Mohon tunggu...
Anggita Titiana
Anggita Titiana Mohon Tunggu... Koki - Mahasiswa

Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Prof. DR HAMKA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rentan Terjadinya Konflik Interpersonal dalam Pernikahan Dini

31 Januari 2021   09:58 Diperbarui: 5 Februari 2021   18:18 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan dibawah umur 20 tahun. Menurut Undang-Undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa, yang dimaksud dengan pernikahan dini atau menikah usia muda adalah pernikahan yang dilakukan sebelum seseorang mencapai usia dewasa. Kriteria usia dewasa dalam hal ini adalah apabila pihak perempuan dan laki-laki telah mencapai usia 19 tahun.

Fenomena pernikahan dini bukanlah suatu fenomena baru. Pernikahan dini di beberapa daerah di Indonesia bahkan menjadi suatu budaya turun-temurun. Di lingkungan masyarakat pernikahan dini merupakan fenomena yang sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai agama dan sosial budaya. Secara umum terjadinya pernikahan dini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang sering dikaitkan dengan kondisi ini yaitu, faktor ekonomi, tingkat pendidikan yang rendah, adat istiadat, keinginan orang tua, dan lingkungan.

Faktor ekonomi hal ini terjadi karena keluarga mengalami kesulitan ekonomi sehingga terpaksa menikahkan anaknya pada usia dini, dengan begitu diharapkan anak dapat mengurangi beban ekonimi keluarga dan memperoleh kehidupan yang lebih layak. 

Tingkat pendidikan yang rendah tingkat pendidikan maupun pengetahuan anak dan orang tua yang rendah dapat menyebabkan adanya kecenderungan melakukan pernikahan di usia dini.

Faktor adat atau tradisi adanya kebiasaan pada suatu kelompok adat, contohnya seperti keyakinan untuk tidak menolak pinangan dari pria walau sang wanita belum berusia 16 tahun karena hal tersebut dianggap menghina. Faktor ini diyakini menyumbang persentase angka kejadian pernikahan dini di Indonesia.

Faktor keinginan orang tua kekhawatiran orang tua karena anaknya berhubungan terlalu jauh dengan kekasihnya dan nantinya akan memalukan keluarganya, maka mereka segera menjodohkan dan menikahkan anaknya. Setelah mereka menikahkan anaknya, mereka merasa bahwa tanggung jawabnya sebagai orang tua sudah selesai.

Faktor lingkungan pergaulan bebas merupakan suatu hal yang sangat memicu adanya pernikahan dini, para remaja yang salah dalam bergaul dan tidak bisa memilah mana pertemanan yang baik dan buruk, maka akan terjerumus ke dalam suatu circle yang akan merugikannya.

Menikah pada usia dini bukanlah tidak beresiko. Pengaruhnya bukan saja berupa fisik namun juga psikis. Hal ini yang menyebabkan mengapa sebuah pernikahan dini rentan dengan perceraian. Pada aspek fisik (biologis), dimana usia dan organ intim atau alat reproduksi belum siap untuk melakukan hubungan seksual. 

Pada aspek psikis, maka akan timbul suatu penyesalan dalam diri anak tersebut, anak akan sering murung dan tidak semangat. Hal tersebut juga akan timbul rasa kurang percaya diri untuk bergaul dengan anak-anak seusianya, mengingat statusnya sudah sebagai istri orang. Pencapaian pendidikan tinggi yang seharusnya dirasakan anak, akan hilang begitu saja karena kurangnya rasa percaya diri tersebut.

Menjaga hubungan terutama dalam mengelola konflik dengan pasangan dapat dilakukan dengan menjaga komunikasinya. Konflik sangat rentan terjadi pada pasangan yang menikah diusia dini ini, tetapi hal tersebut bergantung pada pengelolaan terhadap konflik yang muncul. Apabila pengelolaan konfliknya dengan cara yang tidak efektif maka pernikahan tersebut akan mengalami kesulitan dan dapat berakhir pada perceraian, namun jika pengelolaan konfliknya dengan cara efektif pernikahan terebut akan harmonis.

Komunikasi yang sering digunakan pada suami istri dalam berinteraksi adalah komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi antara dua orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap individunya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun non verbal. Salah satu tipe komunikasi interpersonal yang digunakan dalam berinteraksi pada pasangan suami istri adalah yang bersifat diadik yaitu komunikasi dalam situasi yang lebih intim, lebih dalam dan personal. Komunikasi interpersonal yang terjalin antara suami istri ialah yang mempunyai peran penting dalam menjaga kelangsungan berumah tangga.

Konflik yang sering muncul bersumber dari beberapa faktor, yaitu:

Keterbatasan sumber dikarenakan keduanya dibawah umur membuatnya memiliki pola pikir yang masih mengandalkan orang tua untuk memenuhi kebutuhan perekonomiannya. Tidak semua pasangan dibawah umur ini berasal dari keluarga yang serba ada, tak sedikit mereka berasal dari kalangan keluarga yang tidak mampu, bahkan mereka pun juga belum siap untuk bekerja.

Komunikasi yang tidak baik perilaku komunikasi baik verbal maupun non verbal yang seringkali menyinggung masing-masing. Kesalah pahaman yang membuat konflik tersebut muncul.

Ketidaksiapan dalam mengurus rumah tangga berkaitan dengan emosi yang masih labil, gejolak darah muda, serta pola pikir yang belum matang. Pasangan dibawah umur ini cenderung belum siap menjadi orang tua dan belum siap memikul tanggung jawab menjadi seorang ibu, menjadi pemicu ketidak harmonisan dalam berumah tangga.

Hal yang terjadi saat terjadinya konflik meliputi sikap tidak mau mengalah, mendiamkan pasangannya, mengeluarkan kata-kata kasar, menangis, bahkan pergi keluar rumah (suami). Mereka tidak bisa mengontrol emosi dan sampai membuat ekspresi negatif terlontar dari keduanya.

Bentuk penyelesaian konflik yang dapat dilakukan yaitu dengan mencari jalan tengah demi mempertahankan hungan,  menyadari kesalahan, saling menasihati, dan tidak melibatkan orang lain. Terdapat tiga solusi atas konflik interpersonal ini, yang dikemukakan oleh Filley, House & Kerr (dalam Luthans, 1983 : 378-379), meliputi:

a. Lose-lose (kalah-kalah): melakukan pendekatan untuk mencari kesepakatan atau mengambil jalan tengah untuk menyelesaikan perselisihan, menggunakan pihak ketiga sebagai penengah (arbitrator), dan merujuk pada aturan birokarsi atau aturan yang berlaku untuk memecahkan konflik.

b. Win-lose (menang-kalah): strategi menang-kalah dapat menimbulkan dua konsekuensi sekaligus baik yang bersifat fungsional maupun disfungsional bagi organisasi. Secara fungsional dapat mendorong terjadinya kompetisi untuk menang dan dapat memperkuat keeratan dan semangat korsa pada situasi konflik. Sebaliknya, strategi ini dapat menciptakan disfungsi karena menutup peluang penyelesaian, cara lain seperti kerja sama, dan kesepakatan bersama.

c. Win-win (menang-menang): strategi ini sangat cocok dilihat dari sisi kemanusian, karena sumberdaya yang ada lebih difokuskan pada upaya memecahkan masalah bersama, bukan untuk saling menjatuhkan. Dalam konteks budaya Indonesia, musyawarah mufakat sebagai salah satu sila dalam Pancasila yang merupakan strategi menang-menang.

Rentan terjadinya konflik interpersonal pada pernikahan dini memang jelas adanya, faktor komunikasi yang sangat menjadi pemicu adanya suatu konflik dalam rumah tangga. Konflik yang terjadi juga dapat dihindari dengan tetap menjaga hubungan komunikasi dan keharmonisan. Jika sudah terjadi dan menimbulkan konflik yang memanas, solusi yang dapat diambil yaitu dengan mengalah, mencari jalan tengah, dah menyadari atas kesalahan yang sudah mereka lakukan. Dapat juga menggunakan atau menerapkan strategi win-win yang sangat cocok dalam menyelesaikan suatu konflik.  

Sumber: 

satu, dua, tiga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun