Mohon tunggu...
Anggit Pujie Widodo
Anggit Pujie Widodo Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. ( Pramoedya Ananta Toer )

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Puan Tuan

19 April 2022   22:35 Diperbarui: 19 April 2022   22:38 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Dokumen pribadi.

Memulai kembali menapakkan jejak di kehidupan yang pernah dijalani bukan perkara mudah. Banyak hal yang harus diperbaiki sebelum meyakinkan diri untuk kembali. Bagaimana tidak, cerita yang telah diukir sedemikian rupa di masa lalu harus dibaca kembali. 

Konsekuensinya, mungkin pikiran akan ikut berselancar di dalamnya. Tanpa mengurasi rasa hormat atas apa yang sudah dibangun hari ini, masa lalu hanya akan menjadikan batu sandungan runcing yang setiap saat bisa melemahkan. 

Lelaki itu berpacu dengan waktu, ruang waktu telah ia sediakan, mesin waktu juga sudah ia persiapkan sejak ruangan pribadinya ia bangun. Perlahan, sedikit demi sedikit ia mulai mempersiapkan. Setiap langkah yang ia lewati, kini akan dijadikan refleksi. 

Satu, dua, tiga..

Bibirnya berkecap, menghitung mundur sendiri tanpa menunggu aba-aba dari orang lain. Kalaupun hitungannya sudah selesai, belum pasti Lelaki itu akan kembali. Atau, mungkin saja ia berani kembali. 

Hal yang akan terjadi setelah ia mulai menghitung mundur hanya Lelaki itu yang mengerti. Lelaki itu sudah lama memantapkan diri untuk mulai mengarungi derasnya hantaman ombak masa lalu, apa yang ia rasakan dulu, sudah pastinya akan terasa kembali. 

Baginya saat ini, tidak ada yang paling sakit daripada rasa sakit yang harus segera diobati. Hanya Lelaki itu yang bisa mengobati. Bukan dokter, perawat, bidan apalagi dukun. 

Hitungan mundur sudah ia mulai, dari tiga hingga ke satu. Hitungan sudah selesai, ia pun kembali masuk kemana ia dulu berada. Bluuuuuur..

Bagaikan ikan yang sudah dipancing lalu dilepaskan kembali ke lautan. Kaget, iya. Gugup, jelas. Khawatir, pastinya.. 

Tapi sekuat tenaga ia coba melewati itu. Ingat, apa yang terjadi hanya batu sandungan kecil yang harus ia lewati. Matanya terpejam ketika proses kembalinya Lelaki itu ke masa lalu sedang berjalan. 

Matanya kembali terbuka. Seketika perlahan ia coba membuka matanya. Saat terbuka, yang Lelaki lihat pertama kali saat itu adalah puan yang sedang bercengkrama pasar tuan. Keduanya tidak tua, masih tampak begitu muda. 

Kedua orang tersebut terlihat bagai seorang pasangan, tapi usianya begitu muda, masuk kategori dewasa pun belum. Lelaki itu hanya melihat kedua orang tersebut yang dianggapnya sebagai pasangan. 

Gerak-gerik nya seolah memperlihatkan itu. Puan dan tuan begitu bahagia. Duduk berdua di satu ruangan terbuka. Bukan tidak ada orang di sekelilingnya. Ada, tapi hanya beberapa. Keduanya senang, bercengkrama, mata keduanya saling bertatap, tak bergandengan tangan, tapi jarak tubuh keduanya begitu dekat. 

Lelaki itu hanya memperhatikan saja. Ia sama sekali tak bergumam. Fokusnya tidak terpecah, matanya bak kaca mata kuda yang tak hilang dari satu sudut pandang. 

Dari pandangannya, Lelaki itu memperlihatkan Gelagat sang puan yang begitu tulus memandang tuan, begitu pula dengan tuan, yang tatap mata dan arah gerakan bibirnya menunjukkan hal serupa. 

Tak ada ketenangan di ruangan terbuka itu. Tapi puan dan tuan tak menghiraukan, mereka sibuk dengan kisah yang mereka ceritakan, meskipun Lelaki itu tak mengetahui pasti apa yang sedang mereka ceritakan sampai menghiraukan keadaan sekitarnya. 

Puan tertawa, tuan pun sama. Tampaknya, tuan melontarkan beberapa humor kepada puan yang membuat ia tertawa begitu lepasnya. Tuan bahagia melihat puan tertawa lepas. Puan tak peduli dengan make up tebal yang menyelimuti wajahnya, rusak bukan halangan, hanya hati yang diutamakan saat itu. 

Puan dan tuan masih tetap sama, hampir setengah jam Lelaki itu memperhatikan dari kejauhan. Tapi keduanya masih stabil duduk di tempat yang sama, tertawa bahagia bersama, senyum malu bersama hingga akhirnya jemari tangan keduanya bergandengan. 

Lelaki itu ikut tersenyum bahagia dari kejauhan, meskipun ia sebenarnya tak tahu apa yang terjadi dan apa yang dibicarakan keduanya. Satu hal yang ia yakini, puan dan tuan adalah pasangan kekasih. Baru tersiram manisnya air kasih, bahagia berdua tanpa tahu akan ada rasa sakit di kemudian harinya. 

Setengah jam memandangi keduanya, Lelaki itu melihat puan beranjak pergi, mencoba meninggalkan tuan. Tuan tampak tak rela pulang pergi dari sisinya. Tapi puan dengan tatapan memelas, meyakinkan tuan bahwa mereka harus berpisah sementara waktu. 

Tuan masih belum rela, tapi akhirnya ia melepaskan puan untuk pergi. Raut wajah tuan tak bisa membohongi isi hatinya. Sebelum pergi, puan masih berdiri menghadap tuan, membelakangi Lelaki itu, di sana, mungkin puan kembali meyakinkan tuan bahwa ia harus berpisah sementara, tapi akan terus tetap bertemu jika ada kesempatan. 

Tuan mengikhlaskan, puan pun pergi. 

Seketika puan mengayunkan kedua kakinya beranjak dari tuan, mata Lelaki itu mengikuti kemana puan pergi. Puan berjalan kaki menuju arah yang jauh dari sudut mata Lelaki itu. Hingga puan pun hilang dari pandangannya. 

Lelaki itu memutar balikkan pandangannya kembali pada tuan. Tuan masih tetap di tempat yang sama, namun, tuan kini sedang memainkan gadgetnya, entah apa yang sedang dimainkan tuan, membalas pesan, bermain game, atau menghubungi puan untuk menanyakan kabar, meski belum jauh. 

Tuan belum beranjak, Lelaki itu masih terus disana. Memperhatikan tuan sampai tuan beranjak dan pergi dari pandangannya. Lelaki itu membiarkan itu, berbeda ketika saat puan pergi, mata Lelaki itu tak mengikuti arah tuan pergi. 

Ketika semua yang ia perhatikan menghilang, Lelaki itu melamun. Satu yang ia belum sadari ketika itu, ia berada di masa lalu. Mesin waktu menggiringnya kesana, tapi ia seolah terhanyut dan tak sadar itu. Beberapa waktu tatapannya kosong, Lelaki itu tersadar, ketika ada segerombolan anak laki-laki seumurannya yang menarik tangannya untuk pergi ke suatu tempat. 

Kemana ? Lelaki itu pun tak mengerti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun