Mohon tunggu...
Anggi Tri
Anggi Tri Mohon Tunggu... -

masih belajar menulis,\r\nwww.kamiliyahome.blogspot.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Barang Baru

17 April 2013   14:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:03 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Suatu pagi yang cerah, di hari minggu pada bulan yang basah. Di sebuah rumah mewah, di kawasan perumahan elite ibu kota.

Gesit tangan Partiyem mengolah hidangan. Mulai dari kue kering untuk di dalam toples, makanan di piring-piring kecil, hingga minuman ringan.

Semua itu mudah bagi Partiyem. Ia dapat memasak makanan kota sampai sekedar tempe bacem. Saking mahirnya ia dapat beratraksi sambil merem. Ia lakukan dengan tenang dan tetap kalem. Hebat Partiyem.

Ia sudah delapan tahun menjabat pembantu rumah tangga di rumah Nyonya Ningsih. Janda cantik beranak satu berkulit putih. Partiyem kerasan tinggal di sini, karena apa yang diminta Partiyem, seringnya dikasih. Tetapi wajar saja, karena Partiyem orangnya rajin sehingga rumah selalu terlihat bersih.

Selesai. Sumringah Partiyem melakukan atraksi. Dengan sigap dan santai ia berlenggok berjalan menuju sebuah meja panjang yang hampir penuh berisi perhiasan dan tentu bukan imitasi. Iapun langsung mempersilakan dengan sedikit basa-basi.

Arisan perhiasan menjadi agenda rutin lima ibu muda ini. Para wanita karir yang memiliki usaha yang mumpuni. Bagi mereka harta adalah istimewa. Status keluarga tidaklah masalah. Suami bisa disewa, yang penting bahagia, tidak perlu yang setia.

Sekarang acaranya sudah bebas, setelah tadi arisan didapat oleh Jeng Paras.

Wanita berambut warna emas sebahu memulai wacana, menyombongkan barang barunya yang dapat membuat terpana.

“Aduh, Jeng..., bodinya mulus, mesinnya masih bagus, waktu itu gue dapetin di Lebak Bulus, pokoknya maknyus...,”

“Lah, yang lama, Jeng..., sudah dihapus?”

“Ah, yang lama bosen, itu juga gue dapetin seken”

“Ih, Jeng Mira, yang dapet di Lebak bulus diumbar, mending eke, bodinya yang lebar, kalo sudah dibuat duduk, bikin konsentrasi buyar, trus kalo sudah tuas persnelingnya diputar, bikin jantung berdebar,”

“Ha ha ha..., Jeng Shinta, mobil balap ukuran jumbo, ya? Kalo saya, sih, wajar dimiliki yang kaya kaya’ saya. Habis yang dulu sudah gak ada daya, jadinya banyak makan biaya. Lah, kalo yang sekarang, saya punya kuda troya, pokoknya bisa dibuat beragam gaya,”

“Kalo Jeng Ningsih, gimana, nih, sudah dapet yang baru, belum?” tanya wanita yang tadi baru dapet, dengan senyum dikulum.

“Kalo saya, sih, maklum, lah wong yang kemarin aja masih ranum,”sambil senyum.

“Waduh, Jeng..., kalau saya, gak sembarang cari yang baru, pokoknya gak mau terburu-buru,”

“Saya maunya barang yang sempurna, yang bisa untuk segala suasana,”

“Soalnya bercermin dari barang lama, karena sudah kepala lima, trus jadi gak bisa tahan lama, dipaksain..., eh, malah koma,” celoteh pemilik rumah, sambil ngemil kurma.

Partiyem yang sedari tadi nguping di ruang samping jadi pusing. Maklum, Partiyem orang kampung yang dulu hanya makan kangkung. Mana tahu ia model mobil baru yang baru dibahas begitu seru di ruang tamu bercat biru.

Zaman sudah semakin canggih, sudah banyak ragam mobil dengan kemampuan tinggi, mampu dibeli. Dari yang umurnya matang, sampai yang masih bujang. Dari yang lokal, sampai internasional.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun