Aku melihat para pemimpin yang bertopeng
Wajah-wajah dingin yang berkelebat
dalam kabut samar dalam kelam dalam diam
Aku menyaksikan
wajah pemimpin serakah yang menjarah
Melahap apa saja
meski sudah diberikan
segalanya dengan berlimpah ruah
Lalu kenapa rakyat hanya kamu beri remah-remah?
Dari sisa-sisa meja makan si serakah
yang kamu lap hingga berserak tumpah
Aku menyaksikan negeriku tercinta
selalu dikeduk kekayaannya
Sampai merunduk-runduk bungkuk
oleh para pemimpin culas berhati busuk
bertangan kasar kuat dan culas
dengan kekuasaan tak terbatas
Kuku lancip mencengkeram rakyat tertindas
menggorok tajam pisau cukur
Mengalirkan darah hitam kesengsaraan alam kubur
Menuai kebodohan, kemiskinan, tak terukur
Wahai para pemimpin berwajah kubangan
ditutupi topeng-topeng kemunafikan
Bersembunyi di balik wajah lembut nian
mengatasnamakan rakyat yang tersudutkan
Kenapa kau tega merusak bangsa dan negerimu sendiri?
Sambil bertepuk dada pongah, terus berdiri
Atas nama rakyat, nusa, dan bangsa ini
Aku selalu menyaksikan juga
para pemimpin yang tetap tersenyum ceria
Meski ditangkap KPK
Diliput para wartawan kita dan manca negara
Uh, dasar rai gedheg
Semoga jiwamu disambar geledek
Di gelap malam lidahmu bercabang
menjulur panjang
Mendesis bagai ular belang
menyebar bisa maut segala menerjang
Tidak kau lihatkah rakyat sudah megap-megap
sekarat dan tergagap
Kenapa kau memikirkan golonganmu sendiri
partaimu sendiri, agamamu sendiri
Juga dirimu sendiri
Aku melihat para pemimpin yang bertopeng
Wajah-wajah dingin yang berkelebat
dalam kabut samar dalam kelam dalam diam
Aku melihat para pencuri hina menikam
menggarong di seantero negeri
berlagak priyayi
menyebarkan budaya korupsi
pantas dihukum mati
Semarang, April 2013.
----------------
ANAKKU ANGGI MELUKIS SUATU PAGI
Dengan gemetar anakku Anggi melukis suatu pagi
Di atas kanvas bumi Nusantara yang mementalkan penduduk negeri
dalam kesengsaraan hidup dan kehidupan akibat pemimpin korupsi
Cat warna-warni yang disapukan hanyalah hitam jelaga yang tak terbaca
yang memerosokkan rakyat dalam jejaring laba-laba kekuasan para penguasa
Coretan sketsa hanyalah keriuhrendahan rakyat yang menderita cukup lama
Gemetar dan gemuruhnya bumi tercabiknya rasa ketakadilan merajalela
“Biaya kuliah sekarang sangat mahal,” kata gambar di kanvas yang wajahnya tak terbaca
“Buah-buahan, bawang, dan kebutuhan pokok selalu menaikkan harga,” kata yang lainnya
“Daging sapi juga langka,” seru sosok lain lagi, tetap tak bernama
Hebohnya, bahan bakar solar menjadi langka di mana-mana
Para nelayan kelimpungan, para petani pengguna traktor kebingungan
Sopir-sopir truk pengangkut palawija di daerah terpencil bersendawa
Traktor-traktor petani, perahu-perahu nelayan dan truk-truk teronggok diam
Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, entah sampai kapan?
Anakku Anggi tetap melukis di pagi yang berkabut sunyi
Penat dengan mimpi panjang semalam membuat dia ingin melukis lagi
Gugup dan gemetar dia mendesiskan lagu Indonesia Raya
Namun sapuan warna hanyalah kisah tentang para pemimpin lemah
Yang tak berpihak pada rakyat jelata, hanyalah kaum pemeras yang tak punya welas
Gusti, apakah ini lukisan Anggi tentang wajah negeriku?
Tak ada jawaban selain sepi yang merajalela
Suatu pagi yang sayup semasih alam redup meliyup
Anakku Anggi bangun mendekatiku dan berkata:
“Papa, bolehkah aku tidak melukis lagi tentang bumi Nusantara?”
Aku ingin tidur kembali saja, memipikan bumi pertiwi yang jaya
Ingin melukis dalam angan-angan yang tak kasat mata
Gemetaran aku tak sanggup berucap kata, hanya mengangguk:
“Boleh Anggi, aku tahu, kau cinta Indonesia.”
Semarang, April 2013
--------------
DI TELIVISI KEKERASAN BERTARUNG SETIAP HARI
Sambil memasak, istriku selalu menonton tayangan televisi setiap hari
Diambilnya bumbu gosip artis, sinetron murahan, dan rempah-rempah yang
berserakan dalam riuhrendahnya iklan-iklan bermunculan
Seringkali dia bergumam: Dimanakah ruang kasih sayang disisipkan?
Sepertinya televisi sudah menawarkan bahasa baru: Kekerasan
Bahasa yang telah merasuki jasad dan sukma generasi muda kita
Menyusup ke balung sunsum dan mengaliri aorta demi aorta
Sesungguhnyalah, bahasa yang bernama kekerasan itu
berkelebatnya pendekar bayangan yang mampu bertarung setiap waktu
“Lihatlah kekasihku,” istriku tiba-tiba berteriak lantang.
“Ada guru menyodomi muridnya.”
“Ada kelompok orang melabrak agama lain atas nama Tuhannya.”
“Ada anak membunuh orang tuanya.”
“Ada ayah menghamili gadis kandungnya.”
Istriku semakin liar, matanya mendelik, nafanya ngos-ngosan
Jari telunjuk tetap menunding ke layar televisi yang sedang siaran
“Lihat, lihat, ada mahasiswa bentrok dengan polisi.”
“Ada polisi tarung dengan tentara.”
“Warga kampung bentrok dengan warga kampung lainnya.”
“Ada suami memutilasi istrinya.”
Sampai di sini, istriku tidak kuat lagi menahan gejolak batinnya
Tubuhnya ambruk ke lantai dan keringat membasahi seluruh tubuhnya
Kuminumi segelas air putih pehilang dahaga dan penenang jiwa
Kuberanikan diri untuk terus menyaksikan tayangan di televisi
Alam pun ikut meramaikan suasana, berita banjir di mana-mana
Banjir air dan juga banjir korupsi di seantero negara
Kasus-kasus besar seperti Hambalang, Century, kenapa mati suri?
Para koruptor penguasa menekan dan menyembunyikan semua data
Menyebar halang rintang agar semuanya lenyap tak terungkap
Bangunlah istriku, ini memang negeri yang tak berpihak pada rakyat
Negeri di mana preman, pencuri dan garong beranak pinak merajalela
Kumatikan saja televisi agar pikiran jadi jernih dan menyepi
Semarang, April 2013
-----------------
SKETSA MURAM TENTANG INDONESIA
Suatu siang yang pengap di belantara ibu kota
Di kaki lima ribuan rakyat kecil mengadu nasibnya
Sengatan panas musim kemarau seperti memuaikan
Harapan-harapan baru tentang Indonesia yang kaya raya
Namun angin kencang kembali meluruhkan segalanya
Mencampakkan semua keinginan dan hasrat mereka
Mungkin saja musim pancaroba tidak bisa membaca tanda-tanda
Bahwa hidup susah seperti jaman penjajah terus berulah
Ditimpa beratnya hidup membuat rakyat kecil terkentut-kentut
O, sedang berlangsung jaman apakah di bumi pertiwi ini?
Titi mongso yang menjadi pratondho ngaurip seperti sirna
Sepanjang musim kenapa yang muncul hanya kabut abu-abu?
Negeri buram dengan beban berat di pundak rakyat bagaikan hujan abu
Memerihkan mata memerihkan hati memerihkan semua kalbu
Namun apapun musimnya setiap hari jutaan rakyat kecil mengadu nasib
Berjuang keras demi sesuap nasi untuk keluarganya yang menjerit
Sementara di singgasana para pemimpin berleha-leha
Bergelimang harta, wanita, dan menikmati tahta penuh angkara
Soal rakyat yang sengsara, persetan saja semuanya
Inilah memang sketsa muram di negeriku tercinta
Semarang, April 2013
----------
KETEMU SEMAR DI SEMARANG
Di tengah malam yang sunyi aku ketemu Semar di Semarang
Saat angin tak bertiup dan jalannya waktu lambat beringsut
Semar atau Ki Lurah Bodronoyo terkenal sebagai penasehat raja-raja Jawa
Pendukung setia para satria dan para Local Genius Java
Kusalami dan kusapa dia dengan sepenuh hati sepenuh jiwa
Semar selalu memburu samar
Sang Pamomong para penguasa yang pro rakyat jelata
“Ee lae-lae, ada apa thole mencandet lakuku?” katanya terbata-bata
Aku tersedu udara dingin terus merangsek maju lidahku kelu
Mungkin saja langit telah mengirim manusia setengah dewa ini
Menyusuri hari-hari wingit nan sunyi membantu rakyat seluruh negeri
“Kenapa bumi Nusantara ini gonjang ganjing, Romo Semar?”
Dia diam, mendongak ke arah bintang gemintang di angkasa raya
Hanya sejenak, tiba-tiba dia menangis mengguguguk mengalap malam
Air matanya berleleran mimik tuanya seperti orang sakit sesenggukan
Aku jadi kasihan melihatnya dan tak tega lagi memberi pertanyaan
“Para pemimpin di negeri ini pada tak punya mata dan telinga, thole.”
Buta dan tuli atas jeritan rakyat di seluruh negeri bumi ibu pertiwi
Lihatlah, budaya korupsi merajai hampir di semua lini
Padahal kalau rakyat waras-wiris dan sehat, negara jadi kuat
Semar titisan dewa yang rendah hati diam sejenak menyapu malam
Pemimpin sejati tidak mementingkan diri sendiri, wejangnya lagi
Ia milik seluruh negeri bukan milik partai, milik agama tertentu, atau
milik golongannya sendiri. Membela rakyat sampai tetes darah penghabisan
“Tetapi para pemimpin di negeri ini......,” Semar tak meneruskan kata-katanya
Menangis lagi dan menangis lagi membuat aku tercenung mematung
Sementara udara dingin di langit Semarang cepat mengapung
Menguap menghamblur dan menggemakan kata-kata Ki Badranaya
Aku hanya bisa bergumam lirih dan berkata:
Para pemimpinku, maukah kamu mendengarkan suara-suara?
Wejangan Sang Pamomong Sejati sering peringatkan para penguasa
Tak ada jawaban, mungkin mereka sedang tidur tenteram di istananya
Semarang, April 2013
---------------
Catatan: Anggoro Suprapto, lihat profilnya di http://www.wikipedia.org, edisi Indonesia,
di kolom search, ketik: anggoro suprapto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H