Mohon tunggu...
Anggi Hafiz Al Hakam
Anggi Hafiz Al Hakam Mohon Tunggu... Pustakawan - Eksisto Ergo Sum

Saya membaca maka saya menulis | literature enthusiast | Bee Gees | selendangwarna.blogspot.com |

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Catatan-catatan untuk Para Priyayi

31 Oktober 2016   14:53 Diperbarui: 31 Oktober 2016   15:56 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan Pembuka (31 Aug 2016)

Another monumental works from Umar Kayam. Saya harus akui bahwa buku ini punya daya jangkau yang luas dan lintas generasi.

Sudah lama sekali saya mengidamkan buku ini. Terlebih setelah berhasil mendapatkan "Mangan Ora Mangan Kumpul". "Para Priyayi" selalu menggelitik rasa penasaran saya. Tentang bagaimana status priyayi itu berkembang menjadi sebuah identitas yang memiliki tingkatan tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Setidaknya, saya membutuhkan gambaran tentang hal itu, dimana priyayi telah menjadi semacam gengsi kelas dalam tatanan hidup bermasyarakat.

Saya belum sampai pada halaman setengah buku ini. Namun, sudah cukup memiliki gambaran bagaimana priyayi itu "dilestarikan". Saya juga belum sampai pada jawaban, apakah yang dimaksud dengan priyayi itu sendiri? Apakah sebuah status kelas dalam masyarakat? Apakah hanya sekedar istilah dan sebutan bagi para kaum elite birokrasi? Lantas apa bedanya dengan birokrat? Apakah priyayi ini jalan hidup atau hanya sebuah gaya hidup belaka?

Apapun itu jawabannya, saya masih harus menamatkan buku ini terlebih dahulu. Sebagai kewajiban untuk memahami secara utuh seorang priyayi menurut penuturan Umar Kayam.

Para Priyayi (30 Oct 2016)

Membaca beberapa halaman pembukaan buku ini sama rasanya dengan membaca karya-karya Ahmad Tohari. Perasaan khas pedesaan yang timbul turut menjadi satu nuansa yang tidak terlupakan. Tidak hanya itu saja. Para penulis seperti mereka pandai mengolah rasa dalam tulisannya sehingga gairah pedesaan itu begitu hidup dan remarkable. Mereka menjadikan desa menjadi sebesar dunia-dengan segala permasalahannya.

Saya lebih senang menandai "Para Priyayi" ini sebagai sebuah roman, bukan novel. Umar Kayam berhasil meletakkan segala macam permasalahan priyayi, sejak awal mula trah keluarga dibangun hingga perjalanan melintas masa. Dengan berbagai sudut pandang yang dinamis, "Para Priyayi" tidak memandang priyayi sebagai satu hal yang statis. Ia menjelma bukan hanya sebagai kata benda, tetapi juga menjadi sebuah kata kerja.

Kehidupan Ndoro Seten diceritakan begitu gamblang; lengkap dengan segala permasalahan kehidupan sehari-hari. Ketiga anaknya berhasil menjadi priyayi seperti yang didambakannya. Sebuah penghargaan dan status sosial yang punya tempat tersendiri di lingkup sosiologis masyarakat pedesaan.

Konflik mulai meninggi ketika keturunan para priyayi ini berkembang sesuai zamannya. Bahkan hingga ada yang tersangkut kasus G30S/PKI. Cara Umar Kayam mengakhiri kemelut-kemelut ini terkesan tidak tergesa-gesa, melainkan berhasil memunculkan solusi dalam konteks kepriyayian. Pun, dengan demikian kepriyayian yang sedari awal sudah dibangun tidak lantas hilang begitu saja diretas zaman. Just like any romantic roman, the stories ends with happy ending.

Memang dibutuhkan stamina membaca yang tinggi untuk menyelesaikan roman ini. Namun, itu semua akan terbayar dengan permainan alur cerita dan konflik yang apik. Umar Kayam memadukan filosofi Jawa dan kepriyayian sesuai dengan zamannya. Nilai-nilai yang tidak lekang dimakan usia adalah satu nilai tambah untuk karya-karya semacam ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun