Mohon tunggu...
Anggit Pujie Widodo
Anggit Pujie Widodo Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. ( Pramoedya Ananta Toer )

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ditinggalkan

2 Desember 2021   17:26 Diperbarui: 2 Desember 2021   17:35 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia melukiskan sebuah kisah.
Namun tak seberuntung kawan sejawatnya. Ketika teman seangkatannya sudah meminang, Lelaki itu meriang. Bukan merindukan kasih sayang, tapi meriang oleh keadaan.

Jatuh cintanya mungkin berbeda, ia tak punya keberanian untuk hanya sekedar mengucap 'Aku Merindukanmu'.

Bibirnya terkunci rapat, semua yang ia rencanakan, terhambat oleh dirinya sendiri. Tembok besar itu jadi penghalang, ia tak mampu untuk menembus batas yang ia ciptakan sendiri. Bak bumerang yang setiap saat bisa saja menyerang balik, Lelaki itu sudah merasakannya berkali-kali.

Pada satu titik.
Ia pernah bahagia, penuh nya rasa cinta yang ia pendam hampir saja tertuang dalam sebuah ikatan janji sehidup semati. Bahagia bersama, menata kasur bersama dan mendidik anak bersama.

Hampir.
Hampir saja bayangan itu menjadi nyata. Tapi pada akhirnya, Lelaki itu hanya berteman dengan kesendiriannya. Semua rencana yang telah berdua ia bangun bersama sang pujaan hati. Harus rela ia kubur dalam-dalam ketika sang pujaan hati memilih lelaki lai yang sama sekali tak pernah Lelaki itu duga.

Penyesalan tak nampak dari Lelaki itu.
Ia hanya bisa menerima keadaan dan bertanya pada sang pujaan hati, mengapa berpaling, ketika janji yang akan diikat dalam waktu dekat, begitu saja hangus terbakar.

Dia.
Lelaki itu nampak tak terima awalnya, batinnya bergolak, menolak semua nasihat yang datang. Ia bertarung sendiri, tanpa bantuan, tak ada orang bijak baginya kala itu, yang ada hanya pengacau yang merusak kepercayaannya.

Teman hanyalah sampah baginya, datang untuk bahagia dan pergi ketika sudah mendapatkan. Yasudah, Lelaki itu pun tak bisa mengelus dada. Semua yang terjadi ia anggap sebagai beban untuk dirinya. Penyesalan hanya ia yang tau.

Janji hanya tingga janji.
Beban Lelaki itu bertumpuk, sama sekali ia tak pernah mau dan mampu untuk mengingatnya. Bagaimana bisa untuk diingat, kalau sudah tertempel erat di kepalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun