Sudah lama jalan Ciateul berganti nama menjadi jalan Ibu Inggit Garnasih. Siapakah dia? Berikut satu artikel yang saya temukan.
Bung Karno dan H. Agus Salim, mereka berpolemik panjang lebar soal poligami. Bung Karno tidak setuju karena dianggapnya poligami adalah perendahan harkat dan martabat kaum perempuan sebaliknya Agus Salim setuju karena pengertian beliau yang mendalam. Beberapa tahun kemudian mereka bertemu, Bung Karno istrinya banyak sementara Agus Salim tetap beristri satu.
Akhirnya segala sesuatu dikembalikan pada niatnya, yang luar biasa adalah istri Bung Karno, Ibu Inggit. Apabila Bung Karno api maka Inggit kayu bakarnya. Inggit menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan, Inggit menghibur ketika Soekarno kesepian. Inggit menjahitkan ketika kancing baju Soekarno lepas, Inggit hadir ketika Soekarno muda membutuhkan kehangatan perempuan baik sebagai Ibu maupun teman. Inggit bagi Soekarno laksana Khadijah bagi Muhammad. Bedanya Muhammad setia hingga Khadijah meninggal sedangkan Soekarno kawin lagi, melangkah ke gerbang istana dan Inggit pulang ke Bandung, menenun sepi.
Dalam kamus hidupnya hanya ada kata memberi tak ada kata meminta. Inggit menjual bedak, meramu jamu dan menjahit kutang untuk nafkah keluarga, sementara Soekarno seperti singa yang mengaum dari satu podium ke podium berikutnya, pikirannya tercurah untuk pergerakan, Inggit yang setia mencari uang. Inggit mencinta karena cinta, tanpa pamrih tanpa motivasi. Suatu malam di jalan Jaksa, kedua pasang mata bertemu, Soekarno berkata “Aku cinta padamu”. Inggit tersipu menunduk dalam-dalam sambil mempermainkan ujung kebaya. Itulah cinta yang dibawakan Inggit dengan mesra, tanpa suara tanpa kata-kata, tanpa bahasa. Kejadian yang sangat lazim dan sederhana tetapi merupakan kejadian penting yang terlupakan oleh segenap bangsa.
Inggit menemani Soekarno yang terlunta-lunta di pembuangan. Jauh di Pulau Ende lalu di Bengkulu, Inggit tetap menemani, merupakan batere bagi kehidupan Soekarno yang menderita. Tetapi di ujung masa penjajahan Soekarno berkata pada Inggit, “Euis, aku akan menikah lagi supaya punya anak seperti orang-orang lain.”
“Kalau begitu antarkan saja aku ke Bandung!” jawab Inggit.
“Tidak begitu, maksudku engkau akan tetap jadi istri utama. Jadi first lady seandainya kita nanti merdeka.”
“Tidak, antarkan saja aku ke Bandung.” jawab Inggit lagi.
Akhirnya Soekarno mengantar Inggit ke Bandung. Kembali tinggal di jalan Tjiateul dan Soekarno balik ke Jakarta. Dalam kesepiannya Inggit selalu berdoa bagi kebaikan Soekarno. Inggit kembali menjual bedak, meramu jamu dan menjahit kutang sebagai nafkah.
Dagangannya dititipkan di toko Delima. Inggit tidak mengeluh. tidak menangis. Demikianlah cinta Inggit pada Soekarno. Cinta semata-mata karena cinta. Tidak luka ketika dilukai dan tidak sakit ketika disakiti, tanpa pamrih tanpa motivasi.
Siang itu aku lewat di Jl. Ciateul yang sibuk dan panas, yang sekarang dinamakan Jl Inggit Garnasih. Tampak sebuah rumah lama dicat baru, katanya disitu dulu Inggit tinggal dan akan dijadikan museum. Aku tengok isinya … kosong melompong. Tak ada yang ditinggalkan oleh Inggit selain satu pelajaran tentang CINTA.
Sumber dan referensi lain (tidak semua terkait langsung):
The Egocentric blog
Media Indonesia Online
Arsip Debritto
Sinar Harapan
Review tentang Bung Karno dari Malaysia
Artikel majalah Times 10 Maret 1958
Artikel ini ditulis Jay Julian di http://yulian.firdaus.or.id/2005/08/15/inggit-garnasih/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H