Mohon tunggu...
Anggi Hafiz Al Hakam
Anggi Hafiz Al Hakam Mohon Tunggu... Pustakawan - Eksisto Ergo Sum

Saya membaca maka saya menulis | literature enthusiast | Bee Gees | selendangwarna.blogspot.com |

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Rahvayana 2: Ada Yang Tiada

14 Juli 2015   15:32 Diperbarui: 14 Juli 2015   15:32 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebaiknya dunia yang tak ada harus tetap kita adakan. Kalau perlu, kita ada-adakan. Caranya, yang tidak ada itu harus kita ada-adakan manfaatnya.

 

 

Kisah lanjutan dari Rahvayana edisi perdana, Aku Lala Padamu ini masih bercerita soal si ‘Aku’ yang tak henti-hentinya mengagumi Sinta. Sejak pertemuan pertama pada gerimis di Borobudur hingga Rahvayana akhirnya benar-benar melanglang buana tampil di gedung pertunjukan legendaris dunia. ‘Aku’ masih menulis surat-suratnya pada Sinta walau kadang Sinta tak lantas langsung membalasnya.

 

Saya tidak perlu menjelaskan lagi soal pembebasan pakem Rama-Sinta dari cerita Ramayana yang sudah terlanjur beredar dan kita semua maklum dibuatnya. Rama mengumpulkan pasukannya untuk merebut kembali Dewi Sinta. Pada “Rahvayana 2”, permainan sang Resi Sujiwo Tejo semakin mendetail untuk mengungkapkan apa saja yang terjadi diantara Rama-Sinta. Ia berhasil membuat kedua tokoh itu menampakkan sisi hitam-putihnya.

 

Pengalaman bersama ”Rahvayana 2” ini benar-benar menjadi suatu perjalanan yang menyenangkan. Menyenangkan karena akhirnya saya dapat gambaran mengenai sosok seorang Indrajit bila memang benar ada dalam kehidupan nyata. Sang pemilik Aji Sirep yang lebih sakti dari milik Wibisana ini menemani si ‘Aku’ sejak dari dalam kereta dari Guangzhou, lalu ke Tembok China dimana si ‘Aku’ mendalang untuk lakon Rahwana dan Sinta diiringi  repertoar yang sakral dan kuno, Gending Ayak-Ayak Slendo Manyuro.

 

Sinta Gugat

 

Seluruh perjalanan dan petualangan dalam “Rahvayana 2”; Guangzhou, Tembok Cina, Bali, Siberia, Anna Karenina, Himalaya, dst. Pada ujungnya memang hanya soal Rahwana, Sinta, dan Rama. Menjelang akhir cerita, mulai halaman 233 hingga 234, usai Rama berhasil menemui Sinta setelah dibuat tidak berdaya oleh Lawa dan Kusa, dua anak kembarnya yang ikut Sinta mengasingkan diri ke hutan Dandaka, Sinta ‘menggugat’ eksistensi Rama dalam seluruh lakon Rama-Sinta ini.

 

“Katanya, Rama hanyalah buih. Ia bergerak atas kehendak samudra Siwa. Kenapa cinta Tuhan kepadaku melalui Rama begitu naif? Masih ia syak wasangkai kesucianku setelah 12 tahun hidup bersama Rahwana di Alengka?”

 

Sinta masih melanjutkan gugatannya.

 

“Apakah cinta tak ubahnya dengan pengadilan, yang setiap pihak harus membuktikan segalanya?”

 

Gugatan Sinta menarik simpati para siluman di Dandaka. Bahkan ada yang mulai menangis.

 

“Rama, sebetulnya kau mencintaiku atau mencintai dirimu sendiri sehingga kau begitu hirau dengan gosip rakyatmu bahwa aku sudah tak suci lagi setelah hidup bersama Rahwana”

 

Gugatan Sinta pun berakhir.

 

“Perang Alengka-Kosala kau canangkan bukan demi cintamu kepadaku, Rama, melainkan demi ketersinggungganmu sebagai seorang lelaki dan seorang kesatria!”

 

Lagi-lagi, saya harus mempertanyakan Rama. Mengapa Dewi Sinta yang dicurigai sudah tidak suci lagi? Apakah karena dominasi maskulinitas terhadap feminitas Sinta? Lantas, mengapa Rama sendiri menangis di balik bukit kala Hanuman membawakan kalung titipan Sinta  untuk dipakai olehnya sekaligus untuk membuktikan kesetiaannya? Dalam hal ini, memang cinta Rama kepada Sinta perlu dipertanyakan. Bila perlu, diadakan lagi penelitian lebih jauh mengenai hal ini. Apakah sebegitu bersyaratnya cinta Sri Rama terhadap Dewi Sinta.

 

Barangkali memang Rahwana yang tetap bisa mencintai Sinta, apapun keadaannya. Rahwana memang menyembah dan memuji titisan Dewi Widowati itu dengan caranya sendiri. Rahwana menyembah Zat yang ada itu melalui segenap tirakatnya. Rahwana tetap menjunjung dan mencintai Sinta, walau Sinta berubah menjadi Janaki dan Waidehi.

 

Hanya Sekedar Komentar

 

Muatan lain yang jadi titik berat lanjutan ‘Aku Lala Padamu’ ini adalah satu soal filosofis tentang ada dan tiada. Pembaca bisa menilai sendiri persoalan filosofis yang rupanya sempat hinggap di kepala sang Resi Sujiwo Tejo. Soal cover buku, saya rasa ‘Aku Lala Padamu’ memang cenderung ‘lebih serius’ dalam menggarap hubungan antara cover dengan jalan cerita.

 

“Ada Yang Tiada” punya cover yang cenderung lebih ngepop dan santai. Tiga orang gadis naik mobil sedan kap terbuka. Mungkin, mereka naik sedan Mercy Tiger tahun 70-an dan melintasi jalanan Melawai hingga pinggiran pantai California sana. Entah mengapa, saya membayangkan perempuan-perempuan itu adalah Gwen Stefani, Mariana Renata, dan Katy Perry, sang pelantun ‘California Girls’. Entah. Entah mengapa. Seperti ada yang tiada.

 

 

Judul        : Rahvayana2: Ada Yang Tiada

Penulis     : Sujiwo Tejo

Penerbit   : Penerbit Bentang

Tebal        : 304 hal.

Tahun       : 2015

Genre       : Fiksi-Novel Sejarah

 

 

Medan Merdeka Barat, 18 Juni 2015

* Terbit pertama kali di blog penulis, selendangwarna.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun