Penulis: Anggia Nur Ramadhani
Dr. Sigid Eko Pramono, CA.
Program Studi Akuntansi Syariah
Institut Agama Islam Tazkia
Apa itu Mudharabah?
Mudharabah dalam Lembaga Keuangan Syariah adalah salah satu bentuk kerjasama bisnis dalam syariah Islam, di mana satu pihak (shahibul maal) menyediakan modal, sementara pihak lainnya (mudharib) bertindak sebagai pengelola usaha. Keuntungan dari usaha ini dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sementara kerugian hanya ditanggung oleh shahibul maal kecuali jika kerugian terjadi akibat kelalaian atau kesalahan mudharib. Akad mudharabah sering digunakan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) untuk produk-produk pembiayaan dan investasi.
Lalu ada permasalahan dalam ketika kita mengimplementasikan Akad Mudharabah,
1. Asimetri Informasi: Adanya ketidakseimbangan informasi antara shahibul maal dan mudharib, yang dapat menyebabkan kesalahpahaman atau bahkan penyalahgunaan dana.
2. Pengelolaan Risiko: Tidak adanya jaminan pengembalian modal bagi shahibul maal menyebabkan risiko tinggi jika mudharib tidak kompeten atau tidak jujur.
3. Transparansi Laporan Keuangan: Kurangnya pelaporan yang akurat dan tepat waktu dari mudharib kepada shahibul maal dapat mengurangi kepercayaan dalam akad mudharabah.
4. Ketidaksesuaian Implementasi dengan Prinsip Syariah: Beberapa praktik di lapangan menunjukkan adanya penyimpangan, seperti pengenaan biaya tambahan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah.
5. Bank enggan berpartisipasi
Bank mungkin enggan berpartisipasi dalam akad mudharabah karena beberapa alasan, seperti risiko internal, biaya monitoring, kurangnya transparansi, dan deposan yang enggan mengambil risiko.
Kemudiaan dalam dasar Fatwa Ulama
Fatwa terkait akad mudharabah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yang memberikan panduan tentang tata cara pelaksanaan akad ini. Misalnya, Fatwa DSN-MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah mengatur:
- Modal harus berbentuk uang atau aset yang mudah dinilai.
- Keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati di awal.
- Kerugian tidak boleh disebabkan oleh kelalaian atau pelanggaran mudharib.
Fatwa ini menjadi acuan utama dalam memastikan bahwa pelaksanaan akad mudharabah sesuai dengan prinsip syariah.
Di dalam Standar Akuntansi Syariah
yang  diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) memberikan pedoman pencatatan dan pelaporan untuk akad mudharabah, yang diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Syariah (PSAK) No. 105. Beberapa ketentuan utama meliputi:
1. Pengakuan Modal: Modal harus diakui sebagai kewajiban oleh mudharib kepada shahibul maal.
2. Pengakuan Keuntungan: Keuntungan hanya diakui setelah pembagian sesuai nisbah yang disepakati.
3. Pengungkapan Risiko: Risiko kerugian harus diungkapkan dengan jelas dalam laporan keuangan.
4. Transparansi: Setiap transaksi harus dicatat dengan jelas untuk memastikan akuntabilitas.
Kemudian ketika kita menganalisa Akad mudharabah memiliki potensi besar untuk mendorong inklusi keuangan berbasis syariah, terutama untuk sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kepercayaan dan transparansi antara para pihak. Dalam praktiknya, asimetri informasi sering kali menjadi hambatan utama. Selain itu, kurangnya kompetensi pengelolaan risiko di beberapa LKS dapat meningkatkan potensi kerugian bagi shahibul maal.
Dari sisi akuntansi, implementasi PSAK No. 105 menunjukkan komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas. Namun, penerapan standar ini memerlukan dukungan sumber daya manusia yang kompeten dan teknologi yang memadai.