Mohon tunggu...
Anggit Pujie Widodo
Anggit Pujie Widodo Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. ( Pramoedya Ananta Toer )

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selaras Sepadan

9 April 2022   00:05 Diperbarui: 9 April 2022   00:44 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gejolak hidupnya kia tak menentu. Bagai kain kusut yang tak pernah tersentuh timah panas. Ruangan nya untuk menyendiri memang jadi tempa ternyaman untuk berpikir. Lelaki itu, selalu merasa lebih baik ketika sendiri, tanpa ada kicauan sekitar. 

Ia mencoba meluruskan apa yang telah terjadi selama ini dalam hidupnya. Lelaki itu berusaha untuk menyiksa diri, dengan kembali memutar mesin waktu, berselancar di masa lalu. Meskipun resikonya sudah pasti, ia tidak akan mudah untuk kembali. 

Dalam pikirannya, hanya ada satu kata 'Berubah'. Kata-kata yang selalu ia impikan untuk menjadi sebuah kenyataan. Resiko terburuk apapun akan ia hadapi meski taruhannya rasa sakit berkepanjangan. Ruangannya ia modifikasi, kelakarnya agar tak mudah orang lain untuk masuk dan tahu. 

Material penguat ruangan ia siapkan untuk membenahi setiap jengkal ruangannya. Bukan semen, pasir, kerikir tapi ketahanan diri, siap atau tidak mempertahankan apa yang coba ia raih selama terpuruk. 

Lelaki itu coba kembali ke jalur yang benar, tapi ia percaya, tak akan semudah itu untuk melangkah kembali ke kondisi semula. Ada berbagai proses, rintangan dan hambatan yang akan ia terima. Sesekali, dua kali, bahkan sakit terus-menerus pun ia tak gentar, karena raganya harus kembali ke awal. 

Ruangannya sedikit demi sedikit ia perbaiki, menguatkan pikiran, meneguhkan hati dan belajar menerima keadaan adalah caranya untuk membenahi setiap sudut ruangan. Lelaki itu sama sekali tak ingin memberika celah pada keadaan buruk yang kerap menghantui hidupnya. 

Pikirannya coba untuk ia selaraskan, pergi ke masa lalu bukanlah hal mudah baginya. Begitu banyak kenangan yang sama sekali tak mungkin ia tinggal begitu saja. Serpihannya pun tak sanggup untuk ia biarkan, akan sangat sayang jika harus dibiarkan terombang-ambing hembusan angin. 

Lelaki itu kini benar benar niat untuk membenahi ruangannya. Ini adalah kali pertama ia menentukan sebuah sikap, bahkan jika Lelaki itu menuliskannya dalam sebuah catatan kecil, kertas pun seolah tak percaya. Baginya kini, hanya belajar dari masa lalu yang jadi obat baginya. 

Candu yang ia rasakan sudah seharusnya untuk disudahi. Lelaki itu tak mau berlarut dalam keheningan dan sendiri dalam keramaian, meninggalkan, ditinggalkan dan menjadi nestapa membuatnya gerah, hingga pada akhirnya ia menciptakan sebuah ruang. 

Mesin waktu coba ia hidupkan. Awalnya ia merasa tak percaya diri, yang ia takutkan hanya jika ia tak akan pernah bisa kembali dari masa lalu. Kue pie, bercengkrama diatas sepeda motor, telponan hingga malam hari, saling lirik ketika di kelas adalah segmen kecil dari masa lalu yang begitu ia takutkan. 

Karena itulah, ia membenahi apa yang harus ia benahi, ruangannya adalah wadah utama untuk menggapai semua. Kembali ke masa lalu bukanlah alibi, melainkan sebuah cara agar kembali ke jalur yang ia impikan. Lelaki itu mencari nilai dari kehidupannya di masa lalu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun