Sudah dua bulan sejak terakhir kali kami bertemu, tapi ternyata rasa kangen tetap saja tak terbendung. Itulah yang terjadi ketika dua minggu yang lalu kakak ipar saya tiba-tiba menelepon adiknya, mengeluh kangen pada Ali, anak kami yang masih berusia 14 bulan, yang sudah mulai lancar berjalan. Bayangkan, baru dua bulan lalu ketemu, tapi kangen seperti sudah bertahun-tahun tak jumpa. Tapi, ya sudahlah, kami pun mengatur rencana perjalanan ke Malang.
Ketika istri saya menyampaikan niatnya untuk ke Malang, saya langsung teringat sebuah ide cemerlang: ngopi pagi di Klodjen Djaja 1956. Saya sering lewat tempat ini dan selalu terpesona melihat baliho film jadul yang menggantung di bagian atas bangunan kedainya. Membuat saya membayangkan suasana nostalgia bioskop zaman dulu, meski sebenarnya, kedai kopi ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan bioskop. Tapi tetap saja, vibe-nya bikin penasaran.
Minggu 15 September 2024, kami pun bersiap, berangkat bersama Ali, si bocah 14 bulan yang tumbuh seperti raksasa kecil. Beratnya sudah 10,8 kilogram dengan tinggi mencapai 80 cm, membuat carseat lamanya sudah tak lagi muat. Setelah subuh, kami tancap gas, masuk gerbang tol dari Waru. Ali terlihat nyaman di carseat barunya, duduk manis, meski di awal dia ngambek karena duduk sendirian di belakang. Singgah sebentar di rest area Purwodadi untuk ke toilet dan ganti baju Ali, perjalanan pun dilanjutkan.
Jam 06:05 kami keluar di pintu tol Singosari. Dari sana, hanya butuh sekitar 15 menit menuju Pasar Klojen, tempat kedai kopi impian saya berada. Saat kami tiba, barista baru saja membuka jendela utama kedai yang tertutup 12 papan kayu hijau tua, menambah kesan vintage kedai ini. Satu per satu papan kayu itu dilepas, barulah kami masuk melalui pintu kecil di sebelah jendela.
Begitu masuk, aroma kopi langsung menyergap. Menariknya, kedai kopi ini ternyata terhubung dengan tempat penjualan daging sapi yang ada di sebelahnya. Setelah saya cari tahu, ternyata Klodjen Djaja 1956 dinamai berdasarkan tempat penjualan daging tersebut, yang didirikan oleh kakek-nenek pemilik kedai kopi ini, Andi Arifudin. Misteri angka 1956 pun terpecahkan: itu tahun berdirinya tempat penjualan daging sapi ini, bukan kedai kopi.
Kami memutuskan duduk di trotoar, di bangku kayu yang ditemani meja kecil dari krat botol Coca-Cola. Sebelah kiri kami duduk sepasang suami istri setengah baya yang sepertinya baru selesai jogging, mungkin untuk menyeimbangkan kalori dari kopi yang sebentar lagi mereka nikmati. Sebelah kanan kami kosong, hanya ada penjual Jadah Bakar dengan sepeda tuanya yang menarik perhatian.
Pesanan kami akhirnya tiba, diiringi panggilan dari toa jadul yang dipasang di atas kedai. Saya memesan kopi susu Arabika, sementara istri saya lebih memilih kopi susu Robusta. Harganya? Sangat terjangkau, sesuai dengan kantong, dan rasanya juga nikmat. Sambil menyeruput kopi, saya kembali menatap baliho film jadul di atas, membayangkan kalau saja ada bioskop tua yang terletak di belakang kedai ini, rasanya akan sempurna nostalgia pagi ini.
Setelah puas ngopi dan bercengkerama dengan suasana pagi di Malang, kami berjalan kaki ke Pasar Klojen yang terletak persis di belakang kedai. Kami mencari jajanan khas pasar untuk bekal di rumah. Rasanya tak ada yang lebih pas selain menikmati suasana pasar tradisional setelah ngopi pagi.
Sekitar jam 07:30, kami pun melanjutkan perjalanan ke rumah keluarga besar istri saya di Pandean, Malang. Ngopi pagi di Klodjen Djaja 1956 adalah keputusan terbaik saya pagi ini. Nostalgia jadul, kopi enak, dan suasana pasar yang hidup benar-benar membuat pagi ini jadi tak terlupakan.
Selamat pagi, Malang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H