Mohon tunggu...
Anggi Hafiz Al Hakam
Anggi Hafiz Al Hakam Mohon Tunggu... Pustakawan - Eksisto Ergo Sum

Saya membaca maka saya menulis | literature enthusiast | Bee Gees | selendangwarna.blogspot.com |

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Senja di Jakarta

14 Desember 2011   12:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:17 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Senja di Jakarta tetap dalam kesuraman, dan mereka yang jujur tetap tersisih." * Terkisahkan dalam cerita bagaimana nasib anak-anak manusia membawa takdir berlari menuju suratan masing-masing. Saimun dan Itam sebagai potret rakyat kecil dengan dinamika kehidupan yang sebegitu rupa selalu bergulat dengan perut yang lapar. Raden Kaslan, seorang pengusaha yang kemudian menjadi mesin uang bagi Partai. Husin Limbara, tokoh sentral partai penguasa yang terlalu hebat kuasanya dalam mengatur segala urusan demi kemajuan partai yang dipimpinnya. Suryono, anak Raden Kaslan yang memutuskan untuk berhenti jadi pegawai negeri lalu ikut jadi pengusaha seperti ayahnya-dan membantu partai. Ada lagi, Sugeng. Pegawai negeri yang jujur namun karena satu bisikan kemudian berhenti jadi pegawai dan membuka usahanya sendiri. Tokoh-tokoh pemuda yang saat itu ikut berperan dalam permainan wacana kanan-kiri pun tak lupa disebutkan. Macam Akhmad dan Yasrin yang berhaluan kiri. Sedangkan, Pranoto dan Murhalim adalah pengikut setia paham demos-cratein (baca: demokrasi). Ditambah Iesye, seorang religius-nasionalis yang percaya dinamika Islam akan mampu memecahkan jalan buntu yang dihadapi bangsanya. Semua kisah itu pada awalnya muncul sebagai fragmen-fragmen dengan alurnya sendiri. Seiring cerita berjalan, entah kebetulan atau tidak, benang merah kusut itu semakin menemukan jalinannya. Kaitan antara fragmen yang satu dengan fragmen yang lain terasa lebih hidup dan meninggalkan perasaan sesal pada pembaca bila melewatkannya. Seandainya dibaca dengan seksama, Senja di Jakarta melukiskan juga berbagai kekuatan yang mempengaruhi, membentuk, dan kehidupan mereka yang kaya, miskin, kaum politik dan kriminal, kaum intelektual, dan juga mereka yang berpindah dari desa ke kota besar. Fenomena yang sudah sering terjadi dalam negeri-negeri yang belum lama merdeka. Catatan Seorang Nasionalis Dadakan Bila dikaji, kita akan menemukan realitas fiktif dimana telah terkutuknya dunia bisnis, politik, dan kekuasaan bila itu digabungkan dalam suatu kesatuan. Tak jelas lagi mana kepentingan rakyat dan mana kepentingan saku pribadi. Tetapi, kemudian pembaca barangkali akan menyadari bahwa realitas fiktif yang sengaja dibangun oleh Mochtar Lubis ada benarnya. Betapa penguasa telah mengkhianati mandat dengan memperkosa hak-hak yang seharusnya rakyat terima. Contoh sederhana untuk saat ini, coba perhatikan isi berita media-media kaum oposan. Bandingkan dengan tendensi media corong penguasa. Perang opini publik adalah perang yang abadi. Sungguh satu hal yang selalu berulang. Sejak zaman pasca kemerdekaan hingga kini. Seperti menandakan peran absurd media yang membela kepentingan-kepentingan tertentu demi satu tujuan: oplah. Semakin tinggi oplah, semakin banyak uang didapat. Tidak peduli lagi rakyat dibuat cerdas atau sengsara oleh pemberitaannya. Senja di Jakarta adalah bukan tentang keindahan senja di langit Jakarta. Bukan asosiasi pemaknaan senja tentang romantisme cinta yang melankolis. Senja di Jakarta adalah tentang arus kemiskinan, korupsi dan kejahatan (kriminal dan intelektual) yang mengalir deras di bawah permukaan kehidupan kolong lagit Jakarta. Membaca novel yang terbit pertama kali pada tahun 1970 ini sama saja dengan menyimak keadaan kehidupan berbangsa saat ini. Betapa demokrasi yang selama ini diagung-agungkan telah membawa rakyat bangsa ini kedalam berbagai situasi. Entah yang paling menyenangkan atau paling tidak menyenangkan sekalipun. Pertentangan ideologi yang begitu terasa menjelang pemilu terlihat begitu mencolok. Sistem demokrasi parlementer saat itu tidak mampu menahan berbagai gejolak. Rakyat kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Partai-partai penguasa sibuk berbagi jatah. Kaum Oposan bersiap diri bila suatu saat kabinet jatuh. Pergerakan kaum kiri semakin aktif di tengah-tengah rakyat yang dianggapnya proletar itu. Penyimpangan dimana-mana. Birokrat sudah tidak malu lagi menenggak uang rakyat. Padahal, cari beras pun susahnya minta ampun. Senja di Jakarta memberi gambaran bagaimana kekuatan unsur bisnis, politik, dan media turut berperan dalam membangun kehidupan berbangsa. Kolusi, Korupsi, Nepotisme, Kongkalikong, Katebelece sudah jadi makanan sehari-hari yang semakin menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa. Praktek yang demikian itu sudah sebegitu lumrahnya bagi kalangan oportunis yang berkicau didalamnya. Sehingga, bangsa ini terancam karam. Saya yakin bahwa kenyataan seperti itu akan kembali berulang. Apalagi nanti menjelang pemilu 2014. Partai penguasa tentu akan butuh dana besar untuk memenangkan figur jagoannya. Itu pun kalau tidak terlanjur kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Ditambah bila skandal-skandal besar yang melibatkan partai penguasa ini dapat dituntaskan. Jujur, saya ngero untuk membayangkannya. Nilai aktualitas novel ini semakin menekankan relevansinya dengan wajah Indonesia saat ini. Korupsi merajalela tanpa jelas siapa dalangnya, hukum dianggap main-main belaka, koruptor teriak maling sambil makan siang nikmat di sebuah mall-padahal statusnya masih tersangka dan dipenjara, partai penguasa tersangkut berbagai skandal besar hingga pergolakan opini di media massa antara kaum oposan dan kaum pro-pemerintah. Gambaran realitas masa lalu yang seakan dihadirkan kembali pada masa sekarang ini. Semua keadaan itu menghadirkan sebuah konektivitas sejarah dalam percaturan politik. Hanya saja, waktu yang membedakan. Zaman dipimpin oleh pemerintahan parlementer tahuh 1950-an dan kini demokrasi modern yang berlandas pada semangat reformasi. Entah masihkah ada pentingnya demokrasi Pancasila dimasa suram seperti ini. Lebih dari itu, Mochtar Lubis sangat sangat berhasil mengantar pembacanya pada permainan fiksi dan fakta. Dimana fiksi mengambil fakta sebagai latar cerita yang tentu memiliki keterikatan langsung dengan realitas pembaca. Ditambah lagi dengan aktualitas dan relevansi realitas fiksi yang seakan hidup dalam kenyataan hidup sehari-hari. Senja di Jakarta seakan mengingatkan kita bahwa suatu masa akan tetap berulang. Dan hidup tidak akan pernah lagi sama. Demi menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Judul: Senja di Jakarta Penulis: Mochtar Lubis Penerbit: Yayasan Obor Indonesia Tahun: 2009 Tebal: 405 hal. Genre: Novel Medan Merdeka Barat-Tomang-Paninggilan, 10 Desember 2011. * petikan halaman 192 dari buku "Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern" ditulis oleh Maman S. Mahayana, Oyon Sofyan dan Achmad Dian. Grasindo, 2007 review lengkap klik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun