Mohon tunggu...
ANGGI FAHRIA FATIN
ANGGI FAHRIA FATIN Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa/S1/Universitas Sumatera Utara

Membaca/Bisnis/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lambatnya Digitalisasi UMKM: Menghambat Inovasi atau Melindungi Karakter Tradisional?

15 Desember 2024   23:05 Diperbarui: 16 Desember 2024   10:05 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Bersama Rayyan Pelaku UMKM yang Sudah Digitalisasi

Di era globalisasi dan digitalisasi yang semakin pesat, sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia menghadapi tantangan besar sekaligus peluang yang luar biasa. UMKM yang sebelumnya mengandalkan cara-cara tradisional kini dihadapkan pada kebutuhan untuk beradaptasi dengan teknologi digital. Digitalisasi UMKM bukan lagi sebuah pilihan, melainkan suatu keharusan untuk meningkatkan daya saing dan membuka peluang baru di pasar yang semakin kompetitif. Sekelompok mahasiswa dari Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sumatera Utara, yaitu Anggi Fahria Fatin (220503143), Anggita Marito Siallagan (220503144), Afiyah Liani Lubis (220503138), dan Muhammad Hafiz Hawari (220503124), melakukan mini riset dan langsung mendatangi pelaku UMKM di lapangan. Lambatnya adopsi teknologi digital oleh UMKM diangkat sebagai isu hangat yang menimbulkan pro kontra oleh pelaku UMKM itu sendiri. Kegiatan mini riset ini dilakukan sebagai bagian dari tugas mata kuliah Pekerja Sosial Internasional.

Lambatnya digitalisasi UMKM di Indonesia menjadi masalah yang kompleks. Salah satu masalah sosial yang muncul adalah kesenjangan antara UMKM yang telah mengadopsi digitalisasi dan yang belum. Di satu sisi, digitalisasi menawarkan potensi besar untuk meningkatkan penjualan, memperluas jangkauan pasar, serta mempermudah proses transaksi dan manajemen. Di sisi lain, banyak pelaku usaha merasa digitalisasi menghilangkan interaksi personal dengan pelanggan dan memerlukan biaya yang dianggap memberatkan. Hal ini menimbulkan tantangan dalam mewujudkan kesetaraan peluang bagi semua UMKM.

Dokumentasi Bersama Rayyan Pelaku UMKM yang Sudah Digitalisasi
Dokumentasi Bersama Rayyan Pelaku UMKM yang Sudah Digitalisasi

Menurut data dari Kementerian Koperasi dan UKM, hanya sekitar 13% UMKM yang sudah terdigitalisasi di Indonesia pada 2022 sedangkan pada tahun 2023, sekitar 33,6% atau sekitar 22-27 juta UMKM di Indonesia telah terdigitalisasi, menurut data dari Kementerian Koperasi dan UKM. Pemerintah juga menargetkan peningkatan hingga 30 juta UMKM terdigitalisasi pada tahun 2024. Ini menandakan kesenjangan besar antara potensi dan kenyataan di lapangan. Berdasarkan wawancara, pelaku usaha seperti Rayyan yang mengelola Zee Coffee dan Teman Fried Chicken mengungkapkan bahwa digitalisasi melalui Platform e-commerce seperti Shopee, Gojek, dan Grab membantu meningkatkan omzet dan mempermudah transaksi yang bisa dilakukan secara tunai ataupun nontunai melaluin QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Dengan memanfaatkan media sosial seperti TikTok, produk mereka menjadi lebih dikenal, bahkan sempat viral. Selain itu, aplikasi manajemen seperti Kasir Pintar mempermudah pengelolaan stok dan keuangan. Namun, tantangan biaya layanan aplikasi masih menjadi kendala. Di sisi lain, Oky, pemilik Siomay Medan, memilih tetap menjalankan usahanya secara manual karena khawatir kehilangan keunikan interaksi dengan pelanggan dan merasa terbebani oleh sistem bagi hasil platform digital.

Dokumentasi Bersama Oky Pelaku UMKM yang Belum Digitalisasi
Dokumentasi Bersama Oky Pelaku UMKM yang Belum Digitalisasi

Secara teori, digitalisasi dapat mendorong inovasi dan efisiensi bisnis melalui adopsi teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Konsep ini mendukung produktivitas dengan memperluas akses ke pasar global dan menciptakan pengalaman pelanggan yang lebih terintegrasi. Namun, teori ini juga menekankan pentingnya mempertahankan nilai-nilai lokal dan keunikan layanan untuk menciptakan diferensiasi di pasar yang kompetitif.

Dalam pembahasan, perbedaan pendekatan antara Rayyan dan Oky mencerminkan tantangan utama digitalisasi UMKM. Di satu sisi, digitalisasi terbukti mampu meningkatkan daya saing dan efisiensi. Namun, tidak semua pelaku usaha memiliki kesiapan yang sama, baik dari segi biaya maupun kemampuan adaptasi terhadap teknologi. Di sisi lain, keengganan untuk beralih ke sistem digital sering kali disebabkan oleh kekhawatiran akan kehilangan ciri khas tradisional dan beban administratif yang dirasa memberatkan.

Sebagai kesimpulan, digitalisasi UMKM merupakan peluang besar untuk mendorong inovasi, tetapi tidak dapat diabaikan bahwa keberhasilan implementasinya memerlukan kesiapan dari pelaku usaha. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif, seperti pelatihan digitalisasi bagi UMKM kecil, pengurangan biaya layanan platform digital, serta integrasi teknologi yang tetap menghargai nilai tradisional. Dengan cara ini, UMKM dapat bertransformasi tanpa kehilangan karakteristik unik yang menjadi daya tarik utamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun