Mohon tunggu...
anggita saphira
anggita saphira Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa FIS UNJ

Akhir dari sebuah pendidikan bukanlah otak yang cemerlang, akan tetapi Adab yang tinggi menjulang -Guru Besar Abah Zuhdi-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Akses Pendidikan Kaum Minoritas Disabilitas yang Terasingkan

30 Desember 2021   09:38 Diperbarui: 30 Desember 2021   09:51 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan pada dasarnya merupakan hak setiap warga Negara tanpa terkecuali. Hal tersebut tidak memandang bagaimana agama, ras ataupun suku yang mereka miliki. Sehingga, pendidikan pun berhak bagi kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan (terasingkan) dalam masyarakat, yaitu kelompok disabilitas/difable. Melalui resolusi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 13 Desember 2006, mereka membentuk sebuah konverensi yang membahas tentang hak-hak kaum disabilitas. Kemudian pada 30 Maret 2007, Indonesia melakukan konverensi yang sama guna memastikan setiap kaum disabilitas memiliki hak yang sama dengan warga Negara lainnya. Selain itu, terdapat pula Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas yang memperkuat bahwa Indonesia memiliki upaya dalam memberikan hak-hak kelompok difable.

Pada kenyataannya, Indonesia masih kurang dalam mengatasi hal tersebut. Masih banyak hak-hak kelompok disabilitas yang terabaikan oleh Negara. Mulai dari hak mendapatkan pekerjaan, hak perlindungan hukum hingga hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Berdasarkan presentase data statistic pendidikan tahun 2018, di indonesia hanya 5,48% penyandang disabilitas usia 15 tahun ke atas yang bersekolah. Sedangkan mereka yang tidak menyandang disabilitas memiliki presentase sekitar 25,83%. Sehingga jumlah presentase penyandang disabilitas yang tidak bersekolah berkisar 70,62%.

Selain itu, menurut data yang dilampirkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, hanya 62 dari 514 kabupaten/kota di indonesia yang memiliki akses sekolah untuk penyandang disabilitas (SLB). Satu sisi, secara tidak langsung SLB atau sekolah inklusi melakukan pengotakan dan semakin asing dari realitas sosial. Hal ini mengakibatkan hanya terdapat 10% dari 6,1 juta anak disabilitas yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa dan sisanya memilih untuk tidak bersekolah.

Banyak faktor yang mendasari mereka untuk tidak bersekolah antara lain jarak sekolah yang jauh, biaya sekolah yang mahal bagi mereka yang mendapat SLB swasta, dan sekolah umum yang banyak menolak penyandang difable. Sekalipun mereka berhasil masuk ke sekolah umum, segala hambatan akan tetap ada terutama pada bagian fasilitas sekolah yang tidak sesuai dengan penyandang difable. Mulai dari tidak ada jalan dan toilet khusus difable yang menggunakan tongkat atau kursi roda. Kemudian, pintu kelas yang tidak representative bagi mereka hingga tidak tersedianya buku pelajaran dengan huruf  braille. Seharusnya pihak sekolah memperhatikan hal tersebut dengan teliti.

Berdasarkan pemasalahan tersebut, dapat dikaitkan dengan kajian Paulo Freire yang berjudul "Pendidikan Kaum Tertindas" dimana penindasan dijelaskan sebagai dehumanis atau menghilangkan hak manusia secara terstruktur melalui proses yang tidak adil. Bagi Paulo Freire, pendidikan harus mengacu kepada pembebasan manusia terhadap rasa takut dan tekanan yang disebabkan oleh otoritas kekuasaan. Kajian ini dapat menjadi solusi atas bentuk ketimpangan yang terjadi di dunia pendidikan, secara teoritis maupun praktik di lapangan. Pendidikan kaum tertindas diciptakan secara bersama-sama tanpa ada unsur merendahkan satu dengan lainnya termasuk kaum minoritas. Hal ini bertujuan untuk memulihkan kembali kemanusiaan yang telah terampas.

Dalam "Pendidikan Kaum Tertindas", penyandang disabilitas menjadi tokoh utama yang tertindas oleh buruknya fasilitas dan kebijakan yang dibuat oleh sekolah dan pemerintah. Sistem bank semakin membuat penyandang disabilitas semakin diremehkan bahkan oleh guru mereka sendiri. Kemudian, kata "disabilitas" semakin membuat para penindas (sekolah dan pemerintah) menjadi besar kepala bahwa dapat dengan mudah mereka diperlakukan layaknya sebuah benda.

Maka dari itu, Paulo Friere memberikan sebuah konsep bernama konsep pendidikan hadap masalah guna mencegah teradinya penindasan di dunia pendidikan. Kunci utama dalam konsep ini ialah komunikasi. Komunikasi disini menjadi aspek penting untuk menciptakan pemahaman antara  satu sama lain, bukan hanya sebagai pengantar informasi. Hentikan penindasan dan perbaiki kebijakan agar penyandang disabilitas juga mendapatkan haknya untuk sebuah pendidikan yang layak. Mereka termasuk generasi-generasi penerus bangsa yang memiliki hak yang sama untuk menuju kesuksesan. Tidak karena mereka kelompok minoritas, jadi dipandang sebelah mata. Mereka adalah orang-orang yang kuat pemilik mimpi yang besar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun