Generasi Z juga merupakan generasi yang mana mayoritas individunya menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan memiliki keterbukaan yang lebih besar dalam memahami berbagai jenis orang serta situasi tanpa mendiskriminasi apabila dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya (Francis & Hoefel, 2018).Â
Pandangan hidup yang seperti ini menjadikan Generasi Z sebagai generasi yang memiliki perspektif unik dalam memahami orang lain, sembari berusaha untuk tetap setia pada diri mereka sendiri, nilai-nilai, dan tujuan mereka.
Adapun dibalik karakteristik dari Generasi Z yang terkesan positif dan kemampuan intelektual Generasi Z yang lebih berkembang, namun Generasi Z cenderung dipandang "sebelah mata" oleh masyarakat di Indonesia.Â
Menurut Salsabilla (2023), adanya pandangan tersebut dikarenakan Generasi Z dinilai lebih rentan terkena masalah mental. Grelle et al. (2023) menyatakan bahwa rentannya Generasi Z untuk terkena masalah mental saat menghadapi situasi- situasi yang sulit dikarenakan adanya kecenderungan berperilaku yang tidak tepat dalam menghadapi suatu masalah dan resiliensi yang rendah.Â
Hal-hal tersebut pada akhirnya membuat terciptanya lebih banyak permasalahan serta berdampak buruk pada kesehatan mental Generasi Z. Krisis kesehatan mental Generasi Z dapat disebabkan oleh dua faktor, yakni pola asuh orang tua dan media sosial.Â
Menurut Wieland (2019) mayoritas orang tua dari Generasi Z mendidik dengan pola asuh helikopter, yaitu jenis pola asuh yang mana orang tua memiliki perasaan bahwa mereka harus senantiasa mengawasi tindakan anak mereka, siap melakukan intervensi kapan saja untuk mengatur kehidupan pribadi anak serta tidak memberikan anak untuk membuat keputusan secara mandiri. Orang tua dengan pola asuh helikopter memiliki keinginan untuk mengontrol kehidupan anak dan selalu ikut campur pada permasalahan anak.Â
Pemantauan yang terus menerus oleh orang tua dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental dengan mengurangi rasa kemandirian dan efikasi diri Generasi Z. Generasi Z juga akan cenderung memiliki resiliensi yang rendah serta merasa tidak mampu untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan sehingga Generasi Z menjadi lebih rentan untuk mengalami permasalahan mental.Â
Menurut Wieland (2019) mayoritas orang tua dari Generasi Z mendidik dengan pola asuh helikopter, yaitu jenis pola asuh yang mana orang tua memiliki perasaan bahwa mereka harus senantiasa mengawasi tindakan anak mereka, siap melakukan intervensi kapan saja untuk mengatur kehidupan pribadi anak serta tidak memberikan anak untuk membuat keputusan secara mandiri.Â
Orang tua dengan pola asuh helikopter memiliki keinginan untuk mengontrol kehidupan anak dan selalu ikut campur pada permasalahan anak. Pemantauan yang terus menerus oleh orang tua dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental dengan mengurangi rasa kemandirian dan efikasi diri Generasi Z. Generasi Z juga akan cenderung memiliki resiliensi yang rendah serta merasa tidak mampu untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan sehingga Generasi Z menjadi lebih rentan untuk mengalami permasalahan mental.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dilihat bahwa pola asuh orang tua dan media sosial memainkan peranan penting dalam mempengaruhi kesehatan mental Generasi Z. Selain itu, orang tua yang terlalu ikut campur dan media sosial yang seakan menuntut Generasi Z untuk memenuhi standar tertentu akan membuat Generasi Z merasa ragu dengan nilai-nilai pribadi mereka. Keraguan ini akan membuat keadaan mental Generasi Z semakin tidak stabil.Â
Upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk mengatasi permasalahan mental Generasi Z adalah dengan memberikan Generasi Z kesempatan untuk membuat keputusan-keputusan secara mandiri dan menghargai keputusan tersebut.Â