Mohon tunggu...
Anggit Pujie Widodo
Anggit Pujie Widodo Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. ( Pramoedya Ananta Toer )

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Batas

18 November 2021   23:57 Diperbarui: 19 November 2021   00:40 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pergolakan batin bukan lagi jadi rahasia umum bagi Lelaki itu. Semua hal yang telah ia lewati selama hidup di dunia mungkin hanya Fana. Tak terlihat namun dapat dirasakan. 

Yah. Benar. 

Ia merasakannya, tanpa bisa menyentuh. Perasaanya mati, seolah raga yang miliki hanya wayang yang dikendalikan oleh hati dan pikirannya. Lelaki itu sulit mencerna keistimewaan yang ia dapatkan, cenderung iri, dengki dengan apa yang dimiliki orang lain. 

Ia sadar, namun tak punya daya untuk merubah semuanya. Pikiran dan hatinya tak dapat dimiliki orang lain, Lelaki itu punya kebiasaan memendam, hingga ujungnya dia menciptakan sebuah batas. 

Benar .. 

Pembatas itu ia ciptakan, untuk menutupi dirinya dari kehidupan luar. Meskipun raganya ada untuk orang lain, tapi gerak matanya seolah mencari sebuah jawaban dari pertanyaan. 

"Aku Kenapa?"

Pertanyaan itu terus berdengung dalam pikirannya, kalut, kusut bak pakaian yang belum digosok, tak enak dilihat, tak nyaman digunakan. Begitulah isi kepala pada Lelaki itu dalam kesehariannya. Semua nampak begitu jelas baginya, kesendirian yang menciptakan sebuah batas, dengan tujuan untuk menjauhkan dirinya dari orang lain. 

Apatis .. 

Lelaki itu terlalu apatis, segalanya menjadi rumit ketika nyanyian orang tentang dirinya terus berdendang. Seperti konser musik, ketika satu group band menyanyikan sebuah lagu, semua orang yang menyaksikan akan berdendang bersama, ada yang hanya mendengarkan tanpa bernyanyi, ada juga yang bernyanyi tanpa berdendang. 

Namun, ada juga yang diam saja, di sudut lapangan, tatapan matanya kosong, pikirannya bertebaran kemana-mana. Lelaki itu adalah penonton tersebut. Dibalik ramainya suasana, raganya terbawa, tapi tidak dengan apa yang ada dalam dirinya. 

Batas itu.. 

Semakin hari semakin besar, tinggi, kokoh. Bagai cerita sejarah Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dengan Jerman Timur. Dibelah menjadi dua, meskipun masih dalam satu suku dan karakter yang tak jauh berbeda.

Tembok Berlin itu berdiri bukan tanpa alasan. Anak sejarah, bahkan orang yang hobi mempelajari sejarah juga sudah pasti tau jika alasan Tembok Berlin begitu jelas terpampang nyata. Orang biasa pun ketika ingin tau sejarah Tembok Berlin, hanya tinggal membeli buku sejarah di toko buku pun pasti akan mudah mendapatkannya. 

Buku sejarah, sudah sangat jelas menjabarkan secara detail, hingga mudah dipahami bagi orang yang mulai membacanya. Namun, tak berlaku bagi Lelaki itu. 

Lagi .. 

Jika buku sejarah bisa menjelaskan mengapa Tembok Berlin dibangun dan membuat batas antara Jerman Barat dan Jerman Timur, maka dalam kamus Lelaki itu tetap saja hambar. Buku apapun yang dicari di toko itu tidak akan menjelaskan mengapa ada batas dalam diri Lelaki itu. 

Memisahkan diri .. 

Batas itu mulai bekerja, meski belum maksimal, tapi batas itu sudah berhasil membuat jiwanya terpisah dengan dunia luar. Mahakarya yang Lelaki itu ciptakan, ia rasakan sendiri. Walaupun ia juga sadar, bahwa batas itu tidak akan membuat ia berkembang dan hanya akan jadi pengecut. 

Sadar, yah .. dia sebenarnya sadar .. 

Bahwa batas itu membuat dirinya terhalang. Segala usaha apapun yang dilakukan untuk keluar dari batas itu sudah ia lakukan, namun hasilnya akan tetap sama. Tak ada. 

Memanjat, namun terlalu tinggi. Menjebol namun terlalu kokoh, menghantamnya dengan berbagai alat berat pun tak sanggup karena terlalu besar. Ia menciptakanya, namun coba ingin keluar. 

Bagaimana mungkin, si pencipta tak bisa mencari sebuah jalan keluar dalam karya ciptaannya. Lelaki itu memang sedikit lucu. Bukan, tapi lucu. Apa yang ia cari tak juga ditemukan jawabannya. Bahkan mahakarya ciptaannya pun seolah menolak dirinya untuk menghancurkannya. 

Kronis .. 

Masalah Lelaki itu sudah kronis, seolah tak ada obatnya. Atau malah ia tak mau mencarinya. Sepi yang terlalu dalam sudah menjadikan batas itu semakin kuat. Terang yang mengelilinginya hanya jadi biasanya sesaat, tanpa sadar ia terjebak dalam dirinya sendiri. 

Sepinya kini menciptakan sebuah batas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun