Mohon tunggu...
Anggit Pujie Widodo
Anggit Pujie Widodo Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. ( Pramoedya Ananta Toer )

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Anak Tangga

16 Juni 2022   19:50 Diperbarui: 16 Juni 2022   19:59 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ket foto : Dokumen pribadi. 

Ujung pelupuk mata Lelaki itu terlihat sekelebat bayangan. Lewat begitu saja tanpa permisi, membuat gelagat Lelaki itu seolah penasaran. Ruang waktu membawanya kembali ke masa lampau, dimana dulu ia pernah sedikit punya kuasa atas dirinya sendiri. 

Kembali, sudah berapa kali Lelaki itu tanamkan dalam hati, bahwa mencari kebenaran adalah keputusan yang telah ia sepakati sendiri, tanpa tanda tangan hitam diatas putih. Ia rela memutar kembali waktu demi dirinya sendiri, bukan untuk orang lain. 

Setelah beberapa kejadian setelah ia memutuskan masuk kembali ke dunianya yang dulu, ingatannya perlahan kembali, bertemu dua sejoli di tempat keramaian dan memandangi gadis manis berjilbab merah. Lantas apa lagi yang akan ia lewati? 

Entahlah, jarum jam yang akan menjawab itu semua. Semakin mundur kebelakang maka akan Lelaki itu temukan apa yang akan ia cari. Sebelumnya, ia ditarik paksa oleh beberapa orang hanya untuk mengintip kegiatan belajar mengajar di sebuah ruang kelas di dekat tangga menuju lantai dua. 

Saat itu, ia melihat seorang gadis memakai jilbab merah berparas manis dengan senyuman tipis tapi sedikit cuek. Perasaan Lelaki itu tak karuan, ingin memiliki tapi terlalu malu untuk mengutarakan, ingin bertemu, tapi tak tahu apa yang harus dilakukan ketika berjumpa. 

Hidupnya selalu punya polemik, entah dulu maupun sekarang. Yang baru saja ia sadari, sejak dulu, Lelaki itu memang selalu membesar-besarkan masalah pribadinya, bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri. Sungguh aneh memang, tapi apalah daya mau dikata. 

Sesaat setelah gadis berjilbab merah keluar dari ruang kelas bersama teman-temannya, ia tak menemukan gadis itu lagi. Coba mengendus jejaknya, namun Lelaki itu terlalu malu, meskipun sebenarnya ia mampu. Gadis itu menghilang, tak ia temukan jejak nya, yang ia temukan hanya sebuah tangga di dekat kelas tersebut, tepat di sebelah kanannya. 

Mulanya Lelaki itu tak menyadari, fokus nya hanya mencari jejak gadis yang membuat hatinya berdegup kencang. Mungkin karena terlalu lelah, secara tak sengaja, kepalanya menengok ke arah kanan. Disitulah ia melihat sebuah tangga berkelok menuju ke lantai dua. Usai tengok, matanya mengikuti anak tangga, kepalanya sedikit mengarah keatas. 

Lelaki itu tak bergumam, dia hanya diam mengamati setiap anak tangga yang tersusun rapi dan sedikit rusuh. Dalam hatinya, sungguh pemasaran, apa yang ada di lantai atas. Keyakinannya mulai bulat, tak butuh waktu lama ia menghadap ke kanan, bak latihan pramuka, begitu rapih ia mengarahkan badannya. 

Kaki kanan ia angkat, mengawali langkah pertama mengarungi anak tangga tersebut. Diikuti kaki kiri sebagai langkah kedua untuk memastikan. Perlahan ia mulai meyakinkan kembali hingga akhirnya ia memutuskan untuk menaiki tangga tersebut. 

Tak ada yang Lelaki itu rasakan ketika menaiki anak tangga selain rasa penasaran. Anggapannya, waktu itu hanya sebuah tanda tanya yang ia arahkan untuk dirinya. Pijakan kaki dilengkapi sepatu warna hitam yang dibelikan orang tuanya, Lelaki itu sadar bahwa ia sudah berada di tengah-tengah anak tangga menuju lantai dua. 

Posisinya membelakangi, anak tangga, tatapannya terbentur tembok bintik, begitu dekat. Bahkan jika ia mengulurkan kedua tangannya untuk menyentuh tembok tersebut, telapak tangannya pun merasakan gesekan yang merangsang permukaan kulit. Lelaki itu berhenti sejenak, ia terdiam kaku sembari berdiri, beberapa detik terdiam, ia menoleh ke arah kiri dan mengarahkan dua bola matanya kesana. 

Di sebelah kiri, ada tangga lagi dengan tujuan menuju lantai dua. Ia diam lagi, sejenak berpikir bahwa tempat ini dulunya sering ia hampir. Selah Dejavu, gelagatnya mulai tak merasakan ketenangan. Alam bawah sadarnya bercabang, pergi tak karuan. Usai melihat tangga di sebelah kiri, ia menarik pandangannya dan mengarahkan kepala dan pandangannya ke sebelah kanan. Namun yang ia temui hanya tembok buntu. 

Tangga itu seolah mengarahkan Lelaki itu menuju ke sebuah tempat. Jika bisa bicara, tangga itu akan berucap 

'akulah jembatan yang akan kau lewati, mau tidak mau kau harus menginjakkan kedua alas kakimu diatasku, kusediakan alat agar kau tau apa tujuanmu'. 

Lelaki itu tak bergumam, dia hanya diam. Kali ini kepalanya sedikit menunduk. Ia seperti kebingungan, bingung harus melakukan apa meskipun jalannya sudah disiapkan. Ia kemudian memaksakan badannya kembali ke bawah, namun yang ia temui, jalan ke bawah sudah tertutup oleh sebuah pagar tanpa celah. 

Lelaki itu semakin bingung, apa yang harus ia lakukan dalam situasi seperti itu. Ia lalu terduduk, tatapannya mengarah ke pagar yang menutupi aksesnya untuk ke bawah, pundaknya ia sandarkan ke tembok buntu. Hela nafas panjang, huft. 

Beberapa menit terduduk diam. Lelaki itu memutuskan untuk berdiri. Ia tak mau terlihat lemah, ia tak mau dianggap pecundang. Ia bangkit dan memulai kembali niatnya untuk menaiki tangga kedua. Tanpa ragu, kini ia tak lagi berjalan, namun berlari menaiki anak tangga di sebelah kiri yang ia temukan. Dan ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun