Mohon tunggu...
Anggie D. Widowati
Anggie D. Widowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Psikolog, Pegiat Literasi

Penulis Novel: Ibuku(Tidak)Gila, Laras, Langit Merah Jakarta | Psikolog | Mantan Wartawan Jawa Pos, | http://www.anggiedwidowati.com | @anggiedwidowati | Literasi Bintaro (Founder)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lemari Tua

18 Februari 2021   04:45 Diperbarui: 18 Februari 2021   05:06 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Anggie D. Widowati

Fatia membuka halaman pencarian google dan mencari artikel mengenai kenakalan anak-anak. "Bila Anak Suka Mencuri." Artikel itu di temukannya di Blog milik seorang psikolog. Apa yang dilakukan bila anak mencuri, kata artikel itu, orang tua harus mengetahui mengapa dia melakukan perilaku itu. Apakah ada kebutuhan yang berkaitan dengan jual beli barang mahal seperti game, mainan atau yang paling parah bila anak ternyata sudah mengkonsumsi narkoba.

Fatia mendiskusikan artikel itu dengan suaminya. Semua peristiwa itu bermula Ketika dia mencuci celana Fadly, anaknya yang masih berusia enam tahun. Tak disangka, di saku celana ada beberapa lembar uang biru, lima puluh ribuan.

Dia menanyakan suaminya apakah memberi uang-uang itu pada Fadly. Suaminya mengaku tidak. Dia pun merasa juga tidak memberikan uang itu. Selama itu dia tidak membawa uang cash banyak-banyak, lebih suka melakukan transaksi dengan credit card. Di musim pandemic, Fatia juga tidak berkunjung ke rumah mertua maupun orang tua. Itu artinya mereka juga tidak memberikan uang pada Fadly.

Lalu uang-uang itu berasal dari mana?

Darahnya berhenti berdesir, muncul perasaan sedih dan jengkel, gila, Fadly sudah berani mencuri uang. Pada siapa dia belajar mencuri, sementara umurnya masih enam tahun, dan tidak pernah keman-mana selain main di seputaran kompleks. Alangkah malunya kalau dia sampai ketangkap basah mencuri uang milik tetangga.

"Oh Tuhan, anakku sudah jadi pencuri," keluhnya sedih.

Ketika sore mulai jatuh, dia duduk sambil ngopi dengan suaminya di teras, dan Fadly ada disekitaran mereka, sedang menonton film kartun di laptop suaminya. Fatia mengangkat bocah itu dan dipangkunya. Dia mengeluarkan empat lembaran lima puluh ribuan dan ditunjukkan pada puteranya.

"Ini uang siapa? Mama nemu di kantongmu saat mencuci baju," tanya Fatia.

"Uangku."

"Kamu mencuri di dompet siapa? Dompet Mama atau Papa?"

"Aku tidak mencuri."

"Ayo sayang, tidak boleh bohong."

"Ada yang ngasih."

Fatia berpandangan dengan suaminya. Wajah suaminya terlihat memerah menahan marah. Tapi aku memberikan isyarat untuk tetap tenang.

"Siapa yang ngasih?"

"Orang."

"Namaya?"

"Ya orang."

"Ngasihnya dimana?"

"Di kamar."

Fatia berpandangan lagi dengan suaminya. Di kamar? Untuk hari itu sudah cukup pembicaraan itu, karena Fadly pun bertahan tidak bersalah. Dia tidak boleh terbawa amarah, dan harus menyelidiki segala sesuatu yang berkaitan dengan uang itu.

Mulailah dia bertanya pada ibunya, mertuanya, kakak dan adik ipar, tak ada satu pun yang memberi uang dua ratus ribu pada Fadly. Lalu dia bertanya pada Mama Rony, tetangga yang anaknya juga seumuran dengan Fadly. Biasanya Fadly bermain dengan Rony. Fatia bertanya mengenai game yang mereka mainkan, apakah harus membayar uang tertentu. Atau apakah mungkin mereka jajan bersama. Namun jawabannya tak ada yang memuaskan, karena selama pandemic Rony tidak pernah jajan. Game yang dimainkan juga game offline.

"Saya tahu pasti game yang mereka mainkan, Jeng," kata mamanya Rony.

"Oh, kirain harus bayar dengan harga tertentu."

"Kakaknya Rony kok yang download, semua offline untuk menghemat paket data."

"Sama Fadly di rumah juga hanya main game offline."

"Emang ada apa?'

"Tidak bu, hanya ingin tahu saja, ibu tahu sendiri kan game online itu mahal-mahal."

"Oh iya sih, jangan sampai deh anak-anak kita kecanduan game online."

Tentu saja Fatia tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Apalagi bilang kalau Fadly suka mencuri, pasti akan membuat aib yang kurang sedap. Dan bisa jadi Rony tak boleh lagi main dengan Fadly. Fatia hanya ingin tahu saja, barangkali dia harus membayar mahal untuk game online yang mereka mainkan hingga dia harus mencuri uang.

Beberapa hari kemudian saat mencuci baju, Fatia menemukan uang lagi di kantong Fadly. Jumlahnya terlalu besar buat anak-anak. Lembaran lima puluh ribuan lima lembar. Dia melaporkan hal itu lagi kepada suami.

Kali ini suaminya benar-benar marah. Dipukulnya Fadly karena masih tidak mau mengaku bahwa dia mencuri uang-uang itu.

"Kamu ambil dimana?" tanya suaminya dengan nada agak tinggi.

Fadly menangis karena ketakutan.

"Ayo nak, tunjukan pada Papa dimana kau mengambil uang itu."

Dengan masih menangis, Fadly pun berjalan masuk kamarnya. Lalu dia menujuk lemari kayu jati tua yang berdiri di sudut ruangan yang dibeli Fatia dengan cara garage sale sebulan yang lalu. Perempuan itu tambah bingung. Sementara anaknya nangisnya makin menjadi-jadi.

Untuk kedua kali mereka gagal memperoleh informasi mengenai uang misterius itu. Kenapa Fadly tak menunjuk dompetnya atau dompet papanya. Hanya tempat itulah yang ada uangnya. Apalagi dia tak pernah kemana-mana, jadi tak mungkin mencuri di dompet orang lain.

Pagi itu langit mendung. Gerimis turun perlahan di pagi yang remang. Fatia sudah siap untuk jogging, namun karena hujan, dia pun tak jadi keluar. Kalau hujan tidak mungkin jogging karena hanya akan membuat kepalanya pusing. Mungkin membersihkan rumah adalah ide yang tepat, agar tetap keluar keringat

Dia pun mengambil sapu dan mulai menyapu mulai dari ruang tamu, dapur, dan kemudian kamar-kamar. Ketika masuk kamar Fadly, terpikir olehnya apa yang dikatakan anak itu. Prinsipnya, dalam artikel lain psikolog yang pernah dibacanya, anak itu selalu berkata jujur.

Perlahan dibukanya lemari ukir itu. Baju-baju Fadly tertata rapi, dengan tatanan yang diatur sesuai keguanaannya. Pada rak paling atas, ditaruh baju-baju untuk pergi, di bawahnya baju untuk di rumah. Rak ketiga dari atas, tempat menaruh pakaian dalam dan pakaian renang serta handuk. Bawah sendiri, untuk menyimpan buku-buku balita Fadly yang sayang kalau harus dibuang.

Rak paling bawah ini hanya Sebagian saja yang terpakai. Ada kertas-kertas hasil menggambar Fadly pada sisi yang kosong. Di sudut paling ujung, Fatia melihat kertas warna biru. Dia jarang melihat isi lemari paling bawah itu sampai sejauh itu. Diaraihnya kertas itu, astaga dual embar uang lima puluh ribuan.

Segera saja Fatia memanggil suaminya dan menunjukkan temuan itu.

"Papa naruh uang disitu?"

"Tidak."

"Fadly nemu uang-uang itu di situ?"

"Mungkin."

"Oh Tuhan. Siapa menyimpan uang-uang itu, kenapa baru tahu sekarang ada uang disitu."

"Mungkin pemilik lama lupa tak membersihkan rak paling bawah."

Fatia menyimpan uang itu dan masih belum mengerti dengan misteri yang terjadi pada putranya. Esoknya ketika menengok lemari itu, dia kembali menemukan uang lima puluh ribuan. Cuma selembar. Hari berikutnya juga demikian, setiap hari ada uang selembar lima puluh ribuan di lemari kamar anaknya.

Apakah ini lemari ajaib?

Fadly sama sekali tidak peduli dengan uang-uang itu. Memang anak seusianya hanya mengenal uang dua, lima atau sepuluh ribuan saja untuk jajan. Uang itu pun dikumpulkan Fatia. Sampai kemudian dia menceritakan pada suaminya mengenai lemari ajaib itu.

"Fadly tidak bohong, Pa, dia dapat uang itu di lemari. Lihatlah, setiap hari ada uang lima puluh ribuan di ujung rak paling bawah," kata Fatia pada suaminya sambil memperlihatkan kantong plastic berisi tumpukan uang.

"Aneh," jawab suaminya.

Esoknya Fatia mengajak suaminya melihat dasar lemari itu. Benar, ada uang yang sama teronggok di sana.

"Ternyata lemari ajaib kayak di film-film itu memang ada, ya Pa."

Suaminya mangut-mangut tanda setuju.

*

Jam tujuh malam, Fadly masuk ke kamarnya. Lampu dan AC dinyalakan, dan bocah itu merebahkan dirinya di Kasur.

"Botak woi botak, main yuk" katanya sambil tertawa ala anak-anak.

Pintu lemari tua itu terbuka. Sosok manusia mini muncul melompat ke lantai. Kepalanya tanpa rambut. Tidak bercelana dan hanya memakai rompi warna merah. Wajahnya jelek, lebih mirip muka alien. Di lantai dia menari-nari sambil berjoget memamerkan benda biru di tangan kanannya. Uang lima puluh ribuan.

Fadly turun dari tempat tidur dan tertawa-tawa. Uang itu diberikan kepada Fadly dan anak itu memasukkan ke lemari paling bawah. Lalu mereka duduk di lantai sambil bercakap-cakap. Fadly memamerkan mainan barunya. Mereka pun bermain Bersama.

Setelah lelah, Fadly naik ke tempat tidur untuk tidur dan bocah botak itu masuk kembali ke lemari antic itu dan menutup pintu pelan-pelan.

Jakarta, 23 Januari 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun