Di saat yang beda di kota yang ramai gak pernah sepi:
Diskusi hangat penuh persahabatan, ditemani rokok dan minuman. Terkapar gadget dan berkas. Kertas putih bergambar banyak jalan dan pepohonan, mengitari bangunan tinggi 24 tingkat. Ini investasi katanya, pertumbuhan ekonomi akan meningkat, masyarakatpun akan ikut sejahtera. Pasti ada penggusuran dan realokasi, maka itu adalah pengorbanan.
Suatu saat di sebuah rumah bercahaya remang:
Asyiknya jongkok di kursi kayu, ngepus asap rokok keluar masuk. Bapak muda. Istrinya ngorok habis neteki anaknya yang tidur terlengtang di sampingnya. Di ruang yang putih asap menari penuh cerita. Cerita tentang mimpi, angan-angan dan harapan. Tentang kerjaan tetap yang tidak kunjung datang. Anak masih kecil males ngurusnya, tapi pengen, buat lagi. Tentang kebon di kampung, yang enaknya ditanemin apa. Pulang juga belum tentu kaya, malu sudah pasti. Pikirnya enak di sini, jalan-jalan dikit sudah dapet 50 ribu.
Di saat yang beda di sebuah rumah bercahaya remang:
Anak manusia asyik sendiri. Melukis mimpi, menyulut kembang api warna-warni. Beberapa kenangan indah datang dan pergi. Bayangan wajah kekasih elok berseri, berkeliling mengitari kamar. Pemuda tajir tiga puluhan, lelah bekerja seharian. Sebelum sampai ke rumah menukar beberapa lembar ratusan ribu dengan serbuk putih dibungkus plastik. Beruntung si pengemis sigap miminta uang kembaliannya, 50 ribu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H