Suara gemericik air dan semilir angin pagi menyambut Lina saat ia memulai hari dengan mencari buku tulis di dalam lemari. Namun, tak disangka, di balik tumpukan buku, Lina menemukan sebuah buku diary dari masa SMP sampai SMA. Dalam keheningan pagi, Lina membuka lembaran masa lalu itu dan terhanyut dalam alunan kenangan yang menggetarkan hati.
Sebagai anak kedua dari lima bersaudara, Lina tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya seorang petani yang gigih, sementara ibunya seorang guru yang penuh dedikasi. Abangnya tengah menempuh pendidikan tinggi, sementara adik-adiknya masih berjuang mengejar mimpi mereka.Â
Dari SMP hingga SMA, Lina menjalani hari-harinya jauh dari orang tuanya, tinggal bersama pakde dan bukde. Mereka memiliki seorang anak perempuan yang dipanggilnya kakak dan sudah bersuami, biasa ia panggil abang. Setiap pagi, alarm berbunyi mengingatkannya akan tugas harian yang tak pernah berhenti. Menunaikan sholat, membersihkan rumah, pergi ke sekolah, dan mengantar Bukde ke ladang merupakan rutinitas yang tak pernah terlewatkan.Â
Di tengah-tengah kesibukan dan tanggung jawabnya, Lina juga memiliki sahabat setia, Olip, yang selalu ada di sampingnya untuk berbagi cerita dan tawa. Suatu pagi, setelah hampir terlambat ke sekolah, Lina dan Olip duduk di bawah pohon rindang setelah pulang sekolah. Wajah lelah Lina mencerminkan perjuangannya yang tak kenal lelah dalam memenuhi tugas-tugas di rumah dan ladang.Â
"Na, kamu kenapa jalannya bungkuk begitu? Apa sakit pinggangmu atau habis jatuh?" tanya Olip dengan suara penuh perhatian, memecah keheningan.
Lina menghela nafas dan menjawab dengan lemah, "Badanku terasa sangat lelah, Lip. Ini semua karena pekerjaan di ladang. Tangan dan telapak tanganku luka-luka karena memotong kayu dan membakarnya."Â
Olip mengangguk paham sambil menatap tangan Lina yang penuh luka. "Na, seharusnya pekerjaan seperti itu dilakukan oleh laki-laki. Mengapa harus kamu yang melakukannya? Kenapa tidak menyuruh orang lain saja?"Â
Lina menatap ke bawah, "Aku tidak enak menolak, Lip. Aku tahu ini seharusnya pekerjaan laki-laki, tapi aku tidak punya pilihan."Â
Olip menggenggam tangan Lina dengan penuh empati, "Kamu sungguh luar biasa, Na. Aku merasa kasihan melihatmu harus menghadapi semua ini sendirian. Apakah orang tuamu tahu tentang pekerjaanmu ini?"Â
Lina menggeleng pelan, "Mereka tidak tahu, Lip. Aku takut mereka marah jika mengetahui. Aku hanya ingin membantu keluargaku, meskipun harus melewati semua ini."
 Olip menatap Lina dengan mata berkaca-kaca, "Kamu begitu kuat, Na. Aku tidak tahu bagaimana rasanya berada di posisimu. Aku sangat menghargai keberanian dan ketulusanmu."Â