Mohon tunggu...
Anggit Satriyo Nugroho
Anggit Satriyo Nugroho Mohon Tunggu... Jurnalis - Advokat dan akademisi

Saya adalah seorang yang berpengalaman dalam bidang jurnalistik selama hampir 20 tahun, saya juga menggeluti dunia advokasi selama 5 tahun. Selain itu saya juga miliki pengalaman sebagai akademisi. Dari pengalaman tersebut, saya memiliki kemampuan menulis terutama terkait hukm dan pers

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Surat Keterangan Sakit, Pemberantasan Korupsi dan Obstruction of Justice

29 April 2024   13:36 Diperbarui: 2 Mei 2024   12:40 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompas.com/Andhi Dw

JIKA ada orang yang akhir-akhir ini tidak bisa tidur nyenyak mungkin karena pekerjaan atau tugas dari pimpinannya, maka bisa jadi sedang dialami oleh dokter yang memeriksa Ahmad Muhdlor Ali, Bupati Sidoarjo yang tersandung dugaan korupsi pemotongan dana insentif petugas pajak.

Bisa saja, beberapa hari terakhir ini, dia terbayang-bayang betapa gara-gara secarik kertas yang dituliskannya, membuat urusan hidupnya menjadi rumit, lalu menjadi perhatian banyak orang dimana-mana.

Betapa gara-gara penulisan keterangan yang isinya hanya beberapa kata-kata saja, membuat detak jantungnya kian cepat dan dah, dig, dug dan hidupnya serba tak nyaman.

Mungkin pula, kini dokter yang bekerja di rumah sakit Sidoarjo Barat itu bertanya-tanya sendiri: "Mengapa saya harus lakukan itu, mengapa saya kok menurut saja, macam-macam dan campur aduk," Entahlah.

Maklum saja, surat keterangan sakit tentang kondisi Bupati Ahmad Muhdlor Ali atau Gus Muhdlor tiba-tiba menjadi polemik.
Surat keterangan sakit itu pula yang menjadi alasan mengapa dia tidak mendatangi pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pekan lalu.

Kini, teropong penyidikan KPK juga dialamatkan kepada sang dokter.

Suratnya dipertanyakan dan disebut oleh Juru Bicara KPK Ali Fikri sebagai surat agak lain. Sebab, surat tersebut menjelaskan bahwa Gus Muhdlor harus menjalani perawatan sampai dengan sembuh. Adapun kapan sembuhnya tidak diketahui.

Tentu saja, surat tersebut membuat alur penyidikan dugaan korupsi tersebut terganggu. Ali Fikri juga mengingatkan agar Gus Muhdlor kooperatif dengan penyidikan. Bahkan, penyidik sedang mengkaji apakah penulisan surat keterangan tersebut terkategorikan merintangi penyidikan.

Klarifikasi sudah diberikan oleh sang dokter, rekam medik juga disertakan. Bahkan, menurut KPK, dokter menyatakan ada kekeliruan.

Masihkah urusan berlanjut? Kita tunggu saja.

Yang pasti, berurusan dengan aparat penegak hukum seperti KPK, bukan urusan mudah lalu gampang disiasati.

Setidaknya, para penyidik akan terus mengukur dan mengamati, apakah tersangka korupsi yang sedang diminta pertanggung jawaban hukum itu patuh pada aturan ataukah sebaliknya.

Memang seorang tersangka tidak dilarang sakit. Sakit adalah kodrat kita sebagai manusia. Sebab, sakit bisa dialami semua orang. Bahkan, datangnya bisa kapan saja, tak mengenal waktu. Termasuk, mepet atau bersamaan jadwal pemeriksaan.

Namun sakit seperti apa? Itulah yang kemudian menjadi polemik pemberitaan dan penegakan hukum.

Jamak kita lihat, mereka yang sebelumnya sehat-sehat, tiba-tiba saja terduduk di kursi roda dengan alasan ini dan itu ketika surat pemanggilan pemeriksaan tiba-tiba mampir ke rumah.

Dalam banyak kesempatan, biasanya para tersangka menyatakan dirinya patuh terhadap hukum, namun merasa bahwa penetapannya sebagai tersangka korupsi adalah bentuk ketidakadilan dan haruslah dilawan dengan berbagai macam cara.

Setidaknya dengan jadwal pemeriksaan tertunda, maka seorang pejabat bisa memikirkan, solusi apa yang bisa ditempuh untuk keluar dari jerat hukum.

Semoga Tidak Mengarah Obstruction Of Justice

Bimanesh Sutardjo adalah dokter pertama yang menjadi tersangka Obstruction of Justice di KPK.

Bimanesh yang bekerja di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta, ketika itu dianggap membantu Ketua DPR Setya Novanto.

Dia membuat data rekam medis, sehingga dengan alasan itu, Setya Novanto yang tersandung korupsi E KTP terhindarkan dari jadwal pemeriksaan karena menjalani perawatan. Di sisi lain, KPK tidak diam dan menemukan fakta-fakta lain.

Berkaca dari hal ini maka profesi dokter rawan disalahgunakan termasuk membantu menghindarkan seseorang untuk tidak patuh pada kewajiban hukum yang diatur undang-undang.

Jangan sampai, profesi dokter yang luhur kemudian disalahgunakan untuk menghalangi pemberantasan korupsi yang menjadi bagian penegakan hukum.

Seharusnya kasus Bimanesh menjadi pelajaran berharga dan kemudian hari tak terulang.

Bimanesh di pengadilan tingkat pertama pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia diganjar penjara tiga tahun.

Obstruction of Justice diatur dalam pasal 21 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal itu menjelaskan bahwa:

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Secara harfiah Obstruction of Justice diartikan bahwa tindakan menghalang-halangi penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pasal tersebut tentu saja, seperti memberikan perlindungan hukum untuk menjaga kewenangan negara dalam menegakkan hukum pidana.

Setidaknya, jangan sampai ada hambatan dalam penegakan hukum itu sendiri. Sekecil apa pun rintangan harus disingkirkan demi tegaknya nilai-nilai hukum itu sendiri. Karena itu, penegakan hukum apalagi pemberantasan korupsi tidak boleh terganggu.

Pemberantasan korupsi harus menjadi pilar utama dalam menegakkan prinsip negara hukum.

Nah, kini sedang dikaji apakah tindakan dokter tadi memenuhi rumusan pasal tersebut. Tentu saja, pengkajian juga meliputi apakah data rekam medik yang diberikan secara menyusul dan kekeliruan yang diakui tadi sesuai dengan fakta sebenarnya.

Mungkin saja, kini organisasi profesi yang menaungi para dokter harus lebih gencar menyosialisasikan terkait Obstruction of Justice itu. Setidaknya agar para dokter tidak tergelincir sebagaimana yang dialami dokter Bimanesh.

Semoga saja, semuanya tidak begitu adanya. Lalu, dokter di Sidoarjo Barat tadi bisa tidur bersama keluarga dengan begitu nyenyak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun