Kekerasan ialah baik untuk bisnis media, menyajikan peristiwa dramatis, kejadian berbahaya, tak terduga, penuh emosi, dan kekerasan menjadi perhatian rutin media.Â
Konsekuensi dari liputan media tentang kekerasan politik dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi keprihatinan bahwa media telah meningkatkan kemampuannya dalam memengaruhi pembuatan kebijakan negara.
Namun, klaim bahwa kebijakan politik sekarang dibuat sebagai tanggapan terhadap impuls dan gambar kemungkinan besar tidak akurat. Ada atau tidak adanya perhatian media bukanlah variabel kunci dalam menentukan pengaruh media. Di sisi kebijakan, hanya pada saat terjadi kepanikan kebijakan, maka media berita dapat memiliki pengaruh.
Di sisi media, ketika membingkai laporan dengan cara kritis dari kebijakan resmi pemerintah dan dengan cara empati terhadap korban yang menderita dari konflik tertentu, media berpotensi dapat memberikan pengaruh pada pembuatan kebijakan. Ketika media tidak dapat melaksanakan fungsi pendidikan politik secara baik, peran pendidikan di sekolah semakin penting.
Pendidikan adalah hal yang sangat penting di dunia tidak perlu dipertanyakan lagi, karena duniapun membutuhkan orang-orang yang berpendidikan agar dapat membangun Negara yang maju. Tapi selain itu , adanya karakter sangat diutamakan karena kehidupan saat ini tidak hanya melihat betapa tinggi pendidikan ataupun segala sesuatu yang telah ia raih, melainkan pada karakter diri pribadi dari setiap individu.
Karakter dapat diartikan sebagai cara pola berpikir dan berprilaku seseorang yang merupakan cerminan dirinya, baik secara individu maupun bersama-sama dalam lingkup keluarga, masyarakat dan bernegara. Untuk lebih singkat karakter merupakan pembawaan seseorang yang ddapatkan sejak kecil.Â
Karakter sangat erat hubungannya dengan nilai agama, kejiwaan, akhlak dan budi pekerti seseorang yang membedakan terhadap yang lainnya. Sejalan dengan perkembangan jaman juga, diikut dengan pergeseran moral sebagi karakter /budaya negara timur, baik yang datang dari negara asing.
Bila pendidikan kewarganegaraan menekankan literasi politik sebagai produk, dengan melakukan transmisi pengetahuan politik faktual menggunakan metode pembelajaran didaktik, model kedua menekan pendidikan literasi politik sebagai proses. Model big issues dilakukan dengan memperkenalkan anak dengan isu-isu politik penting melalui berbagai diskusi dan debat-debat politik. Sudah barang tentu keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing (Davies & Hogarth: 2004).
Di antara kelemahan yang menonjol dari kedua pendekatan ini, misalnya, meskipun para guru mungkin ingin menggunakan isu-isu kontroversial sebagai studi kasus untuk mengembangkan pemahaman yang lebih luas, transfer yang diharapkan tidak muncul secara eksplisit dan sering tidak terjadi. Siswa pada akhirnya seperti dibiarkan memiliki pengetahuan mendalam tentang satu masalah tertentu yang dipilihnya sendiri.
Oleh karena masalah-masalah tersebut pada umumnya dipilih oleh media dan bukan oleh pendidik, siswa tidak dapat memperoleh pengenalan yang sistematis terhadap ide-ide politik sebagaimana yang diharapkan.