Ini bermula pada suatu pagi ketika Samsul menemukan bungkusan berisi bahan makanan tergeletak di depan rumah. Rupanya temuan itu berlangsung terus menerus selama hampir dua minggu.
Kadang mie instan, beras, gula, susu, hingga biskuit. Pernah dia mendapati sekantong sayuran macam timun, lombok, dan kangkung. Bahkan pernah pula ia menjumpai dua porsi mie ayam.
Belakangan Samsul tahu makanan-makanan itu bukan turun dari langit, melainkan dikirim oleh tetangganya.
"Itu pengalaman yang nggak mungkin aku lupakan," kata Samsul, mengenang hari ketika ia dan istrinya menjalani isolasi.
Samsul terpapar covid pada pertengahan Juli 2021 dan harus mengurung diri di rumah kontrakannya. Saat itu varian delta sedang ganas-ganasnya menghantam negara ini, rumah sakit penuh, tabung oksigen langka, kematian pun meningkat drastis.
Di kampungnya di Peterongan Semarang, corong masjid nyaris tak pernah lesu menyiarkan berita lelayu setiap hari.
Samsul pun diliputi bayangan mengerikan, ia sering memikirkan jika tiba-tiba jantungnya berhenti berdenyut. Lebih-lebih rasa meriyang yang dirasakan sungguh aneh. Pagi hari fisiknya membaik namun saat menjelang malam badannya tiba-tiba ngedrop lagi.
Kondisi ini terus berulang selama hampir satu minggu. Vitamin yang dikirim oleh petugas kesehatan tak pernah telat ia konsumsi.
Berbeda dengan Samsul, kondisi fisik istrinya tampak lebih baik. Istrinya masih bisa beraktivitas, hanya saja indra penciumannya hilang dan itu perlahan-lahan membuat selera makan ikut lenyap.
Di tengah kondisi frustasi itulah, Samsul merasakan perhatian yang teramat melimpah dari tetangganya. Uluran tangan dan kepedulian mereka membuat ia semakin kuat, tak merasa sendiri, apalagi dikucilkan.
Bahkan, yang paling membuat ia terharu adalah ia bukan asli warga setempat. Ia hanya pendatang yang merantau dari Purbalingga, sedangkan istrinya dari Jepara. Namun ia tidak merasakan perlakuan yang berbeda.
Hari-hari isolasi mungkin sudah banyak dialami orang, namun keberuntungan, kepedulian para tetangga yang didapatkan Samsul, tidak semua orang merasakannya.
Barulah setelah sembuh, Samsul tahu perlakuan tetangganya itu bukan tiba-tiba. Itu adalah Jogo Tonggo, gerakan menjaga tetangga saat ditimpa musibah untuk saling menguatkan.
Gerakan ini dilahirkan Gubernur Ganjar Pranowo dalam rangka memerangi covid, termasuk menghadapi varian omicron seperti saat ini.
Dan sekarang kita sama-sama dihadapkan pada sebuah fakta, bahwa kasus omicron di Indonesia per 2 Maret 2022 telah mencapai 6.580 kasus, paling banyak berada di Jakarta yang menembus 4.829 kasus.
Melihat data tersebut, kalau boleh menyarankan, mestinya Gubernur Anies Baswedan juga perlu menerapkan program Jogo Tonggo ini. Anies tidak perlu malu apalagi gengsi, sebab semua ini muaranya untuk masyarakat.
Tentu saja Anies tidak akan tega melihat warganya berjuang sendirian melawan covid. Tapi bagaimana lagi, jika tidak mampu memunculkan gagasan semacam ini, meniru juga tidak masalah. Sampean tinggal ganti nama saja, mungkin bisa diganti Jaga Kebersamaan, Jaga Hati, atau mungkin Saling Peduli. Sekali lagi ini demi warga di Jakarta.
Sebagai gambaran saja untuk Anies, sejak Jogo Tonggo diluncurkan pada 2020, seketika itu juga Satgas tingkat desa hingga RW dibentuk di seluruh desa yang ada di Jawa Tengah. Semuanya bergerak, antara pemerintahan desa dan warga seluruhnya guyub.
Tak hanya di Semarang, warga di Kelurahan Gandekan, Surakarta juga bergotong royong menerapkan Jogo Tonggo untuk membantu warga yang tak bisa beraktivitas. Warga di Desa Wanarejan Utara, Pemalang, juga sama saja, berbondong-bondong untuk saling membantu. Mereka jugalah yang menjaga  dan mengajak warga untuk menerapkan protokol kesehatan.
Semua Kabupaten/kota di Jawa Tengah telah mengaplikasikan Jogo Tonggo. Selain menjadi jaring pengaman sosial dan keamanan, Jogo Tonggo kini juga telah menjelma jaring ekonomi agar kita bisa bersama-sama bangkit dari keterpurukan. Sebab memerangi pandemi tak mungkin dilakukan sendirian.
