Mohon tunggu...
anggoro suprapto
anggoro suprapto Mohon Tunggu... profesional -

Sastrawan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Para Pemimpin yang Bertopeng

10 November 2013   17:35 Diperbarui: 4 Agustus 2016   20:04 1517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


Aku melihat para pemimpin yang bertopeng

Wajah-wajah dingin yang berkelebat 

dalam kabut samar dalam kelam dalam diam

Aku menyaksikan 

wajah pemimpin serakah yang menjarah

Melahap apa saja 

meski sudah diberikan 

segalanya dengan berlimpah ruah

Lalu kenapa rakyat hanya kamu beri remah-remah?

Dari sisa-sisa meja makan si serakah 

yang kamu lap hingga berserak tumpah


Aku menyaksikan negeriku tercinta

selalu dikeduk kekayaannya

Sampai merunduk-runduk bungku

oleh para pemimpin culas berhati busuk

bertangan kasar kuat dan culas

dengan kekuasaan tak terbatas

Kuku lancip mencengkeram rakyat tertindas

menggorok tajam pisau cukur 

Mengalirkan darah hitam kesengsaraan alam kubur

Menuai kebodohan, kemiskinan, tak terukur

Wahai para pemimpin berwajah kubangan 

ditutupi topeng-topeng kemunafikan

Bersembunyi di balik wajah lembut nian

mengatasnamakan rakyat yang tersudutkan

Kenapa kau tega merusak bangsa dan negerimu sendiri?

Sambil bertepuk dada pongah, terus berdiri 

Atas nama rakyat, nusa, dan bangsa ini

Aku selalu menyaksikan juga

para pemimpin yang tetap tersenyum ceria

Meski ditangkap KPK 

Diliput para wartawan kita dan manca negara

Uh, dasar rai gedheg 

Semoga jiwamu disambar geledek

Di gelap malam lidahmu bercabang 

menjulur panjang

Mendesis bagai ular belang 

menyebar bisa maut segala menerjang

Tidak kau lihatkah rakyat sudah megap-megap

sekarat dan tergagap

Kenapa kau memikirkan golonganmu sendiri

partaimu sendiri, agamamu sendiri

Juga dirimu sendiri

Aku melihat para pemimpin yang bertopeng

Wajah-wajah dingin yang berkelebat 

dalam kabut samar dalam kelam dalam diam

Aku melihat para pencuri hina menikam

menggarong di seantero negeri

berlagak priyayi

menyebarkan budaya korupsi 

pantas dihukum mati

Semarang, April 2013.

----------------

ANAKKU ANGGI MELUKIS SUATU PAGI


Dengan gemetar anakku Anggi melukis suatu pagi

Di atas kanvas bumi Nusantara yang mementalkan penduduk negeri

dalam kesengsaraan hidup dan kehidupan akibat pemimpin korupsi

Cat warna-warni yang disapukan hanyalah hitam jelaga yang tak terbaca

yang memerosokkan rakyat dalam jejaring laba-laba kekuasan para penguasa

Coretan sketsa hanyalah keriuhrendahan rakyat yang menderita cukup lama

Gemetar dan gemuruhnya bumi tercabiknya rasa ketakadilan merajalela

“Biaya kuliah sekarang sangat mahal,” kata gambar di kanvas yang wajahnya tak terbaca

“Buah-buahan, bawang, dan kebutuhan pokok selalu menaikkan harga,” kata yang lainnya

“Daging sapi juga langka,” seru sosok lain lagi, tetap tak bernama

Hebohnya, bahan bakar solar menjadi langka di mana-mana

Para nelayan kelimpungan, para petani pengguna traktor kebingungan

Sopir-sopir truk pengangkut palawija di daerah terpencil bersendawa

Traktor-traktor petani, perahu-perahu nelayan dan truk-truk teronggok diam

Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, entah sampai kapan?

Anakku Anggi tetap melukis di pagi yang berkabut sunyi

Penat dengan mimpi panjang semalam membuat dia ingin melukis lagi

Gugup dan gemetar dia mendesiskan lagu Indonesia Raya

Namun sapuan warna hanyalah kisah tentang para pemimpin lemah

Yang tak berpihak pada rakyat jelata, hanyalah kaum pemeras yang tak punya welas

Gusti, apakah ini lukisan Anggi tentang wajah negeriku?

Tak ada jawaban selain sepi yang merajalela

Suatu pagi yang sayup semasih alam redup meliyup

Anakku Anggi bangun mendekatiku dan berkata:

“Papa, bolehkah aku tidak melukis lagi tentang bumi Nusantara?”

Aku ingin tidur kembali saja, memipikan bumi pertiwi yang jaya

Ingin melukis dalam angan-angan yang tak kasat mata

Gemetaran aku tak sanggup berucap kata, hanya mengangguk:

“Boleh Anggi, aku tahu, kau cinta Indonesia.”

Semarang, April 2013

--------------

DI TELIVISI KEKERASAN BERTARUNG SETIAP HARI


Sambil memasak, istriku selalu menonton tayangan televisi setiap hari

Diambilnya bumbu gosip artis, sinetron murahan, dan rempah-rempah yang

berserakan dalam riuhrendahnya iklan-iklan bermunculan

Seringkali dia bergumam: Dimanakah ruang kasih sayang disisipkan?

Sepertinya televisi sudah menawarkan bahasa baru: Kekerasan

Bahasa yang telah merasuki jasad dan sukma generasi muda kita

Menyusup ke balung sunsum dan mengaliri aorta demi aorta

Sesungguhnyalah, bahasa yang bernama kekerasan itu

berkelebatnya pendekar bayangan yang mampu bertarung setiap waktu

“Lihatlah kekasihku,” istriku tiba-tiba berteriak lantang.

“Ada guru menyodomi muridnya.”

“Ada kelompok orang melabrak agama lain atas nama Tuhannya.”

“Ada anak membunuh orang tuanya.”

“Ada ayah menghamili gadis kandungnya.”

Istriku semakin liar, matanya mendelik, nafanya ngos-ngosan

Jari telunjuk tetap menunding ke layar televisi yang sedang siaran

“Lihat, lihat, ada mahasiswa bentrok dengan polisi.”

“Ada polisi tarung dengan tentara.”

“Warga kampung bentrok dengan warga kampung lainnya.”

“Ada suami memutilasi istrinya.”

Sampai di sini, istriku tidak kuat lagi menahan gejolak batinnya

Tubuhnya ambruk ke lantai dan keringat membasahi seluruh tubuhnya

Kuminumi segelas air putih pehilang dahaga dan penenang jiwa

Kuberanikan diri untuk terus menyaksikan tayangan di televisi

Alam pun ikut meramaikan suasana, berita banjir di mana-mana

Banjir air dan juga banjir korupsi di seantero negara

Kasus-kasus besar seperti Hambalang, Century, kenapa mati suri?

Para koruptor penguasa menekan dan menyembunyikan semua data

Menyebar halang rintang agar semuanya lenyap tak terungkap

Bangunlah istriku, ini memang negeri yang tak berpihak pada rakyat

Negeri di mana preman, pencuri dan garong beranak pinak merajalela

Kumatikan saja televisi agar pikiran jadi jernih dan menyepi

Semarang, April 2013

-----------------

SKETSA MURAM TENTANG INDONESIA


Suatu siang yang pengap di belantara ibu kota

Di kaki lima ribuan rakyat kecil mengadu nasibnya

Sengatan panas musim kemarau seperti memuaikan

Harapan-harapan baru tentang Indonesia yang kaya raya

Namun angin kencang kembali meluruhkan segalanya

Mencampakkan semua keinginan dan hasrat mereka

Mungkin saja musim pancaroba tidak bisa membaca tanda-tanda

Bahwa hidup susah seperti jaman penjajah terus berulah

Ditimpa beratnya hidup membuat rakyat kecil terkentut-kentut

O, sedang berlangsung jaman apakah di bumi pertiwi ini?

Titi mongso yang menjadi pratondho ngaurip seperti sirna

Sepanjang musim kenapa yang muncul hanya kabut abu-abu?

Negeri buram dengan beban berat di pundak rakyat bagaikan hujan abu

Memerihkan mata memerihkan hati memerihkan semua kalbu

Namun apapun musimnya setiap hari jutaan rakyat kecil mengadu nasib

Berjuang keras demi sesuap nasi untuk keluarganya yang menjerit

Sementara di singgasana para pemimpin berleha-leha

Bergelimang harta, wanita, dan menikmati tahta penuh angkara

Soal rakyat yang sengsara, persetan saja semuanya

Inilah memang sketsa muram di negeriku tercinta

Semarang, April 2013

----------

KETEMU SEMAR DI SEMARANG


Di tengah malam yang sunyi aku ketemu Semar di Semarang

Saat angin tak bertiup dan jalannya waktu lambat beringsut

Semar atau Ki Lurah Bodronoyo terkenal sebagai penasehat raja-raja Jawa

Pendukung setia para satria dan para Local Genius Java

Kusalami dan kusapa dia dengan sepenuh hati sepenuh jiwa

Semar selalu memburu samar

Sang Pamomong para penguasa yang pro rakyat jelata

“Ee lae-lae, ada apa thole mencandet lakuku?” katanya terbata-bata

Aku tersedu udara dingin terus merangsek maju lidahku kelu

Mungkin saja langit telah mengirim manusia setengah dewa ini

Menyusuri hari-hari wingit nan sunyi membantu rakyat seluruh negeri

“Kenapa bumi Nusantara ini gonjang ganjing, Romo Semar?”

Dia diam, mendongak ke arah bintang gemintang di angkasa raya

Hanya sejenak, tiba-tiba dia menangis mengguguguk mengalap malam

Air matanya berleleran mimik tuanya seperti orang sakit sesenggukan

Aku jadi kasihan melihatnya dan tak tega lagi memberi pertanyaan

“Para pemimpin di negeri ini pada tak punya mata dan telinga, thole.”

Buta dan tuli atas jeritan rakyat di seluruh negeri bumi ibu pertiwi

Lihatlah, budaya korupsi merajai hampir di semua lini

Padahal kalau rakyat waras-wiris dan sehat, negara jadi kuat

Semar titisan dewa yang rendah hati diam sejenak menyapu malam

Pemimpin sejati tidak mementingkan diri sendiri, wejangnya lagi

Ia milik seluruh negeri bukan milik partai, milik agama tertentu, atau

milik golongannya sendiri. Membela rakyat sampai tetes darah penghabisan

“Tetapi para pemimpin di negeri ini......,” Semar tak meneruskan kata-katanya

Menangis lagi dan menangis lagi membuat aku tercenung mematung

Sementara udara dingin di langit Semarang cepat mengapung

Menguap menghamblur dan menggemakan kata-kata Ki Badranaya

Aku hanya bisa bergumam lirih dan berkata:

Para pemimpinku, maukah kamu mendengarkan suara-suara?

Wejangan Sang Pamomong Sejati sering peringatkan para penguasa

Tak ada jawaban, mungkin mereka sedang tidur tenteram di istananya

Semarang, April 2013

---------------

Catatan:  Anggoro Suprapto, lihat profilnya di http://www.wikipedia.org, edisi Indonesia, 

di kolom search, ketik: anggoro suprapto.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun