Mohon tunggu...
Anggi Marpaung
Anggi Marpaung Mohon Tunggu... -

Bee seeker, tea addict-coffee lover, (still) a-sexual, moodswinger, dan terus berwacana melakukan DIET! That's me. :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rindu Kamu

28 Oktober 2011   08:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:23 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“ Rara kok gak pernah si keliatan ketawa? Ketawa itu bikin awet muda lhoo..” kataku sambil merebut buku yang sedang dibaca Rara. Teman sekelasku yang terkenal pintar, dan sangat alim.

“ Aku pernah baca, terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. Apalagi tertawa sampai terbahak-bahak. Ra gak nyindir lhoo..” katanya sambil tersenyum, mengambil kembali buku yang kurebut darinya dan kembali membaca.

Ucapannya saat itu cukup membuatku tertohok, tapi ya hanya saat itu saja. Setelah hari itu, aku dan Riana kembali menjadi biang heboh dan kami masih sangat suka tertawa keras. Terlalu banyak tertawa, hingga sampai aku tinggal di Jogja. Mungkin akumulasi banyak tertawa dari masa SMA itu benar-benar mematikan hatiku, sampai aku selalu merasa kosong walau selalu tertawa. Kadang aku tertawa hanya untuk mengisi rasa kosong yang aku sendiri tak tahu penyebabnya. Tapi tertawa malah semakin membuatku merasa kosong. Belakangan aku malah sering menertawakan diri sendiri. Tertawa miris pada diri sendiri. Aku tetap tidak bahagia. Aku tetap merasa kosong.

Senyaman-nyamannya tinggal di kota berhati nyaman, tetap saja tempat paling nyaman adalah rumah. Dan setelah setahun, aku belajar satu hal. Bahwa bergantung pada manusia lain adalah salah besar. Karena ketika akhirnya orang tempat kamu bergantung pergi, yang tinggal hanya rasa kecewa berlebih. Aku bersenang-senang kesana kemari, tapi aku tetap tidak merasakan rasa bahagia yang aku harapkan. Aku tetap merasa kosong. Hatiku mati. Hingga suatu hari, di suatu malam dimana aku mengurung diri di kamar, dengan lampu yang sengaja aku matikan padahal saat itu sudah malam. Dengan sebatang rokok menthol di tangan kananku yang sudah habis separuh. Aku mendapat telfon dari ibu ku. Setelah sebulan lebih aku tidak menelfon kerumah. Saat itu hal pertama yang ditanyakan ibu ku adalah,

“ Nak.. kamu sudah sholat isya? Lagi apa?”

Deg!! jantungku langsung berdetak. Sudah lama sejak terakhir aku rutin melaksanakan sholat. Aku terlalu menikmati dunia hingga sering lupa kewajiban pada Sang Pemilik Hidup. Terlalu banyk bermain hingga kadang melupakan saja waktu sholat lewat, dan aku akhirnya tidak mengerjakan sholat.

“ uhmm..mau makan Bu.. Aku uda sholat kok barusan. Ibu lagi apa? Ayah mana? Ucapku. Tentu saja berbohong.

“ Ayah masih di kantor. Kamu masih rutin tadarus kan? Jangan lupa.. kamu itu belum pernah khatam Al-Qur’an sejak lulus TPA dulu. “ ibuku melanjutkan.

“Masih kok bu.. ini sedikit lagi khatam..” ucapku, lagi-lagi berbohong. Aku bahkan sudah lupa dimana aku meletakkan Al-Qur’an ku. Aku langsung mematikan rokok yang sebenarnya sayang untuk dimatikan. Itu rokok terakhirku. Sebungkus telah kuhasbiskan hanya dalam beberapa jam saja.

“Kamu disana gak macem-macem kan? Sholatnya jangan tinggal lho. Kita ini manusia, ya cuma bisa berharap sama Tuhan, nak. Apalagi kamu bilang kuliahnya susah. Kalo gak mohon pertolongan sama Tuhan, sama siapa lagi biar jalan kamu itu dilancarkan? Cuma sama Tuhan, nak.. sama Allah..” ibu ku berucap panjang lebar. Aku mendengarkan setengah hati. Tapi satu tetes hangat mengalir di pipiku.

“ Iya bu..” aku berusaha menahan sesak yang siap melesak bersama air mata yang mulai mengambang .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun