Perkembangan revolusi industry 4.0 berdampak pada seluruh sektor bidang yang bergerak dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat di Indonesia. Salah satu sektor utama yang mengalami perubahan berasal dari sektor Pendidikan. Saat ini dunia Pendidikan Indonesia sedang mengalami transisi ke arah yang baik dengan lebih memperhatikan kebutuhan dasar para stakeholdernya.
Mendikbudristek, Nadiem Makarim atau yang biasa dikenal dengan panggilan Mas Mentri, telah melahirkan kebijakan-kebijakan baru yang kontroversial dalam dunia Pendidikan Indonesia, seperti menindaklanjuti Penghapusan UN (Ujian Nasional) yang menjadi standar kelulusan peserta didik dilakukan lebih cepat pada tahun 2020 karena situasi pandemic covid-19. Hal ini merupakan salah satu bentuk inovasi yang sedang terjadi demi menuju Indonesia yang lebih baik. Mas Mentri juga menambahkan bahwa dengan penghapusan tersebut, Ia ingin menghindari peserta didik mengalami stress sejak dimulainya persiapan hingga pelaksanaan UN, selain itu Ia juga ingin mengembalikan makna prestasi peserta didik dalam dunia Pendidikan demi mencapai kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.
Konsep besar yang terjadi dalam Pendidikan Nasional Indonesia saat ini yakni melalui hadirnya pokok-pokok kebijakan Pendidikan “Merdeka Belajar”. Berdasarkan kebijakan ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah merancang langkah baru dalam mencapai kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) unggul dengan menyosialisasikan 11-episode program Merdeka Belajar di kanal situs web resmi Kemendikbudristek. Salah satu episode membahas tentang Program Guru Penggerak (PGP) untuk seluruh guru Indonesia yang siap mengembangkan diri melakukan perubahan pada sistem pendidikan di sekolah masing-masing. Harapan terhadap Program Guru Penggerak (PGP) bahwa kelak para-alumni PGP memiliki peran dalam membentuk 6 karakter Profil Pelajar Pancasila di masing-masing daerah Indonesia.
Optimisme yang dilakukan Kemendikbudristek dalam merumuskan dasar kebijakan ini tercermin melalui upaya membawa kembali pemikiran dasar atau gagasan KI Hajar Dewantara tentang Sikap Merdeka ke dalam susunan kebijakan-kebijakannya di Pendidikan Indonesia.
Melalui buku-buku KI Hajar Dewantara dalam “Pendidikan” dan “Kebudayaan”, serta seri buku saku “Tempo: Bapak Pendidikan” yang penulis ketahui, ternyata dasar-dasar pemikiran beliau berpangkal dari pemikiran-pemikiran filsuf besar dunia yang Ia kenal selama masa pengasingannya di Belanda. Rasa ingin tahu penulis tentang pemikiran KHD membawa penulis melihat adanya persamaan antara gagasan merdeka belajar dengan kebebasan dalam makna pendidikan yang dimiliki oleh J. J. Rousseu, serta dilengkapi dengan pandangan Paulo Freire.
Pandangan Rousseu tentang konsep Pendidikan yang Kembali ke Alam (Back to Nature) dengan arti bahwa manusia modern yang berpendidikan saat itu sangat berbeda dengan hakikat manusia sebenarnya. Menurut gagasan idealnya tentang manusia, Rousseau membahas bahwa sejatinya manusia mampu bertindak dengan mengikuti apa yang diyakininya tanpa adanya tuntutan dari orang lain. Selain itu, seharusnya manusia merupakan makhluk yang tumbuh bebas merdeka dengan mampu memiliki kekuatannya secara otonom dan mandiri sesuai keadaan alam. Rousseau juga menekankan bahwa pentingnya peran guru dan orangtua dalam proses pembelajaran perlu ikut mengembangkan pendidikan sesuai tingkat perkembangan alami seorang anak.
Menurut penulis, pendekatan konsep Pendidikan yang dikenalkan Rousseau sangat cocok diterapkan pada kondisi Pendidikan Indonesia dewasa ini. Dimana Kemendikbudristek sedang mengupayakan perubahan untuk mencapai prinsip dasar dalam proses perkembangan anak yakni dengan membebaskan anak dari belenggu Pendidikan SD Inpres yang telah diwariskan sejak Ki Hajar Dewantara tiada. Adanya persamaan harapan antara Rousseau dan KI Hajar Dewantara memandang arti pendidikan yaitu dengan menciptakan sebuah sistem pendorong utama pada anak agar selanjutnya mampu mengekspresikan dirinya sesuai tingkat perkembangan dan kodrat alamnya. Menurut Rousseau, Pendidikan bisa menjadi tempat untuk menciptakan serta membiasakan anak-anak mampu secara merdeka dan mandiri melakukan setiap tanggung jawab sesuai minat dan keyakinan diri sendiri tanpa adanya aturan atau paksaan dari luar.
Gagasan di atas juga dilengkapi oleh Paulo Freire tentang arti Pendidikan yang membebaskan. Pandangan Freire tentang Pendidikan dapat diterapakan dalam kebijakan Pendidikan Merdeka Belajar di Indonesia, yaitu dengan memelihara kembali hubungan antara pendidik dan peserta didik dalam lingkungan belajar. Pemeliharaan hubungan tersebut dapat dilakukan dengan menciptakan dialog yang dibawa ke dalam rutinitas proses pembelajaran. Hal ini bertujuan agar mewujudkan lingkungan proses belajar mengajar yang saling menghargai, saling terbuka dan saling menerima perbedaan.
Dengan berdialog diharapkan mampu melatih serta mengembangkan kemampuan berpikir kritis pendidik dan peserta didik secara bebas dan merdeka. Dalam metode Pendidikan Freire yang dikenal dengan “Pendidikan Hadap Masalah” (Problem Posing Education) ternyata juga dapat diterapkan dalam kondisi pendidikan saat ini. Metode tersebut dapat menggeser fungsi Pendidik yang selalu menjadi sumber belajar dalam proses pembelajaran di kelas, sementara itu melalui implementasi dialog dan diskusi antar peserta didik, maka peserta didik secara percaya diri mampu berfungsi sebagai sumber belajar mereka di dalam kelas. Selama mengaplikasikan metodenya, peserta didik mendapatkan kesempatan untuk aktif menyampaikan pendapat, menunjukkan kekuatan pikirnya, hingga cakap memberikan argumen dalam sebuah sistem pemecahan masalah secara kontekstual.
Jadi menurut Freire, tujuan sebuah sistem pendidikan yang membebaskan pada hakikatnya harus dapat menciptakan peserta didik yang mampu mencapai kesadaran kritisnya sesuai kebutuhan perkembangan zaman & lingkungannya.
Dari kedua pandangan tokoh filsuf tentang Pendidikan ternyata dapat dilaksanakan dalam kondisi Pendidikan Indonesia saat ini. Dimana Indonesia perlu membuat perubahan untuk mencukupi kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul dan berkualitas. SDM yang mampu berkompetisi secara global di masa yang akan datang, serta mampu menjunjung nilai-nilai kemanusian dengan memiliki 6 karakter Profil Pelajar Pancasila. Oleh karena itu peran kita dan penulis sebagai pelaku pendidikan tentunya perlu mempromosikan pandangan-pandangan Rousseau dan Paulo Freire yang berpihak pada pemikiran bebas sesuai perkembangan alami peserta didik dan juga ikut mendampingi mereka dalam menemukan kekuatan atau potensi yang ada di dalam diri peserta didik.