manusia yang lebih luas (Khamis, 2017) karena bagaimanapun juga perempuan/wanita adalah manusia maka isu-isu perempuan tentu saja menjadi bagian dari isu-isu hak asasi manusia.Â
Israa Abdel Fattah yaitu aktivis dunia maya, ia mengambil bagian dengan mendirikan gerakan pemuda 6 April yang dikenal sebagai "Facebook Girl" yang berhasil mengumpulkan 10.000 masa untuk hadir ke Tahrir Square (Robbins, 2011).Â
Di Tunisia, Saida Sadouni berperan memimpin protes Qasaba yang memaksa Perdana Menteri Mohammed Ghannouci untuk turun dari jabatannya (Malik, 2011) karena usulan dari Ghannouci dianggap telah mengancam emansipasi wanita dan mengembalikan relasi gender ke patriarki (Voorhoeve, 2015), Saida dibantu dengan Raja bin Slama seorang aktivis feminis terkemuka yang menyerukan untuk menjadikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai dasar hukum di Tunisa dan dibantu oleh Lina Ben Mhenni seorang blogger yang laporannya mengenai pemberontakan di Tunisia telah membantu mendorong Revolusi Tunisia mendapatkan perhatian internasional (The Irish Times, 2020).
Dalam aksi revolusi dunia Arab, wanita-wanita arab telah mempertegas tekadnya untuk mendapatkan status/martabat, hak, keadilan, kebebasan dan kesataraan gender antara pria dan perempuan yang mana hal tersebut terdengar sangat tidak mungkin terjadi di dunia Arab karena budayanya yang konservatif, namun hal tersebut tidak membuat para aktivis menyerah untuk terus menyerukan hak-hak perempuan, perwakilan politik dan partisipasi setara diseluruh lapisan masyarakat meskipun dalam prosesnya harus menghadapi berbagai tantangan.Â
Kehadiran aktivis wanita ditengah-tengah Revolusi Arab Spring membantu wanita untuk memasuki atau terlibat kedalam aktivitas politik dan menciptakan jaringan antara perempuan untuk meningkatkan kesadaran betapa pentingya perjuangan paralel mengenai hak-hak perempuan dan pentingnya perubahan pada relasi gender (Maravankin, 2017).Â
Tantangan yang harus dihadapi, seperti di Mesir tidak sedikit dari demonstran kelompok pria, wanita muda dan mahasiswa yang dihadapkan dengan titik kejenuhan atau frustasi untuk melawan ketidakadilan saat memperjuangkan revolusi karena tidak sedikit bagian dari mereka yang dipenjara, disiksa bahkan dibunuh oleh kelompok militer namun di luar prediksi kelompok elit rezim otoriter mengenai perkembangan tekhnologi di era globalisasi yang dapat menghubungkan seluruh dunia dan menjadi sarana untuk protes.Â
Para demonstran yang didominasi oleh kelompok wanita dan pria muda, mereka memanfaatkan tekhnologi dan internet untuk saling terhubung dengan dunia luar. Hal tersebut tentunya sangat mengejutkan para elit rezim dan ketika para elit ingin melakukan pemblokiran namun masyarakat jauh lebih pintar untuk meretas situs.Â
Memanfaat Tekhnologi dan Internet telah membantu banyak para demonstran untuk mendapatkan dukungan dan massa lebih banyak bahkan perhatian dari dunia internasional. Internet dan Tekhnologi yang membantu mereka untuk mendapatkan banyak informasi untuk memberdayakan mereka dan terhubung dengan aktivis serta organisasi perempuan lainnya di luar kawasan ini.Â
Sebelum adanya gerakan revolusi ini, tingkah laku dan interaksi sosial perempuan ditengah budaya konservatif sangat diatur oleh pihak keluarga dan masyarakat (Stheiwi, 2011) serta tidak adanya kebebasan aspirasi bagi perempuan Arab.Â
Namun dengan adanya perkembangan Internet dan Tekhnologi didukung dengan momen yang tepat yaitu Revolusi Arab Spring yang juga menentang rezim lama (korup, otoriter, tidak menghargai hak, esen sehingga memungkinkan kaum perempuan untuk mengubah kontrol sosial didalam budaya konservatif yang sangat merugikan.Â
Sosial Media sebagai bentuk manifestasi dari Revolusi Informasi telah memberikan peran penting bagi perempuan-perempuan Arab dalam menyampaikan aspirasinya. Seperti di Tunisia, pada bulan Desember 2010, Lina Ben Mhenni blogger Tunisia yang menggunakan bloggernya untuk memberi tahu dunia tentang pemberontakan di Tunisia.Â