Mohon tunggu...
Anggita Cinditya
Anggita Cinditya Mohon Tunggu... -

Tersenyumlah, maka dunia akan ikut tersenyum bersamamu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Transportasi Jabodetabek, Sampai Kapan Terus Begini?

2 Februari 2012   08:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:09 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penduduk Jakarta, dan penduduk kota sekitar yang setiap hari bertandang ke Jakarta untuk bekerja, pastinya sudah tidak asing dengan kemacetan jalanan ibukota Indonesia ini. Setiap pergi dan pulang bekerja, mereka -dan mungkin juga Anda yang tengah membaca ini- dihadapkan pada saat-saat paling menjengkelkan di dalam perjalanan. Penyebabnya adalah, sistem transportasi Jakarta yang semrawut dan seakan tidak pernah diperhatikan oleh pejabat yang (seharusnya) bertanggung jawab. Para penikmat angkutan kota harus berdesakan di dalam bus, belum lagi harus berdiri penuh peluh di tengah kemacetan jalan jika tidak mendapatkan tempat duduk. Para penumpang TransJakarta, harus menunggu kedatangan bus sekian lama, berdesak-desakan saat mengantri kedatangan bus yang tak tentu waktunya. Setali tiga uang dengan penumpang kereta api Commuter Line yang bergerak menghubungkan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Serpong. Waktu tunggu masih terasa lama, berdesakan di jam-jam sibuk, dan bahaya copet mengintai di setiap sudut. Pengendara sepeda motor? Terkadang ini sepertinya pilihan paling efisien sehingga banyak diambil, tapi bayangkan apa yang terjadi jika hujan lebat turun belum lagi bahaya kecelakaan yang sepertinya paling banyak mengancam pengemudi kendaraan roda dua ini. Bagi yang sedikit beruntung, bisa mengendarai kendaraan pribadi dengan nyaman. Tapi tentu saja, harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan tetap menghadapi kepadatan jalanan ibukota. Transportasi, tak pelak lagi adalah salah satu faktor penting terutama di kota megapolitan seperti Jakarta dan sekitarnya. Dengan tuntutan hidup yang serba dinamis, sangat dibutuhkan fleksibilitas untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Sayangnya, pemerintah kota Jabodetabek gagal untuk memenuhi hak para penduduknya, menyediakan transportasi publik yang nyaman dan aman untuk digunakan sehari-hari. Sebenarnya, apa yang salah? Kesalahan tata kelola, ketidakdisiplinan, kurangnya koordinasi antar pemerintah Jakarta dan sekitarnya, serta perencanaan yang kacau balau adalah salah satu dari sekian banyak penyebab buruknya sistem transportasi di Jabodetabek. Ada beberapa hal yang patut dipertanyakan berkaitan dengan transportasi publik di Jabodetabek. Pertama, transportasi publik yang sejatinya adalah salah satu bentuk public service harusnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan penggunanya, bukan untuk memaksimalkan profit pengelolanya. Patut dipertanyakan, kenapa bus dan angkutan umum yang beroperasi di Jakarta berlomba-lomba untuk mendapatkan penumpang terbanyak agar mendapat setoran yang lebih besar? Kenapa bukan ditujukan untuk memenuhi target waktu sampai tempat tujuan? Akibatnya adalah banyak supir bus dan angkot yang melakukan segala cara untuk menarik penumpang, mulai dari menjejal-jejalkan penumpang seperti ikan sarden lalu mengopernya di tengah jalan untuk berputar kembali jika sedang ramai; atau mengetem menunggu penumpang hingga puluhan menit jika sedang sepi. Tak ayal lagi ini berujung pada kemacetan, terutama di daerah sub-urban seperti Tangerang, Bekasi, atau Bogor. Banyak pula angkutan umum yang berjalan ugal-ugalan, salip menyalip antara bus satu dengan lainnya, karena bersaing mendapatkan penumpang yang lebih banyak. Lain lagi dengan kereta api, yang sebenarnya memiliki jadwal kedatangan dan keberangkatan, namun punctualitas-nya masih jauh dari kata sempurna bahkan bisa dibilang buruk. Frekuensinya juga kurang diperhatikan dan tidak bisa menampung banyaknya pengguna di saat-saat yang sangat dibutuhkan. [caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Kemacetan di salah satu ruas jalan di Jakarta"][/caption] Kedua, masih berhubungan dengan pernyataan pertama, sebenarnya siapa yang mengelola angkutan umum di Jakarta? Siapakah para supir bus dan angkot yang lalu lalang tersebut? Kepada siapa mereka menyetor uang? Seharusnya angkutan umum dipegang oleh pemerintah, atau badan resmi yang sifatnya memang melayani masyarakat. Sehingga semua supir adalah supir resmi, setiap pendapatan yang masuk juga menjadi milik pemerintah, dan target yang dicapai adalah waktu, selayaknya bus TransJakarta. Sebaiknya para penumpang tidak membayar uang kepada supir atau kenek, tapi melalui sistem tertentu yang lebih efektif. Akan lebih baik jika para supir dan kondektur angkutan umum mendapatkan penghasilan berupa gaji, bukan setoran yang tidak tentu setiap hari. Hal ini kembali lagi berhubungan dengan siapa sebenarnya pengelola angkutan umum (terutama bus, kopaja, metromini, dan angkot kecil) yang ada di Jabodetabek. Pemerintah Jabodetabek sebaiknya belajar dari ibukota negara lain yang telah memiliki sistem Mass Rapid Transit (MRT) terpadu. Jakarta sangat membutuhkan kehadiran subway di bawah tanah untuk mengurangi kemacetan, yang telah terbukti ampuh diterapkan di Singapura, London, Paris, Tokyo, dan New York. Integrasi antara satu moda transportasi umum dan lainnya di Jakarta dan sekitarnya juga sangat dibutuhkan, karena disadari benar bahwa tingginya mobilitas di Jakarta berasal dari penduduk di kota-kota sekitar Jakarta. Sebagai contoh dari negara lain, dengan membeli sebuah tiket transportasi di Paris, seseorang dapat dengan mudahnya menggunakan Metro (subway di Paris), lalu berpindah ke RER (sejenis kereta api yang menghubungkan Paris dengan daerah di sekitarnya), dilanjutkan dengan tram, dan pergi lagi menggunakan bus. Cukup sekali membayar, dan ditunjukkan dengan sebuah kartu, bisa menggunakan semua moda transportasi tersebut. Integrasi ini sangat dibutuhkan sehingga seorang penumpang dapat berpindah dari satu moda transportasi ke moda transportasi lainnya dengan mudah. Misalnya berangkat menggunakan kereta api yang menghubungkan Depok dengan Jakarta, lalu dilanjutkan dengan naik bus atau subway di dalam Jakarta yang letaknya lebih sulit dijangkau dengan transportasi jenis kereta. Jika transportasi publik sudah terintegrasi seperti ini (juga dilengkapi dengan kenyamanan dan keamanan) maka jumlah pengguna kendaraan pribadi dipastikan akan menurun. [caption id="" align="aligncenter" width="664" caption="Metro di salah satu stasiun di Paris, Prancis"][/caption] Memang hal ini membutuhkan banyak waktu dan biaya untuk diwujudkan. Tapi kalau tidak dimulai dari sekarang, sampai kapan transportasi Jakarta (dan sekitarnya) akan terus begini? Bayangkan saja, jalur Metro pertama di Paris mulai digunakan pada tahun 1898, sedangkan Jakarta hingga tahun 2012 masih terjebak dengan permasalahan transportasi yang semakin seperti benang kusut. Maka, rencana pemerintah Jakarta untuk membangun MRT yang sedang dirintis saat ini (bahkan sudah ada web untuk MRT Jakarta) sebaiknya dilaksanakan secara serius, jika tidak ingin melihat jalanan Jakarta terus menerus berada dalam kesemrawutan dan meningkatnya kadar depresi penduduknya. Selain itu tentu dibutuhkan koordinasi antara pemerintah Jakarta dengan kota-kota sekitarnya untuk mewujudkan sistem transportasi yang terintegrasi, yang bukan hanya sekedar omongan belaka saja seperti yang selama ini terjadi. Semoga saja, transportasi Jabodetabek tidak akan terus begini. Catatan: Kedua gambar di artikel ini bukan milik penulis

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun