Mohon tunggu...
Anggit Pragusto Sumarsono
Anggit Pragusto Sumarsono Mohon Tunggu... Bankir - Minat pada Ekonomi Keuangan Syariah, Kajian Stratejik Global

Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi & Keuangan Syariah, Sekolah Kajian Stratejik & Global (SKSG), Universitas Indonesia || Praktisi Perbankan Syariah

Selanjutnya

Tutup

Financial

APBN Indonesia dan Kebijakan Fiskal Abu Yusuf

5 November 2019   07:51 Diperbarui: 5 November 2019   07:55 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2019 diproyeksikan dengan total pendapatan Rp. 2.165,1 triliun, total belanja Rp.2.461,1 triliun dan defisit sebesar (-Rp.296 triliun). Untuk menutup defisit (-Rp.296 triliun) tersebut akan ditutup dari pembiayaan anggaran yang berasal dari utang sebesar Rp.359,3 triliun, selain itu ada alokasi pembiayaan anggaran untuk kegiatan investasi sebesar (Rp.-75,9 triliun). Dari total pendapatan negara dalam APBN tahun 2019 sebesar Rp.2.165,1 triliun komposisinya bersumber dari Pajak sebesar 1.786,4 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 378,3 triliun dan Hibah sebesar Rp.0,4 triliun.

Sekilas dari membaca APBN tahun 2019 (juga bisa dilihat APBN tahun-tahun sebelumnya) ada empat hal yang perlu kita cermati yaitu : (i) adanya defisit sebesar Rp. 296 triliun, (ii) sumber pembiayaan defisit anggaran ditutup dari utang sebesar Rp.359,3 triliun, (iii) sumber penerimaan negara yang utama dari Pajak yaitu sebesar Rp.1.786,4 triliun dan (iv) langkah pemerintah mengandalkan Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara akan berefek kepada wajib pajak yang beragama islam harus menbayar kewajiban double yaitu "Bayar Pajak" dan "Bayar Zakat".

Sebagai referensi dalam pengelolaan keuangan negara, kita bisa membuka lembaran sejarah yaitu apa yang telah dipraktikan oleh Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Indonesia dan Dinasti Abbasiyah memiliki satu kesamaan yaitu sama-sama negara besar yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Karena salah satu ciri khas kebijakan fiskal Islam adalah adanya instrumen zakat bagi warga negara muslim dan pajak bagi warga negara non muslim sebagai sumber pendapatan negara.

Bani Abbasiyah meraih tempuk kekuasan Islam setelah berhasi menggulingkan pemerintahan dinasti Bani Umayyah pada tahun 750H. Para pendiri dinasti ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, sehingga khilafah tersebut dinamakan Khilafah Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas (132-136 H).

Puncak kejayaan Khilafah Abbasiyah terjadi ketika tampuk pemerintahan dikuasai oleh Khalifah Harus ar-Rasyid (170-193 H), pertumbuhan ekonomi berkembang dengan pesat dan kemakmuran mencapai puncaknya. Pada masa pemerintahannya, Khilafah Harun ar-Rasyid melakukan diversifikasi sumber pendapatan negara (yaitu dari kharaj, jizwah, zakat, fa'i, ghanimah, 'usyr, wakaf, sedekah) dan membangun Baitul Mall.

Pada masa Khilafah Harun ar-Rasyid ada seorang tokoh besar yang berjasa menuliskan seputar keuangan negara sehingga bisa dijadikan referensi keuangan negara di masa sekarang, tokoh tersebut bernama Abu Yusuf.

Abu Yusuf adalah murid Imam Abu Hanifah, sang guru berharap kelak Abu Yusuf dapat melanjutkan dan menyebarluaskan Madzab Hanafi ke berbagai dunia Islam. Setelah Imam Abu Hanifah wafat, Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru pada perguruan Imam Abu Hanifah di Kufah selama 16 tahun dan selama itu pula ia tidak pernah berhubungan dengan jabatan pemerintahan.

Imam Abu Hanifah adalah seorang pedagang yang kaya sehingga banyak sekali fatwa beliau sangat fleksibel yang menunjukkan beliau sebagai orang yang paham lapangan dan pasar. Setelah sepeninggalan Imam Abu Hanifah, keadaan ekonomi Abu Yusuf semakin lama semakin memburuk dan tidak dapat menunjang karier keilmuannya.

Pada tahun 166 H/782 M Abu Yusuf meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad untuk menemui khalifah Abbasiyah pada masa itu yaitu Al-Mahdi (159 H/775H -- 169 H/785 H) yang kemudian mengangkatnya sebagai hakim di Baghdad timur. Pada khalifah berikutnya yaitu Al hadi (169 H/785 M -- 170 H/786 M) jabatan hakim tersebut masih terus dipegangnya.

Pada masa khalifah Harun ar-Rasyid ada perubahan organisasi kehakiman antara lain dengan dibentuknya jabatan penuntut umum (kejaksaan) dan instansi Diwan Qadi al Qudah. Pada masa transisi perubahan organisasi kehakiman ini jabatan Abu Yusuf naik menjadi ketua para hakim (qadi al qudah), jabatan yang belum pernah ada sejak masa Bani Umayah sampai khalifah Bani Abbasiyah sebelum khalifah Harun ar-Rasyid.

Pada masa Abu Yusuf menjabat sebagai qadi al qudahinilah ditulis kitab al-Kharaj sebagai jawaban dari pertanyaan khalifah Harun ar-Rasyid seputar keuangan negara yang berhubungan dengan permasalahan pajak, administrasi penerimaan dan pengeluaran negara sesuai syariat Islam yang dilakukan untuk mencegah kezaliman pada masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Poin penting yang bisa diambil dari kolaborasi antara Abu Yusuf dan sang Khalifah adalah : Pertama, ada upaya yang serius dan sistematis dari negara untuk berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat dan mencegah kezaliman dari yang kuat terhadap yang lemah, hal ini berbeda dengan konsep ekonomi kapitalis yang menjadikan liberalisasi ekonomi sebagai pendorong utama perekonomian.

Kedua, kesamaan visi dan sinergi dari pilar negara yaitu idiologi, politik (khilafah Harun ar-Rasyid), hukum (Abu Yusuf sebagai Hakim) dan ekonomi (kitab al-Kharaj sebagai panduan keuangan negara) telah terbukti menciptakan perekonomian negara yang kuat dan mensejahterakan rakyat.

Idiologi akan melahirkan pemimpin politik, politik akan menghasilkan produk hukum, hukum akan menjamin bahwa perekonomian akan berjalan secara adil dan keadilan ekonomi inilah yang akan mensejahterakan masyarakat. Pada era ini income pendanaan Daulah Abbasiyah mencapai 70.150.000 dinar.

Sebelum keuangan publik dipelajari secara sistematis di Barat, Abu Yusuf telah berbicara tentang kemampuan untuk membayar pajak dan kenyamanan dalam menbayar pajak. Kontribusi yang lain adalah penerapan pajak proposional menggantikan pajak tetap pada tanah, menekankan pentingnya pengawasan pada petugas pengumpul pajak untuk mencegah korupsi dan penindasan dan mengungkapkan pentingnya pembangunan infrastruktur untuk mendukung produktifitas dalam meningkatkan pendapatan negara.

Abu Yusuf dan khilafah Abbasiyah telah meletakkan dasar-dasar kebijakan fiskal yang berbasis kepada keadilan dan maslahah. Penerimaan negara dalam kitab al Kharaj dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori utama, yaitu: (i) Ganimah, (ii) Zakat (untuk muslim), (iii) harta Fay (Pajak & Bea Cukai untuk non muslim). Sumber penerimaan dari tiga kategori utama inilah yang membuat keuangan negara menjadi kuat karena tidak hanya bergantung pada satu sumber saja.

Berdirinya kekhalifahan Abbasiyah (132-656 H / 760 M-1258M) selama 498 tahun dilanjutkan dengan kekhalifahan Turki Usmani (1300-1924M) selama 624 tahun yang dalam kehidupan perekonomiannya Turki Usmani juga banyak melanjutkan kebijakan yang telah diterapkan oleh Dinasti Abbasiyah menunjukkan bahwa sistim kebijakan fiskal Islam memiliki konsep yang kuat.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia mempunyai potensi yang luar biasa besar apabila bisa menerapkan kebijakan fiskal seperti yang telah dituliskan Abu Yusuf dalam Kitab al Kharaj dan pemikir-pemikir ekonomi Islam setelahnya.

Dengan penerapan kebijakan fiskal seperti yang telah ditulis oleh Abu Yusuf kewajiban warga negara muslim untuk membayar pajak akan digantikan dengan zakat, jadi tidak ada double pembayaran seperti sekarang ini dimana umat muslim diwajibkan agama membayar zakat tetapi masih juga ditarik negara untuk membayar pajak. Kebijakan fiskal yang ditulis Abu Yusuf sangat relefan untuk diterapkan di Indonesia karena mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Dengan adanya sumber pendapatan dari Zakat dan Pajak maka APBN akan lebih kuat dan lebih terarah pendistribusiannya.

Tapi satu hal yang perlu diperhatikan adalah pesan Abu Yusuf terhadap khalifah untuk menganggap sumber daya sebagai suatu amanah dari Tuhan yang dimintai pertanggungjawabannya. Oleh karena itu, efisiensi dalam menggunakan sumber daya merupakan suatu hal yang penting bagi keberlangsungan pemerintah.

Anggit Pragusto Sumarsono, Praktisi Perbankan Syariah | Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah, Sekolah Kajian Stratejik & Global (SKSG), Universitas Indonesia (UI)

Referensi : - Abu Yusuf, Kitab Al Kharaj |  - Tim Riset dan Studi Islam Mesir. Ensikopedi Sejarah Islah | - Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam | - https://www.kemenkeu.go.id/apbn2019

Sumber : https://uc.xyz/BSfT9 APBN Indonesia dan Kebijakan Fiskal Abu Yusuf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun